Krisis Pangan dan Kemiskinan Ekstrem

Loading

Oleh : Yucundianus Lepa

Dalam sebuah simposium bertajuk “Krisis Pangan dan Skenario Masa Depan Indonesia”, Dr. (HC) Muhaimin Iskandar, M.Si. mengajukan sejumlah pertanyaan mendasar. Mengapa Indonesia dengan lahan pertanian yang relatif luas, masih belum mandiri dalam hal pangan? Mengapa harga daging sapi kita masih mahal? Mengapa kita masih mengimpor kedelai? Manakah yang lebih tepat, memberi subsidi kepada produsen atau konsumen?

Pertanyaan demikian tidak berlebihan. Dalam publikasi yang dikeluarkan ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan didukung Bappenas bertajuk “Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020—2045”, terungkap bahwa pada era 2016—2018 sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis.

Terkait isu kelaparan tersebut, peringkat Indonesia dalam Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index/GHI) 2021 berada di urutan ke-73 dari 116 negara, menempatkan tingkat kelaparan Indonesia di posisi tertinggi ketiga di Asia Tenggara.

Angka ketidakcukupan pangan (PoU) yang awalnya sudah menunjukkan perbaikan pada 2018 dan 2019, kembali meningkat pada 2020 efek pandemi. Jika ditelisik lebih dalam, terlihat prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan penduduk di perdesaan jauh tertinggal dibanding penduduk perkotaan yang sudah mendekati target meski terjadi kemunduran di tahun 2020. Padahal dalam pikiran normatif, wilayah pedesaan adalah lumbung pangan bagi perkotaan.

Fakta ini diperkuat dengan angka pengeluaran di mana 40 persen penduduk dengan pengeluaran terbawah tersebar di wilayah pedesaan. Golongan masyarakat ini pula yang di hari-hari ini  perlu mendapat perhatian lebih serius dengan pembagian BLT BBM yang diberikan kepada masyarakat selama 4 (empat) bulan. Per bulannya diberikan Rp150 ribu, sehingga mencapai total Rp 600 ribu.

Subsidi untuk Siapa

Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik yang diajukan Muhaimin Iskandar dalam kesempatan simposium itu adalah, apakah kita lebih baik memberi subsidi kepada produsen atau konsumen? Produsen tentu saja petani sedangkan konsumen adalah siapa saja yang tidak memiliki ketercukupan pangan. Pertanyaan Ini menguliti ketidakberdayaan petani kita setelah Negara menunjukkan keberpihakannya pada nasib mereka.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian, pada tahun 2022 ini telah mengalokasikan anggaran subsidi pupuk sebesar lebih dari Rp25 triliun untuk memenuhi kebutuhan sekitar 16 juta petani, yang terdaftar dalam Sistem Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK), dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional.

Keseriusan ini akan terus berlanjut agar penyediaan sarana pertanian ini memenuhi prinsip 6T, yakni tepat waktu, tepat mutu, tepat jenis, tepat jumlah, tepat lokasi, dan tepat harga bagi petani. (Sumber : Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Musdhalifah Machmud pada konferensi pers terkait sosialisasi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penebusan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi di Sektor Pertanian).

Kebijakan subsidi pupuk ini merupakan bentuk kehadiran Pemerintah dalam membantu petani, di mana pupuk merupakan salah satu komponen biaya dalam usaha tani. Permentan Nomor 10 Tahun 2022 merupakan langkah strategis Pemerintah yang diambil untuk mengoptimalkan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani. Langkah ini diharapkan mampu mendorong optimalisasi hasil pertanian, menjaga ketahanan pangan, dan meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia. Langkah dan kebijakan ini juga diambil agar produk hasil pertanian Indonesia terutama yang memiliki kontribusi terhadap inflasi bisa terus terjaga.

Sesuai arah kebijakan, Pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi 9 (sembilan) komoditas pangan pokok dan strategis, yakni padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kopi, dan kakao. Kesembilan komoditas ini diharapkan bisa mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang lebih baik di masa depan. Ternyata tidak satu pun komoditas usaha tani yang mendapat pupuk bersubsidi yang surplus.

Menurut sumber yang sama, pemerintah membenahi banyak hal. Di antaranya memperbaiki tata kelola pupuk bersubsidi melalui digitalisasi dalam pendistribusian dan penebusan pupuk bersubsidi, serta penyusunan data penerima subsidi pupuk agar lebih tepat sasaran. Mekanisme pengusulan alokasi pupuk bersubsidi akan dilakukan dengan menggunakan data spasial dan/atau data luas lahan dengan tetap mempertimbangkan luas baku lahan sawah yang dilindungi (LP2B). Dengan demikian, penyaluran pupuk bersubsidi akan lebih akurat dan tepat sasaran.

Langkah strategis pemerintah untuk para petani kita ini bahkan yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Namun apa hasilnya?  Ibarat membuang garam ke laut. Yang miskin sulit  tertolong. Untuk menekan bertambahnya warga miskin menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, masih diperlukan lagi subsidi dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM kepada lebih kurang 20,6 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat.

Untuk subsidi BLT BBM dialokasikan dana sebesar Rp24,17 triliun. Hampir sama nilainya dengan subsidi pupuk. Besar kemungkinan 20,6 juta keluarga penerima manfaat BLT BBM adalah petani yang selama ini hendak disejahterakan melalui subsidi pertanian.

Barangkali ini yang dimaksudkan Wakil Ketua DPR RI Mahaimin Iskandar. Mengapa keunggulan SDA kita secara potensial dengan subsidi yang berkelanjutan bagi petani tidak mengangkat derajat kesejahteraan warga petani? Di mana batas produsen dan konsumen?

Hubungan Kelaparan dengan Kemiskinan

Berdasarkan data Statistik, tenaga kerja pertanian pada Agustus 2019, naik dari 35,45 juta (27,53% dari 128,76 juta angkatan kerja) menjadi 38,78 juta (29,76% dari 128,45 juta) angkatan kerja. Pada Agustus 2021, turun menjadi 37,13 juta (28,33% dari 131,05 angkatan kerja) karena beberapa sektor perekonomian mulai pulih. Naik turunnya angka tenaga kerja pertanian menjadi indikator bahwa profesi petani bukanlah pilihan.

Pada sisi lain, Statistik juga menggambarkan bahwa pada Maret 2019  angka kemiskinan berkisar pada 25,14 juta orang (9,41 %). Pada Maret 2020 naik menjadi 26,42 juta orang (9,78%) dan pada Maret 2021, bertambah menjadi 27,55 juta orang (10,14% dari total penduduk Indonesia). Jika dicermati, angka-angka pada tenaga pertanian dengan segala dinamikanya hampir persis sama dengan angka kumulatif kemiskinan di negeri tercinta ini.

Tidak bisa diingkari bahwa profesi petani adalah penyumbang angka kemiskinan terbesar sehingga perlu penanganan yang lebih transformatif dan progresif. Indonesia harus mulai mentransformasi pembangunan pertanian, mencari alternatif baru yang lebih produktif dengan prioritas yang lebih dinamis.

Sudah waktunya mengkaji kembali sandaran pertanian yang hanya mengandalkan pada sistem produksi pertanian on-farm saja. Perlu menggarap pula input pertanian dan faktor produksi, sistem produksi pertanian yang lebih presisi, dan sisi pascapanen dan off-farm sampai ke tingkat pengolahan dan distribusi ke seluruh pelosok Tanah Air.

Dalam konteks ini, kita selayaknya mencerna dengan pikiran jernih dan keterbukaan batin apa siratan implisit dari maksud yang hendak disampaikan Wakil Ketua DPR RI Bapak Muhaimin Iskandar. Bahwa kelaparan sangat melekat dengan kemiskinan. Oleh karena itu, kelaparan dan kemiskinan hendaknya  diteropong dalam keseluruhan sistem yang kita miliki.

Dalam pidato heroiknya di hadapan ribuan massa di London’s Trafalgar Square, Nelson Mandela berbicara secara tegas dan lugas bahwa ”Di abad baru ini, jutaan orang di negara-negara termiskin di dunia tetap dipenjara, diperbudak, dan dirantai. Mereka terperangkap dalam penjara kemiskinan. Ini sudah waktu yang tepat untuk membebaskan mereka. Seperti halnya perbudakan dan apartheid, kemiskinan bukanlah hal yang natural. Kemiskinan adalah produk manusia, dapat diatasi, dan sekaligus diberantas melalui tindakan-tindakan manusia [secara kolektif]. Dan tindakan mengatasi kemiskinan bukanlah gerakan amal. Ini adalah tindakan keadilan. Ini adalah perlindungan hak asasi manusia yang fundamental, hak untuk hidup secara bermartabat dan kehidupan yang layak” (Mandela, 2005).

Nelson Mandela menjadi sumber inspirasi untuk berkampanye secara masif dalam ikhtiar bersama untuk mengatasi kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah bersama, dan karena itu pula menjadi tanggung jawab kita semua. Namun, pemimpin yang berjiwa besar harus mampu menggerakkan seluruh elemen kekuatan bangsa untuk bersatu padu dalam membebaskan jutaan rakyat Indonesia dari ”penjara kemiskinan”.

Kemiskinan telah memenjarakan mereka dari berbagai akses kesempatan sosial yang membuat hidupnya bermartabat.

Pembenahan pola pemberdayaan pertanian adalah langkah konkret perwujudan manusia yang bermartabat. Perlu upaya serius guna meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok di dalam negeri agar kelayakan hidup warga bangsa ini terwujud.

Langkah awal yang perlu dilakukan di antaranya melalui penyediaan input produksi bagi petani seperti benih, bibit, pupuk, teknik budidaya, termasuk teknologi panen dan pasca panen.

Pembenahan Teknis

Implikasi dari anomali cuaca adalah potensi kegagalan panen sehingga dapat mengganggu target produksi yang ditetapkan. Sementara untuk aspek pengelolaan lahan, tantangannya terletak di penggunaan pupuk dan pengolahan tanah. Apabila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan benar, kehilangan unsur hara tanah akan masif sehingga berdampak buruk pada produksi tanaman.

Tantangan aspek teknologi pertanian bersandar pada penggunaan alat dan teknologi terkini selama proses produksi bahan pangan, mulai dari penanaman, panen, hingga distribusi. Apabila teknologi yang dipakai belum efisien, maka akan menambah jumlah bahan pangan yang hilang atau terbuang (food loss).

Sementara tantangan terakhir adalah kesiapan sumber daya manusia. Peran manusia untuk memahami kondisi iklim, lahan, hingga teknologi terbaru, adalah simpul penting untuk menjamin keberhasilan proses produksi bahan pangan.

Kita berharap dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, Pemerintah tetap berkomitmen untuk terus mendukung dan memperbaiki tata kelola “Program Pupuk Bersubsidi” dalam pembangunan ekonomi di sektor Pertanian yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi.(*)

Penulis merupakan Advisor pada Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi  Republik Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *