Mantan Napi Korupsi Nyaleg, Bagaimana Komitmen Parpol?

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Apa artinya “extra ordinary crime”, kejahatan luar biasa, kalau tindakan yang diambil biasa-biasa saja? Useless, percuma, enggak ngefek! Kita sudah sepakat bahwa korupsi itu tergolong kejahatan luar biasa. Paling tidak secara definisi. Walaupun dalam kenyataannya… jauh panggang dari api.

Nginep “sebentar” di Sukamiskin, dalam tempo “sesingkat-singkatnya” lalu bisa kembali bersuka tanpa jadi miskin. Padahal jadi miskin (dimiskinkan) adalah momok yang paling ditakuti para koruptor.

Korupsi di sini artinya yang dilakukan oleh koruptor yang sudah tertangkap maupun yang masih hahaha-hihihi sambil zzzzzzzzzz (ngorok) di ruang sidang.

Makanya, RUU Perampasan Aset Koruptor dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal adalah dua RUU yang terus-menerus dihalangi pengesahannya oleh para konspirator korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) baru saja merilis nama-nama mantan napi korupsi yang kembali menjadi calon legislatif (nyaleg). Nyaleg artinya ikut kontestasi pemilu, mau jadi pejabat negara lagi. Sementara ini ada 15 nama yang sudah terdeteksi.

Kenapa ICW yang merilis, kok bukan KPU? Yah, kita tunggu saja bersama jawaban KPU yang sampai sekarang masih bungkam.

Parpol (yang punya caleg mantan napi korupsi itu) juga bungkam. Apakah lantaran nama-nama caleg yang sudah keluar di DCS (daftar calon sementara) itu masih punya banyak “amunisi” yang juga bisa menguntungkan parpol? Soal idealisme pemberantasan korupsi? Ah… apa itu?

Kita sebut saja nama kelima belas eks napi korupsi itu, dari parpol (untuk DPR) dan independen (DPD). Ini daftar sementara ya, bisa jadi nanti bertambah panjang (belum lagi yang DPRD). Sumber dari DetikNews, Minggu 27 Agustus 2023:

Dari Partai Nasdem: 1) Abdillah, caleg DPR RI, dapil Sumut I, no urut 5, kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyelewengan dana APBD. 2) Abdullah Puteh, caleg DPR RI, dapil Aceh II, no urut 1, kasus pembelian helikopter saat menjadi Gubernur Aceh. 3) Rahudman Harahap, caleg DPR, dapil Sumut I, no urut 4, kasus dana tunjangan aparat desa Tapanuli Selatan saat menjadi Sekda Tapanuli Selatan.

4) Eep Hidayat, dapil Jabar IX, no urut 1, korupsi pajak bumi dan bangunan Kabupaten Subang, mantan Bupati Subang. 5) Budi Antoni Aljufri, dapil Sumsel II, no urut 9, kasus suap Ketua MK, mantan Bupati Empat Lawang.

Dari Partai PKB: Susno Duadji, caleg DPR, dapil Sumsel II, no urut 2, korupsi pengamanan Pilkada Jabar 2009 dan korupsi penanganan PT Salmah Arowana Lestari

Dari Partai Golkar: Nurdin Halid, caleg DPR, dapil Sulsel II, no urut 2, korupsi distribusi minyak goreng Bulog.

Dari Partai PDIP: 1) Al Amin Nasution, caleg DPR, dapil Jateng VII, no urut 1, kasus suap Sekda Kab Bintan Kepri untuk memuluskan proses alih fungsi hutan lindung di Kab Bintan. 2) Rokhmin Dahuri, caleg DPR, dapil Jabar VIII, no urut 1, kasus dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan

Caleg independen (DPD): 1) Patrice Rio Capella, dapil Bengkulu, no urut 10, kasus gratifikasi proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD. 2) Dody Rondonuwu, dapil Kaltim, no urut 7, kasus dana asuransi 25 orang anggota DPRD Kota Bontang periode 2000—2004 (saat itu Dody anggota DPRD).

3) Emir Moeis, Dapil Kaltim, no urut 8, kasus suap proyek pembangunan PLTU di Tarahan. 4) Irman Gusman, Dapil Sumbar, no urut 7, kasus suap impor gula Perum Bulog. 5) Cinde Laras Yulianto, Yogyakarta, no urut 3, kasus dana purna tugas Rp 3 miliar. 6) Ismeth Abdullah, dapil Kepulauan Riau, no urut 8, kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran, mantan Gubernur Kepulauan Riau.

Bagaimana ini proses seleksinya (oleh parpol)? Ini kan ibarat memasang maling (atau mantan maling) untuk jadi satpam di rumah kita.(*)

Jakarta, Minggu 27 Agustus 2023

Penulis merupakan Direktur Pelaksana, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *