Lembata | Guna memperkukuh sinergi dengan tokoh agama di sekitar kawasan pembangunan geotermal pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Atadei 10 MW dan mewujudkan Lembata sebagai pulau 100 persen energi hijau, PT PLN (Persero) melalui Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra) berkunjung ke rumah pastoran Gereja St. Maria Baneux Kota Lewoleba, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Pada pertemuan yang dihadiri oleh Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung dan jajarannya, Vikjen Romo Gabriel Unto Da Silva dan Sekjen Keuskupan Larantuka, Romo Ancis Kwaelaga, serta Romo Deken Lembata, Romo Sinyo Da Gomez, PT PLN (Persero) UIP Nusra memaparkan sejumlah tahapan dan proses-proses adat yang telah dan akan dilakukan dalam mendukung keberlanjutan pembangunan geotermal PLTP Atadei untuk mewujudkan Lembata sebagai pulau 100 persen energi hijau.
Adapun rangkaian tahapan yang telah dilaksanakan tersebut, di antaranya ekspos ke pemerintah daerah dalam forum komunikasi pimpinan daerah, pelaksanaan studi banding ke Geotermal Kamojang yang diikuti Forkopimda dan perwakilan masyarakat, seminar budaya Atakore, sosialisasi pengembangan panas bumi, sosialisasi pengadaan tanah di Desa Atakore dan Desa Nubahaeraka, serta identifikasi dan inventarisasi lahan maupun tegakan di lokasi pembangunan PLTP Atadei.
Di samping itu, pemerintah desa serta pemangku adat setempat juga telah melakukan ritual adat Ahar Tu di lokasi Ina Kar, pertanda dimulainya kegiatan di lokasi seturut tradisi budaya setempat.
“Hari ini (7 Oktober 2024-red) kami mengumumkan hasil identifikasi kepemilikan lahan dan inventarisasi tegakan di Desa Nubahaeraka. Seluruh tahapan dan proses sosialisasi hingga seminar budaya juga berjalan lancar,” ungkap Manager Pertanahan dan Aset PT PLN (Persero) UIP Nusra, Bobby Robson Sitorus.
Dialog tersebut juga membahas kendala yang dialami sepanjang proses pembangunan, termasuk upaya penolakan dari oknum yang mengaku sebagai pemilik lahan.
Terkait kendala tersebut, Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung menyimpulkan bahwa kemungkinan alasan di balik penolakan tersebut lantaran masyarakat belum memahami pentingnya pembangunan PLTP Atadei atau ada hal-hal yang diinginkan, namun belum sempat tersampaikan. Tetapi menurutnya, jika adat sudah dijalankan maka pembangunan harus dituntaskan.
“Dalam proses pembangunan ada setuju dan tidak. Kalau proses pengetahuan dan aspek adat jalan baik, ada persetujuan baik dari masyarakat lokal, maka kerjakan saja. Ini bagian dari proses pembangunan. Tinggal bagaimana mengelola penolakan dengan baik agar tidak mengganggu pekerjaan,” ucap Mgr. Fransiskus Kopong Kung.
Uskup Larantuka juga menegaskan apabila ada ditemui rohaniwan yang ikut dalam upaya penolakan, maka hal tersebut turut menjadi tugas keuskupan. “Jangan sekadar tolak supaya ramai, atau kah dampak bahaya itu apakah ada, bagaimana mencegah. Kalau ada bahaya, jangan tangkap bahayanya saja. Para ahli ada solusi, pengendalian dan kontrol. Saya percayakan pada proses yang sudah jalan. Urusan di lapangan tetap dijalankan PLN dan jajaran pemerintah,” ujar Mgr. Fransiskus Kopong Kung.
Senada dengan Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Sekjen Keuskupan Larantuka, Romo Ancis Kwaelaga, merasa skeptis dengan gerakan penolakan tersebut. Pasalnya segala upaya sosialisasi hingga menggandeng ahli geotermal telah dilakukan PT PLN (Persero). Ia berharap proses tersebut, termasuk perhatian pada adat dan budaya setempat, dapat terus dilakukan dan dipertahankan PLN hingga menjangkau seluruh masyarakat, khususnya masyarakat terdampak.
