Jakarta, Garda Indonesia | Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah melalui proses yang sangat panjang, mulai penyusunan konsep, naskah akademik, hingga menjadi Rancangan Undang-Undang. Namun, pada 2 Juli 2020, Ketua Badan Legislasi DPR RI menjelaskan RUU PKS ditarik dari Program legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Baca juga : http://gardaindonesia.id/2020/09/03/menteri-bintang-dorong-ruu-pks-masuk-prolegnas-2021-dalam-raker-dpr-ri/
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pun tidak menampik, RUU PKS masih menjadi pro dan kontra di masyarakat, namun ia mengajak seluruh pihak mengambil hikmah dari berbagai masukan tersebut untuk memperkaya muatan substansi RUU PKS dalam pembahasan berikutnya.
“Hal ini tentunya menjadi keprihatinan bagi kita semua, mengingat urgensi adanya RUU ini sangat besar karena kekerasan seksual tidak hanya memberikan dampak kepada korban tetapi juga kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, saya mengharapkan tokoh agama dan organisasi keagamaan untuk turut serta mengadvokasi, mengedukasi, menarasikan, dan membangun persepsi yang benar di masyarakat mengenai muatan RUU PKS ini. RUU PKS bukan hanya permasalahan bagi perempuan, tetapi juga menyangkut kepentingan semua pihak, baik laki-laki, anak-anak, dan penyandang disabilitas,” ujar Menteri Bintang dalam Dialog RUU PKS dengan Tokoh Agama dan Organisasi Keagamaan melalui virtual.
Menteri Bintang menjelaskan Kemen PPPA secara proaktif terus membuka ruang diskusi dan dialog untuk mendapat masukan, gambaran, menghimpun berbagai perspektif, upaya, pendapat, dan masukan dari berbagai pihak mengenai strategi terbaik dalam rangka penghapusan kekerasan seksual. Dari berbagai diskusi dan pertemuan tersebut disimpulkan bahwa urgensi disahkannya RUU PKS sudah tidak dapat ditunda lagi sebab secara dasar penyusunan RUU PKS telah memenuhi syarat. Selain itu, dibutuhkan sistem pencegahan kekerasan seksual yang komprehensif dan adanya pengaturan yang berperspektif korban.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang membenarkan jika RUU PKS menjadi sebuah keharusan untuk disahkan karena adanya kekosongan hukum untuk memberikan perlindungan yang maksimal bagi korban dan memberikan efek jera pada pelaku.
“Dari hari ke hari, korban kekerasan seksual terus bertambah. Namun Undang-Undang yang ada mengalami kekosongan. Sekalipun ada Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga tapi pengaturannya itu terpencar-pencar tidak utuh. Sementara, kita butuh ada sebuah keutuhan alurnya, mulai dari pencegahan sampai rehabilitasi prosesnya utuh. Oleh karena itu, Undang-Undang ini (UU PKS) menurut saya memang penting dan segera,” tutur Marwan Dasopang.
Dari perspektif tokoh agama, Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid, Cirebon, KH Husein Muhammad meyakini jika tujuan dari semua agama bukan untuk menciptakan kerusakan, membodohi, apalagi melakukan kekerasan tapi untuk menciptakan lingkungan sosial yang baik, persaudaraan, keadilan, kasih sayang dan cinta. Oleh karena itu, kehadiran RUU PKS diharapkan dapat dimaknai dengan bijak.
“Sesungguhnya secara normatif, RUU PKS ini sudah menjadi dapat diterima tinggal penyesuaian pada isu-isu krusial yang mungkin harus dipahami secara bersama. Mungkin ada pemahaman-pemahaman yang belum cukup disepakati mengenai terminologi sehingga menimbulkan kesan-kesan negatif,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid, Cirebon, KH Husein Muhammad.
Dari dasar hukum, Senior Independent Advisor and Legal Policy and Human Rights Valentina Sagala menjelaskan prinsip dasar pembentukan RUU PKS adalah Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak akan lepas dari Pancasila. Valentina juga membenarkan jika ada kekosongan substansi hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, sehingga dibutuhkan sebuah RUU.
“Dalam RUU PKS ini, pengalaman korban berhadapan dengan sistem hukum itu akan tercermin. Artinya negara hadir untuk melindungi para korban. Bisa ada beberapa pengalaman dari korban, pertama kasusnya tidak diadili karena tidak ada hukumnya. Kedua mungkin ada, tapi hukum acaranya terbatas artinya kesulitan dalam mencari pembuktian. Jadi memang RUU ini sebaiknya dibuat evidence base (berbasis bukti) artinya tidak mengada-ada, memang korbannya ada, korbannya menderita maka dari itu perlu diatur,” jelas Valentina Sagala.
Di sisi lain, Prof. Musda Mulia dari Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) menjelaskan ada banyak faktor yang menyebabkan kekerasan seksual dan yang paling menonjol adalah faktor ketidakadilan gender. Musda menegaskan jika pandangan-pandangan bias gender harus dihapuskan, terutama dalam konteks untuk menggolkan RUU PKS.
“Prinsip keadilan gender adalah prinsip yang sejalan dengan konstitusi, bahkan sejalan dengan esensi agama itu sendiri, yang ujungnya adalah memanusiakan manusia. Marilah kita bersama-sama memahami dengan baik bahwa RUU PKS ini sangat-sangat urgen. Semua tokoh agama seharusnya dilibatkan karena Undang-Undang ini bukan untuk mengatur perempuan tetapi membawa kesejahteraan bagi kita semua,” ujar Musda Mulia.
Dalam dialog, dukungan terhadap RUU PKS juga disampaikan oleh berbagai perwakilan tokoh agama yang hadir mulai dari tokoh agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, juga Katolik serta organisasi keagamaan lainnya.(*)
Sumber berita dan foto (*/Publikasi dan Media Kementerian PPPA)
Editor (+rony banase)