Vaksinasi dan Nilai Kesehatan Masyarakat

Loading

Oleh : Karolus Ngambut, Anggota HAKLI NTT

Menyaksikan berita viral di media sosial perihal antrean masyarakat untuk mendapatkan vaksin Covid-19 di Kota Kupang, yang dilaksanakan di Poltekkes Kemenkes Kupang, mengakibatkan kerusakan fasilitas pagar dan bahkan masyarakat nekat melompat pagar untuk masuk dalam lingkungan kampus tempat pelaksanaan vaksinasi Covid-19.

Menurut pengakuan sejumlah masyarakat, ada yang sudah mengantre sejak pukul 04.00 dini hari untuk mendapatkan nomor antrean yang jumlahnya terbatas hanya 250 nomor tiap hari selama 3 hari (14—16 Juli 2021). Pengakuan sejumlah masyarakat seperti yang diberitakan d salah satu berita di media online  “ Tak Dapat Antrian vaksin, Warga rusak pagar Prodi Gigi Poltekes Kupang” bahwa sebagai masyarakat yang antre vaksin, guna mendapatkan sertifikat vaksin Covid-19 sebagai syarat administrasi pendaftaran seleksi CPNS, persyaratan perjalanan atau untuk dokumen administrasi lainnya, atau ada kekhawatiran penularan Covid-19 yang sedang ganas di Kota Kupang, dan di Provinsi yang belum menunjukkan penurunan jumlah kasus mingguan atau harian.

Sebagai gambaran bahwa sejak awal Juli  2021 jumlah kasus harian Covid19  memasuki puncak penularan tertinggi dan meskipun belum dapat diprediksi kapan puncak penularannya akan turun, jika dibandingkan dengan puncak penularan Covid-19 bulan pada periode Januari–Februari yang lalu, maka kali ini puncaknya lebih tinggi atau julah kasus Covid-19 harian lebih banyak.

Perilaku antrean masyarakat untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19 mempunyai koherensi dengan kebijakan pemerintah yang mensyaratkan sertifikat vaksin diunggah pada pendaftaran seleksi CPNS dan juga untuk dokumen administrasi lainnya, seperti dokumen perjalanan, selain itu, profil masyarakat yang mengantre vaksin Covid-19, terbanyak dari kaum muda atau generasi milenial.

Hipotesis bahwa masyarakat mengantre vaksin untuk mencegah penularan Covid-19, belum terbukti. Hal ini menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan, khususnya pendidik kesehatan masyarakat di berbagai tingkatan layanan bahwa kampanye pentingnya hidup sehat untuk mencegah penyakit tidak sepenuhnya dapat mengubah persepsi nilai hidup sehat yang ada di masyarkaat yang merupakan faktor pendorong perubahan perilaku masyarakat dalam bidang kesehatan.

Nilai hidup sehat dalam konteks ini dikesampingkan oleh “nilai ekonomi”. Sehingga dibutuhkan kreativitas dalam memproduksi dan mengirimkan pesan kesehatan untuk menciptakan nilai publik  yang sesuai dengan norma kesehatan masyarakat. Sosiolog Carl Marx  menjelaskan hal ini, bahwa perubahan sosial dipengaruhi oleh bangunan bawah, yaitu ekonomi akan mempengaruhi bagian atas, yaitu sistem sosial.

Selain itu, dari perspektif teori perubahan sosial (Sosial change theory) , bahwa perubahan sosial di terjadi bila adanya aturan insentif dan punishment. Sertifikat vaksin menjadi insentif bagi masyarakat untuk mendapatkan manfaat yaitu dapat memenuhi syarat pendaftaran seleksi CPNS dan dokumen administrasi lainnya.

Yang Perlu dan Harus Dilakukan

Motivasi tinggi masyarakat untuk mendapatkan vaksin Covid-19 harus direspons positif dan menjadi momentum peningkatan cakupan layanan vaksinasi Covid-19 bagi penduduk Kota Kupang  dengan menyediakan lebih banyak lagi tempat atau titik pelaksanaan vaksin Covid-19.  Atau dengan kata lain, kebijakan yang sifatnya mengatur atau membatasi masyarakat (meregulasi) harus diimbangi dengan kebijakan yang sifatnya menderegulasi (membebaskan) masyarakat untuk mendapatkan banyak pilihan lokasi layanan vaksinasi Covid-19.

Upaya ini memang tidak gampang, terkait banyak hal, seperti ketersediaan stok vaksin Covid-19, tenaga kesehatan yang memberikan layanan vaksinasi hingga  manajemen pengelolaan vaksinasi Covid19.

Covid-19 yang telah menjadi krisis multi dimensi yang ditandai dengan adanya tidak pasti kapan berakhirnya pandemi, menimbulkan ancaman terhadap lunturnya nilai-nilai fundamental masyarakat yang sudah ada selama ini, misalnya nilai kekeluargaan dan lain-lain. Diperlukan strategi  keterlibatan lintas sektor dalam konteks kolaborasi, bukan hanya sekadar melakukan koordinasi yang bersifat hierarkis struktural.

Jika menganut paradigma atau rezim kolaborasi, bahwa setiap aktor seperti pemerintah, organisasi non pemerintah, media massa, akademisi, tokoh masyarakat,  lembaga keuangan dan yang memiliki sumber daya terlibat dan mempunyai kesetaraan dalam peran untuk mengatasi masalah publik yang dihadapi saat ini. (*)

Foto utama (*/tangkapan layar)