“Dampak aspek budaya mendarah daging dalam diri umat. Kalau ada teori baru mereka sulit menerima. Budaya Lamaholot bertumpu pada kekuatan Ama Lerawulan dan Ina Tana Ekan,” ujar Romo Ancis Kwaelaga.
Romo Ancis Kwaelaga menegaskan bahwa energi baru terbarukan (EBT) hendaklah dapat dikembangkan dengan satu konteks ramah lingkungan dan dimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat.
Sementara itu, Romo Vikjen Geby Unto Da Silva menekankan bahwa potensi panas bumi di NTT berguna baik untuk masyarakat. Ia pun mengaku belum dapat memastikan dasar penolakan dari oknum yang mengaku sebagai pemilik lahan.
“Bagaimanapun panas bumi adalah berkah, pemberian. Tentu kita perlu bersyukur. Kalau ada ahli yang mengatakan bisa dipergunakan, kenapa kita harus menolak. Karena berbeda dengan tambang emas, di Lembata ini eksplorasi panas bumi. Kalau ada dampak perusakan lingkungan dan ada pula cara atau teknologi yang mengurangi dampak itu, tolong disampaikan kepada publik,” kata Romo Vikjen Geby Unto Da Silva.
Pernyataan Romo Vikjen Geby Unto Da Silva bahwa geotermal bukanlah tambang, melainkan eksplorasi panas bumi, juga sebelumnya telah ditegaskan oleh ahli geotermal, Ali Ashat, dan putra asli Lembata sekaligus ahli panas bumi, Gregorius Ladjar, pada sosialisasi PLTP Atadei di Desa Nubahaeraka, Lembata, pada 22-24 Agusutus 2024.
Pada kegiatan tersebut, Ali Ashat, selaku peneliti yang telah berkecimpung selama 30 tahun di bidang geotermal menggarisbawahi bahwa geotermal bukanlah tambang. Ia menyatakan bahwa proyek strategis nasional (PSN) ini memiliki visi besar menjadikan Lembata sebagai pulau pertama di dunia yang menggunakan listrik terbarukan 100 persen secara mandiri. Jika hal ini terwujud, maka akan mendongkrak sektor perekonomian Lembata.
“Bahasa risiko itu tidak selalu berbahaya. Risiko bisa dikendalikan dengan prosedur, aturan, dan juga teknologi. Semua itu bisa dilakukan mitigasi, mengurangi, atau bahkan menghilangkan,” kata Ali Ashat.
Sementara itu, pada kegiatan yang sama, Gregorius Ladjar, mengimbau masyarakat di tanah kelahirannya agar tidak cemas dan khawatir pada rencana PT PLN (Persero) membangun PLTP Atadei 10 MW di Lembata.
“Semua sudah punya solusi. Saya kira tidak ada masalah yang terlalu berat. Jadi ini, kasarnya, tidak ada potensi-potensi yang berbahaya sebab pemantauan itu dilakukan sangat ketat,” kata Gregorius Ladjar.
Gregorius menegaskan kepada masyarakat sekaligus peserta sosialisasi bahwa segala upaya pembangunan dari pemerintah yang menyangkut emisi terhadap lingkungan memiliki standar tertentu dan selalu berpatokan pada regulasi yang berlaku.
Di lain kesempatan, GM PT PLN (Persero) UIP Nusra, Abdul Nahwan, berharap silaturahmi dengan keuskupan Larantuka dapat memperkuat sinergi dalam keberlanjutan pembangunan PLTP Atadei 10 MW di Lembata serta mewujudkan Lembata sebagai pulau 100 persen energi hijau.
GM Abdul Nahwan menyambut hangat segala usulan yang dituangkan dalam diskusi-diskusi tersebut untuk selanjutnya diterapkan dalam setiap tahapan eksplorasi geotermal di Lembata.
“Segala upaya pembangunan di Lembata adalah untuk kebaikan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pembangunan PLTP Atadei, PLN akan terus melangsungkan sosialisasi dan berdialog dengan masyarakat, pemilik lahan, tua adat, tokoh pemuda hingga tokoh agama, juga menjunjung tinggi adat dan budaya setempat, demi mencapai satu visi mewujudkan Lembata sebagai pulau seratus persen energi bersih,” ucap GM Abdul Nahwan.(*)
Sumber (*/tim)