Jakarta, Garda Indonesia | Anggota DPR RI Komisi IV Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema mempertanyakan kelanjutan dan kejelasan penanganan kasus korupsi proyek pengadaan bibit bawang merah di Kabupaten Malaka tahun 2018.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang butuh penindakan dan penanganan serius.
Karena itu, melalui rilis yang diterima media ini pada Jumat, 12 Juni 2020, Ansy mendesak aparat penegak hukum untuk bersikap tegas, transparan, dan adil atas kasus ini. Masyarakat Malaka sementara menunggu kejelasan kasus ini, sekaligus berharap aparat hukum harus menindak tegas para pelaku korupsi. Keadilan harus ditegakkan, kejahatan korupsi diusut tuntas, pelakunya ditindak tegas sesuai hukum.
“Apa kabar kasus korupsi bawang merah di Malaka? Saya bertanya karena hingga saat ini belum ada kelanjutan dan kejelasan yang pasti tentang pengungkapan skandal kasus korupsi proyek pengadaan bibit bawang merah tahun anggaran sebesar 4,9 dari total nilai proyek sebesar Rp.10,8 miliar. Ini pencurian uang rakyat. Untuk kabupaten kecil seperti Malaka, ini angka fantastis. Tidak heran rakyat Malaka sudah lama menunggu jawaban atas kasus pengadaan bibit bawang merah tersebut,” ujar Ansy Lema di Jakarta (26 Mei 2020).
Sejauh ini Polda NTT telah menetapkan Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka Yustinus Nahak beserta 8 (delapan) pihak lainnya sebagai tersangka pelaku korupsi bawang merah. Proyek pengadaan bibit bawang merah itu, merupakan program unggulan di bawah rentang kendali kebijakan bupati Malaka Stefanus Bria Seran sejak 2015.
Pembahasan anggaran pasti melibatkan DPRD Kabupaten Malaka. Aparat hukum harus berani menyelidiki dan mendalami pola relasi kekuasaan dan kewenangan eksekutif dan legislatif atas kasus ini. Jangan sampai terjadi makelar kasus yang mengakibatkan tertutupnya pengungkapan aktor-aktor utama korupsi bawang merah.
“Siapa pun pelakunya harus diusut tuntas. Transparansi, ketegasan dan komitmen aparat hukum demi rasa keadilan itu penting untuk mencegah moral hazard berupa praktik makelar kasus atau menghindari adanya bentuk pemerasan oleh oknum-oknum penegak hukum terhadap pihak-pihak yang sedang diperiksa demi menghentikan penanganan suatu kasus korupsi,” tegas Ansy.
Pihak penyidik Direktorat Reskrimsus Polda NTT telah melimpahkan tiga berkas perkara kasus korupsi pengadaan bawang merah tahun 2018 kepada pihak penuntut Kejaksaan Tinggi NTT pada Selasa 21 April 2020. Pihak kejaksaan telah merespons dengan mengembalikan berkas tersebut ke Polda untuk dilengkapi. Sampai saat ini belum ada kejelasan informasi dari Polda terkait materi apa yang harus dilengkapi oleh para penyelidik.
“Penyidik harus transparan memberi informasi kepada publik NTT, terutama rakyat Malaka agar tidak ada kesan aparat tidak serius terhadap pengusutan kasus korupsi. Sudah sampai di mana bolak-balik perkara antara penyidik dan jaksa? Mengapa terkesan ada tarik ulur? Padahal menurut ahli pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr Prija Djatmika, S.H. seharusnya tarik ulur berkas perkara tersebut bisa diminimalkan jika minimal dua alat bukti sudah terpenuhi. Ini penting agar jaksa segera memulai tugasnya untuk melakukan pendalaman dan penuntutan,” urai Ansy.
Menurut Ansy, korupsi bawang merah termasuk korupsi pangan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Kemiskinan di NTT hingga kini adalah kemiskinan petani. Petani harus diberikan bantuan untuk membuka lahan kering, diberikan bibit, dan mendapat pendampingan untuk pembukaan lahan. Bantuan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan para petani justru dikorupsi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, petani Malaka yang dijerat kemiskinan harus menanggung akibat dari mafia pangan yang bersembunyi di balik bantuan bibit bawang.
“Bantuan bibit yang seharusnya digunakan untuk kepentingan banyak orang dicuri oleh eksekutif pemerintah daerah dan bekerja sama dengan pengusaha. Mereka berpesta pora di balik penderitaan rakyat dan petani. Karena itu, penindakan kasus korupsi bawang di Malaka adalah indikator untuk menilai sejauh mana keberpihakan aparat penegakan hukum terhadap keadilan dan kepentingan masyarakat kecil,” tegas Ansy Lema.
Dalam Perpres Nomor: 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2020—2024, Kabupaten Malaka termasuk salah satu dari 62 daerah tertinggal di Indonesia. Ironis bila upaya untuk mengeluarkan Malaka dari ketertinggalan tidak diikuti oleh penegakkan hukum kasus korupsi pangan. Penindakan tegas terhadap aktor-aktor korupsi merupakan bagian integral dari upaya membangun Malaka dari ketertinggalan. Korupsi menjadi salah satu faktor yang memiskinkan masyarakat.
“Kebijakan pembangunan sebaik apa pun jika tidak disertai SDM birokrasi yang bersih dari korupsi tidak akan berjalan efektif. Penindakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku kasus korupsi pangan di Malaka saat ini harus menjadi momentum transformasi kepemimpinan yang bersih dari korupsi, sekaligus bersih-bersih eksekutif pemerintah daerah Malaka yang korup,” jelasnya.
Ansy Lema menambahkan agar tidak boleh terjadi pembelokan fokus pengusutan, dari pengusutan kasus korupsi kepada tuntutan pencemaran nama baik.
“Jangan sampai publik, masyarakat sipil dan media yang bersuara kritis dikriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik. Hal itu merupakan bentuk perlawanan para pihak yang diduga terlibat kasus korupsi untuk memukul balik kekritisan publik yang menghendaki pengusutan tuntas kasus korupsi,” pungkas Ansy Lema.(*)
Sumber berita dan foto (*/Tim Media Ansy Lema)
Editor (+rony banase)