Tradisi Penangkapan Ikan Paus dan Pariwisata Budaya

Loading

Oleh : Drs. Ignatius Sinu, MA. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana

Sulit dipungkiri Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, baik itu wisata alam maupun wisata budaya di setiap kabupaten. Sumba memiliki atraksi budaya unik, Flores dengan obyek wisata alam, seperti Komodo di Manggarai Barat, Liang Bua yang menyimpan manusia kerdil di Manggarai, alam bawah laut di Riung, Kelimutu di Ende, Jumat Agung di Flores Timur, dan penangkapan ikan Paus di Lembata.

Alor memiliki pemandangan alam bawah laut yang sangat memesona. Timor punya masyarakat adat suku Boti, wisata alam pegunungan Hutan Cagar Alam Gunung Mutis. Rote memiliki surfing di Nembrala, Sabu Raijua mengklaim dirinya sebagai “surganya para dewa”; dan Sumba didaulat sebagai pulau terindah di dunia, serta begitu banyak lagi potensi wisata yang tersebar pada hampir sekujur tubuh pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur.

Masing-masing daerah di bawah komando Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) menggerakkan sektor ini agar dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, seyogianya Disparekraf masuk kategori dinas-dinas kemakmuran. Dinas ini bertanggung jawab atas program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui kegiatan kebudayaan dan kepariwisataan. Kegiatan-kegiatan saling mendukung antara melestarikan nilai-nilai budaya untuk memajukan sektor pariwisata sebagai salah satu tumpuan ekonomi daerah.

NTT memiliki potensi pariwisata yang besar yang diakui dunia. Potensi ini belum dilirik apalagi dioptimalkan ditambah terbentur pada masalah multidimensi. Harus diakui bahwa sudah banyak biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pihak asing untuk mengangkat pariwisata di NTT, tetapi pariwisata di NTT tetap kurang bernyawa. Misalnya, tempat pemandian di Baumata, sekarang semakin sepi dari kunjungan orang Kupang, pantai Lasiana sama saja nasibnya dari tahun ke tahun, Taman Wisata Alam Ruteng, yang dibangun megah, Taman Wisata Alam Buat nan megah di TTS dan lain-lain kini mubazir. Ini contoh tempat-tempat wisata, tegasnya tempat-tempat rekreasi yang artifisial, yang hanya bisa membangun tetapi sulit mengelola.

Banyak kalangan juga menyebutkan bahwa masalah multidimensi itu sebetulnya ada pada lemahnya manajemen (pengelolaan). Inti dari pengelolaan adalah manusia (SDM) NTT itu sendiri. Wisatawan mengeluh mulai dari transportasi yang buruk, hotel yang kurang nyaman, pelayanan yang kurang ramah dan menyenangkan, menu makan yang membosankan, tidak higienis, dan lain-lain. Karena itu wisatawan yang datang ke NTT, lebih banyak yang kembali dengan kesan yang kurang baik, terutama pada pelayanan.

Ingat wisatawan datang untuk mencari senang bukan untuk mencari susah! .

Ketika dia tidur-tiduran di pantai hanya dengan bikini, jangan diganggu, jangan dipelototi, apalagi ditonton. Masyarakat kita di NTT masih sangat lemah menyangkut masalah yang satu ini.

Jangan bicara hanya satu, seperti “promosi kurang, pariwisata lesu”; promosi memang amat penting, tetapi apa yang kita promosikan. Yang kita promosikan adalah keindahan, kenyamanan, pelayanan yang menyenangkan, kelangkaan, keunikan, yang semuanya itu ada di dalam satu paket jualan (kendala keterpaduan dan koordinasi). Kita punya keunikan, Komodo, Kelimutu, penangkapan ikan Paus tradisional; tetapi untuk menjangkau lokasi-lokasi itu butuh perjuangan (kendala transportasi). Dengan demikian hanya wisatawan-wisatawan tertentu saja yang mau berkunjung, itu pun dengan lama tinggal hanya satu atau dua malam; bahkan ada yang datang dan langsung kembali.

Penangkapan ikan Paus secara tradisional di desa Lamalera, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, merupakan satu-satunya teknologi warisan leluhur yang masih lestari hingga sekarang. Tata cara penangkapan ikan Paus secara tradisional di desa Lamalera merupakan aktivitas unik dan langka. Unik karena dengan peralatan yang amat sederhana dengan mengandalkan kekuatan, keterampilan, dan keluhuran budi para nelayan tradisional di Lamalera, ikan raksasa itu bisa ditaklukkan.

Teknologi warisan leluhur yang tinggal satu-satunya di dunia ini memiliki sejumlah potensi dan permasalahan yang terus saja diperdebatkan dari waktu ke waktu antara menjaga kelestarian tradisi penangkapan dan menjaga kelestarian ikan paus, hewan purbakala yang populasinya kian tergerus.

Penangkapan ikan Paus secara tradisional di desa Lemalera adalah satu-satunya di dunia, dan menjadi obyek wisata potensial bagi Nusa Tenggara Timur. Sinu  (2013) dalam laporan hasil penelitian “Inventarisasi Potensi dan Permasalahan Pariwisata di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten TTS, Kabupaten TTU, dan Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur” menjelaskan bahwa di satu sisi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, bahkan mendunia, namun pada sisi lain minat wisatawan mengunjungi tempat-tempat wisata di NTT masih relatif rendah bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti NTB apalagi Bali.

Potensi wisata yang sudah mendunia antara lain; Komodo di Manggarai Barat yang masuk dalam Tujuh Keajaiban Dunia, danau tiga warna di puncak Gunung Kelimutu, Padoa di Sabu, penangkapan ikan Paus tradisional di Lembata, Samana Santa di Flores Timur, Suku Boti di Timor, Selancar di Nembrala Rote Ndao, dan lain-lain masih belum mampu menyedot wisatawan dalam jumlah yang besar.

Upaya-upaya untuk memajukan pariwisata pada setiap kabupaten terus dilakukan. Disparekraf pada setiap daerah adalah instansi pemerintah yang paling bertanggung jawab atas maju mundurnya sektor pariwisata di setiap daerah. Dengan demikian yang diharapkan adalah peran kunci dari instansi ini di dalam memajukan kegiatan kepariwisataan di daerah. Kurang optimalnya peran sektor pariwisata di daerah sekaligus menjadi indikasi lemahnya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memajukan sektor kepariwisataan di daerahnya.

Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi pariwisata nasional. Pembangunan pariwisata juga pembangunan yang multidimensi.

Kemajuan di sektor pariwisata harus diikuti kemajuan pembangunan di sektor-sektor lain, seperti pertanian, perikanan, transportasi, dan lain-lain. Pembangunan di sektor pariwisata juga merupakan pembangunan berkelanjutan, terus menerus dan intensif. Kelemahan mendasar yang dimiliki hampir semua daerah adalah membangun, namun kurang memberikan perhatian pada pemeliharaan.

Fasilitas kepariwisataan dibangun hampir di semua tempat, namun kurang dioptimalkan dengan persoalan-persoalan klasik, yaitu tidak ada biaya pemeliharaan. Transportasi ke tempat-tempat wisata yang buruk, pelayanan di lokasi-lokasi wisata yang kurang menyenangkan selalu saja menjadi persoalan-persoalan yang sulit dijawab dari waktu ke waktu.

Permasalahan seperti ini mirip dengan tradisi penangkapan ikan Paus di desa Lamalera yang masih dijaga kelestariannya oleh para nelayan tradisional di desa ini. Di satu sisi tradisi ini memiliki potensi wisata mendunia lantaran menjadi satu-satunya tradisi penangkapan ikan secara tradisional di dunia, dengan keunikannya yang menggoda siapa saja untuk berkunjung ke tempat ini.

Setiap tahun tidak kurang dari 1.000 wisatawan mancanegara datang ke desa ini untuk melihat langsung keadaan masyarakat desa tradisional ini. Namun dari tahun ke tahun selalu saja muncul masalah-masalah atau perdebatan-perdebatan mengenai eksistensi tradisi ini, yang dalam banyak hal kurang mendapatkan respons baik dari berbagai pihak.

Penangkapan ikan Paus oleh nelayan tradisional di desa Lamalera bukanlah sebuah atraksi budaya, melainkan aktivitas ekonomi nelayan Lamalera. Mata pencaharian pokok orang Lamalera adalah nelayan yang masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional yang dibuat sendiri untuk menangkap ikan-ikan besar seperti ikan puas, pari, lumba-lumba, dan hiu.

Orang Lamalera menggantungkan hidupnya semata-mata sebagai nelayan. Kaum laki-laki hanya bisa bekerja turun ke laut menangkap ikan kemudian mengolahnya agar dapat dibarter dengan hasil-hasil pertanian. Kaum perempuan membawa hasil olahan ini ke desa-desa di wilayah pedalaman untuk menukarkannya dengan jagung, ubi-ubian, sayur mayur, dan buah-buahan.

Karena itu, indikator keamanan dan ketahanan pangan penduduk desa Lamalera adalah hasil tangkapan, terutama ikan Paus. Keamanan dan ketahanan pangan penduduk desa Lamalera adalah pada jumlah ikan paus yang ditangkap. Jumlah ikan Paus yang ditangkap adalah secukupnya, tidak berlebih.

Ukuran secukupnya adalah belasan ekor yang ditangkap dalam satu tahun. Sementara jumlah tangkapan mencapai puluhan ekor dalam setahun adalah pertanda keamanan dan ketahanan pangan akan mengalami masalah. Begitu pula sebaliknya, bila dalam satu tahun tidak ditangkap seekor ikan paus pun maka tahun-tahun berikutnya keamanan dan ketahanan pangan mengalami masalah.

Aktivitas ekonomi nelayan tradisional ini sejak tahun 1970-an perlahan mendapatkan perhatian luas sebagai tradisi yang unik dan langka, hingga berkembang menjadi obyek wisata dunia yang berhasil menyedot wisatawan mancanegara untuk datang untuk berwisata, menyaksikan aktivitas ekonomi tradisional yang unik dan langka ini. Ketika aktivitas ekonomi tradisional ini berubah wujud menjadi obyek wisata, maka pembahasannya tidak hanya pada aktivitas ekonomi, melainkan masuk ke kegiatan wisata.

Kegiatan wisata adalah kegiatan rekreasi, bersenang-senang yang dilakukan oleh siapa saja, baik yang berduit maupun yang tidak berduit setelah bosan dan penat dengan menggeluti rutinitas kehidupannya setiap hari. Kelompok orang yang berduit datang ke tempat-tempat rekreasi atau tempat-tempat hiburan guna mendapatkan hiburan dengan mengeluarkan sejumlah uang hasil dari kerja kerasnya. Mereka mengunjungi tempat-tempat wisata yang terkenal dengan fasilitas yang mahal, mulai dari pelayanan perjalanan, penginapan, pemandangan alam, suguhan tradisi budaya, dan lain-lain.

Begitu pula dengan kelompok orang dengan uang yang pas-pasan, mereka datang ke tempat-tempat tertentu, seperti lapak, lapo tuak, pak laru, dan lain-lain untuk mendapatkan hiburan. Lebih dari itu mereka yang suka bertualang, suka melakukan perjalanan ke mana saja untuk mendapatkan kebanggaan dan kepuasan, sesulit apa pun tempat tujuan itu, pasti akan didatangi dengan segala daya dan upaya.

Kegiatan wisata, yang menjadi tugas pokok dari Disparekraf, serta diminati oleh sektor-sektor swasta adalah kegiatan hiburan untuk mendapatkan keuntungan. Setiap negara dan daerah berjuang mendapatkan penghasilan dari sektor pariwisata. Masing-masing negara dan daerah berupaya menata dan mempopulerkan potensi-potensi wisata yang ada di daerahnya masing-masing untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung, mendapatkan hiburan, kepuasan dengan mengeluarkan sejumlah uang.

Prinsip take and give; daerah tujuan wisata memberikan dan menyajikan hiburan dan kepuasan, sementara para wisatawan memberikan sejumlah uang ke daerah melalui mekanisme membeli jasa-jasa hiburan. Dengan prinsip persaingan, seyogianya ketika daerah mengeluarkan anggaran yang semakin besar untuk membangun pariwisata, maka wisatawan akan semakin banyak mengunjungi daerah itu. Asumsi ini, khusus Nusa Tenggara Timur belum terjawab dengan baik.

Di samping promosi yang gencar dilakukan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten seperti; promo Kepariwisataan NTT 2010 melalui kegiatan-kegiatan: kampanye bersama komodo di dalam dan luar negeri, untuk masuk ke dalam tujuh keajaiban dunia, kerja sama dengan Yayasan Cinta Bahari agar Sail Indonesia masuk NTT melalui Kupang, ekspo NTT yang lebih besar, festival musik dan tarian tradisional, festival Sasando, Sadar Wisata, Pelatihan Tata Boga, Lomba Mancing, Festival Kelimutu, Festival Budaya Flobamora, Jambore Pariwisata, dan Tour de Flores yang dilanjutkan dengan Tour de Timor; pemerintah juga membangun berbagai fasilitas di tempat-tempat tujuan wisata.

Catatan lapangan kami di Pantai Pede, Labuan Bajo, Minggu 3 Oktober 2010 bahwa Pantai Pede dirancang dan dibangun Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi area rekreasi umum. Lokasi dengan pantai pasir yang bersih dan laut yang jernih sepanjang waktu itu dibangun sejumlah fasilitas umum seperti lopo, MCK, warung makan, tempat duduk. Tempat rekreasi ini baru dimanfaatkan sebagai area bermain anak yang ditemani orang tua, arena cengkerama remaja kelas menengah ke bawah, yang tentunya memiliki nilai ekonomi kepariwisataan yang rendah.

Catatan ini tidak jauh berbeda dengan di tempat-tempat lainnya seperti Taman Wisata Alam Ruteng, Taman Wisata Alam Buat di Timor Tengah Selatan, Tempat Pemandian Baumata, Tempat Rekreasi Pantai Lasiana. Spot-spot wisata di desa-desa yang dibangun dengan dana desa, dan yang terang benderang di Kota Kupang, di Pantai Laut dan Pantai Pasir Panjang. Fasilitas wisata yang dibangun dengan dana pusat Rp.80 miliar berkat kemurahan hati presiden Jokowi, setelah diresmikan sendiri oleh Presiden Jokowi pada Maret 2022, fasilitas-fasilitas nan mahal itu seolah dibiarkan terlantar.

