Jagung dan Tradisi Makan Jagung Adat Masyarakat Timor

Loading

Oleh : Roni Banase

Tanaman Jagung bagi masyarakat yang bermukim di daratan seluas sekitar 15.000 km (termasuk di Negara Republik Demokratik Timor Leste[RDTL]) mempunyai beragam manfaat, mulai dari sebagai makanan pokok yang dapat diolah menjadi Jagung Katemak (rebusan bulir Jagung tua beserta beragam sayur mayur, red) dan Jagung Bose (jagung yang diolah dengan cara ditimpa dalam palungan kayu hingga kulit terkelupas kemudian dimasak dengan santan dan dicampur kacang-kacangan, red) hingga dijadikan Jagung Bunga atau Popcorn.

Namun, untuk saat ini, saya ingin menyuguhkan informasi bagaimana Orang Timor khususnya di Desa Naiola, Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memperlakukan tanaman dengan nama ilmiah Zea Mays yang merupakan salah satu tanaman pangan penghasil karbohidrat terpenting di dunia, selain gandum dan padi.

Bagi warga di Desa Naiola (tempat Papa dan Mama menghabiskan masa tua mereka, red), selain sebagai ketahanan pangan, Jagung juga memiliki nilai historis adat yang sarat makna. Tak hanya asal ditanam, lalu dibiarkan tumbuh sendiri tanpa perawatan, namun sebelum di tanam Saat awal musim hujan (Oktober hingga Maret); Jagung diambil dari tempat penyimpanan selama kurang lebih setahun bahkan lebih yang mana disimpan di lumbung pangan Masyarakat Timor yakni Lopo. Di atas bubungan Lopo, atau loteng Lopo, Jagung disimpan sebagai bibit sekaligus berfungsi sebagai ketahanan pangan.

Prosesi mempersembahkan Jagung hasil panen kepada Leluhur Laki-laki di Hau Monef

Pastinya kita penasaran, mengapa harus disimpan di Lopo, bukannya tinggal membeli saja di toko bibit Pertanian? Karena bagi masyarakat Timor, bibit Jagung yang berasal dari stok yang disimpan telah melewati proses “Pemberkatan” atau telah didoakan oleh 3 (tiga) unsur yakni Allah, Alam, dan Arwah yang memiliki satu kesatuan utuh.

Bagaimana proses tersebut terjadi dan apa saja yang dilakukan oleh Masyarakat Timor? Saya pun tergelitik untuk menelusuri, meski saya lahir dari rahim seorang Ibu berdarah Rote bermarga Mooy dan Ayah asli Orang Timor bermarga Banase dan dibesarkan di Kota Kupang, namun kami telah berkunjung ke tempat kelahiran masing-masing orang tua kami sejak masih kecil dan menikmati setiap proses hidup dari hal sederhana hingga mencermati, mengamati, dan ikut melakukan prosesi upacara adat.

Harus diakui, saya pun jarang menikmati yang namanya Jagung Katemak, selain karena agak keras, makanan ini memang agak susah dicerna oleh lambung yang telah terbiasa dengan asupan nasi, jika dipaksa maka bakal berurusan saat menuju ke kamar kecil, di situ bakal membutuhkan waktu lama. Serupa dengan Jagung Bose, meski agak lunak dengan campuran santan Kelapa, namun serupa bakal berkontraksi dengan lambung.

Makan Jagung Adat Masyarakat Timor di Desa Naiola, tak ada Subordinasi antara Laki-laki dan Perempuan, duduk bersama menikmati Jagung hasil panen

Selanjutnya, saya lebih memilih menyantap Jagung Muda Rebus, seperti yang disuguhkan dalam prosesi upacara “Makan Jagung Adat” atau Tatek Pena Keluarga Banase di Desa Naiola pada Sabtu, 6 Maret 2021, saat menjenguk Papa dan Mama di sana sekaligus mengikuti prosesi tersebut. Sebagai anak sulung laki-laki, saya pun punya tanggung jawab untuk mengikuti lekuk prosesi itu, mulai dari memberikan ucapan terima kasih dengan menyembelih Ayam lalu disuguhkan dengan Jagung hasil bercocok tanam kepada 3 (tiga) unsur hingga pada proses akhir yakni menyantap secara bersama atau “Makan Jagung Adat”.

Yang membuat saya takjub dan kaget, saat “Makan Jagung Adat” kami para lelaki duduk bersama setara dengan kaum perempuan (tak ada Subordinasi), karena semua saudara dalam lingkaran pertalian kawin mawin datang untuk mengikuti prosesi tersebut. Mereka pun harus datang membawa hasil Jagung mereka yang dipotong dan diikat dengan cara beragam.

Saya pun disuguhi 5 tongkol Jagung Muda beserta potongan daging Ayam Rebus dan wajib memakan hingga habis, meski telah mencoba untuk menyantap hingga ludes, namun apa daya lambung tak bisa menyesuaikan. Namun, yang membuat saya terkesan, karena penuturan dari Bapak Tadeus Lae, beliau Ketua Badan Pemasyarakatan Desa (BPD) Desa Naiola. Menurutnya, tradisi “Makan Jagung Adat” masih terpelihara hingga kini dan dilakukan oleh setiap rumpun keluarga di setiap masa Tanaman Jagung telah masuk masa panen, biasanya pada bulan Maret setiap tahun.

Satu Aesap Jagung dan satu Pentauf Jagung diikat dan digantung di Lopo atau Ume Tobe

“Saat Jagung sudah siap panen, maka dipotong dan diikat lalu bakar lilin kepada leluhur sebagai ucapan terima kasih karena telah ikut menjaga dan merawat,” tutur Tadeus seraya menyampaikan hasil Jagung tersebut juga disimpan di Lopo atau Ume Tobe dan dipersembahkan ke Raja untuk disimpan di Lopo Tobe.

Saat menanam bibit Jagung yang diambil dari Lopo, imbuh Tadeus, Kita memberitahu Kakek dan Nenek yang telah mendahului agar ikut menjaga dan merawat tanaman Jagung. “Saat siap panen, maka kita harus memberitahu para leluhur dan memberikan masing-masing dari hasil kebun kepada Leluhur Laki-laki di Hau Monef atau Kayu Tuhan (potongan kayu bercabang tiga dengan ketinggian berbeda sebagai simbol Bapa, Putra, dan Roh Kudus), sementara untuk Leluhur Perempuan berada di dalam rumah berupa “Tatakan Batu” tempat membakar lilin dan menyuguhkan persembahan hasil kebun,” urainya.

Nah, saat panen Jagung hasil kebun, lalu diikat sebanyak 7 (tujuh) tongkol dalam satu rumpun atau disebut ‘Pentauf’ (sebagai simbol 7 hari dalam seminggu) dan diikat sebanyak 10 tongkol Jagung atau disebut ‘Aisap’ untuk digantung di Lopo dan dijadikan bibit, kemudian dimasukkan ke Ume Tobe dan Lopo Tobe, kemudian diatur untuk diserahkan ke Gereja dan Raja.

“Selanjutnya, 1 Aisap dan 1 Pentauf Jagung hasil kebun diserahkan dan disimpan di Lopo Tobe. Kita yang dapat lebih banyak hasil panen, sementara kita dapat lebih banyak hasil kebun,” urai Tadeus Lae sembari mengajak saya menikmati Jagung Muda Rebus hasil kebun Papa dan Mama sambil menelisik warga desa yang sedang melintasi jalan dengan memikul Potongan Pohon Jagung Muda untuk melakukan hal serupa yang sedang kami lakukan yakni “Tradisi Makan Jagung Adat Masyarakat Timor”.

Foto (*/koleksi pribadi)