Jika fasilitas-fasilitas wisata itu dibiarkan dan tidak memiliki nilai ekonomi, maka dengan sendirinya akan mubazir karena ketiadaan dana pemeliharaan.

Catatan-catatan seperti ini menggambarkan bahwa fasilitas kepariwisataan yang dibangun Pemerintah Daerah kurang bermanfaat, ada yang mubazir lantaran tidak terawat. Pantai tidak terawat. Lingkungan tidak dibersihkan, fasilitas yang  rusak dibiarkan begitu saja, tidak diperbaiki. Fasilitas wisata dikelilingi semak belukar. Pasti keluhan klasik, tidak ada dana, Pemerintah Daerah tidak menganggarkan biaya perawatan. Padahal lokasi-lokasi itu adalah obyek wisata yang potensial, yang bisa menghidupi dirinya sendiri bila dikelola dengan orientasi bisnis wisata.

Kawasan-kawasan wisata yang sudah dibangun itu semestinya terus dibenahi menjadi taman rekreasi yang menarik bernilai ekonomi. Setelah mandi ada kegiatan atau permainan apa lagi. Ada air bersih untuk mandi, dan ada fasilitas-fasilitas bermain lainnya, yang bisa menjadikan para pengunjung betah menikmatinya.

Kembali ke masalah tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional di desa Lamalera. Desa ini adalah desa tradisional yang sumber daya manusianya rata-rata berpendidikan rendah. Mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi memilih hidup di luar desa, hidup di kota-kota besar dan tenggelam di dalam arus modernisasi, namun ketika kembali ke desanya, Lamalera, generasi yang berpendidikan ini kembali tenggelam dalam suasana kehidupan tradisional warisan nenek moyangnya, menghormati dan menjaga kelestariannya.

Mereka tenggelam di dalam ritus-ritus warisan nenek moyang dalam kaitannya dengan siklus kehidupan, rangkaian aktivitas ekonomi tradisional menangkap ikan-ikan besar, mengolahnya dengan cara-cara yang dikenal turun temurun, lalu dibawa untuk dibarter ke desa-desa di daerah pedalaman.

Tradisi penangkapan ikan paus yang terus dijaga kelestariannya oleh yang empunya (orang Lamalera) ketika memasuki era modernisasi, hingar bingar kemajuan di berbagai bidang kehidupan turut mendapatkan apresiasi sebagai tradisi langka dan unik sebagai obyek wisata. Desa ini setiap hari dikunjungi wisatawan domestik dan manca negara. Setiap tahun desa Lamalera dikunjungi tidak kurang dari 1.000 wisatawan asing. Sebagai desa yang terus menjaga kelestarian tradisinya, namun amat terbuka di dalam kontaknya dengan beragam suku bangsa yang berlatar kebudayaan yang beragam pula.

Kontak-kontak budaya antara masyarakat desa Lamalera dengan wisatawan domestik dan mancanegara diyakini membawa perubahan-perubahan dari waktu ke waktu. Kecenderungan seperti ini sudah, sedang dan akan melahirkan sejumlah masalah terutama bagi eksistensi tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional; sehingga di satu sisi tradisi penangkapan ikan paus secara tradisi diharapkan terus dijaga kelestariannya, sementara pada pihak lain kontak-kontak budaya yang semakin intensif akan berpengaruh terhadap semakin cepatnya perubahan tradisi yang mengikat orang Lamalera dari generasi ke generasi sebagai nelayan penangkap ikan paus secara tradisional.

Pariwisata adalah sektor tersier, sektor jasa yang juga menjadi indikator kemajuan di suatu daerah. Pariwisata adalah juga sektor unggulan yang mau tidak mau dimiliki oleh setiap daerah. Pemerintah, mulai dari pemerintah pusat  hingga pemerintah daerah menempatkan pariwisata sebagai program unggulan, karena sektor ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pendapatan suatu daerah. Di pusat ada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, di daerah ada Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lembaga ini diharapkan memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pariwisata.

Di beberapa daerah pariwisata berkembang dengan pesat, Dinas Pariwisata berfungsi dengan baik sebagai dinas kemakmuran, sementara di berapa daerah lainnya di Indonesia Dinas Pariwisata malah hadir sebagai beban bagi daerah. Keberadaan OPD Pariwisata sebagai beban daerah hendaknya dicarikan jalan pemecahannya oleh berbagai pihak, pemerintah, media, pengusaha, investor, masyarakat, perguruan tinggi, lembaga-lembaga keagamaan, dan lembaga-lembaga adat.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *