“Bae Sonde Bae Flobamora” Refleksi Fanatisme Anak Negeri

Loading

Oleh : Yucundianus Lepa

Menteri Dalam Negeri di era Soekarno, Sanusi  Hardjadinata dalam sebuah kesempatan menerima kunjungan Tim Pejuang Pembentukan Provinsi Baru dari negeri Flobamora di Jakarta, menghadang Frans Sales Lega sang juru bicara dengan sebuah pertanyaan, “Berapa sarjana yang kamu punya untuk membentuk provinsi?”.

Lega tahu persis, ke mana arah pertanyaan Pak Menteri tersebut. Dengan cerdas dan penuh keyakinan sang juru bicara menjawab, “Justru supaya kami bisa bikin sarjana, kami mau bentuk provinsi.” Tanpa takut walau dengan  perasaan yang membuncah berhadapan dengan Pak Menteri, Lega justru kembali bertanya, “berapa jumlah sarjana di Indonesia ketika Presiden Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia?” Atas keberanian sang juru bicara Tim Pejuang Pembentukan Provinsi Baru tersebut, Pak Sanusi hanya bisa diam, tidak memberi respons apa pun.

Nukilan sejarah Pembentukan Provinsi Baru Negeri Flobamora sebagaimana dikisahkan Dr. Ben Mboi, Gubernur NTT periode 1978—1988 dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit Pamong Praja, sebagaimana dikisahkan lebih lanjut. Waktu itu sekitar tahun 1957, rombongan Frans Sales Lega yang dipimpin Tobing sebagai Ketua, Lega sebagai juru Bicara, ND Dillak, Piet Pareira-Fernandez dan beberapa anggota rombongan  lainnya, menginap di Hotel Des Indes Jalan Majapahit Jakarta. Di antara anggota tim, sebagiannya belum pernah menginjakkan kaki di Kota Jakarta, sehingga ada rasa takut yang besar berada di kota metropolitan, terutama rasa takut ketika akan  menyeberangi jalan Majapahit  yang kala itu sangat padat lalu lintas.

“Sekadar menyeberangi jalan saja sudah merupakan pertaruhan nyawa”, nyeletuk salah satu anggota tim.  Meski demikian, bayangan terbentuknya provinsi baru terus terngiang dalam benak para pejuang pembentukan provinsi baru negeri Flobamora, dan membakar semangat anggota tim untuk terus berjuang tanpa menyerah.

Hasil perjuangan itu akhirnya berbuah manis. Pada tahun 1958, melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tanggal 14 Agustus, Nusa Tenggara Timur ditetapkan sebagai sebuah provinsi baru bersamaan dengan pembentukan Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang semulanya tergabung dalam Provinsi Nusa Tenggara.  Walaupun pembentukan tiga provinsi ini  ditetapkan dalam satu Undang-Undang yang sama, namun tanggal peresmian dilakukan berbeda. Provinsi Bali diresmikan tanggal 14 Agustus 1958, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Desember 1958, sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur jatuh pada tanggal 20 Desember 1958.

Menjadi provinsi bukan sebuah perjuangan untuk mendistribusi jabatan, kepangkatan dan fasilitas, tetapi merajut kesungguhan untuk berdedikasi membangun bangsa.

Provinsi Nusa Tenggara Timur memasuki usia 63 tahun pada tanggal 20 Desember 2021.  Sebagai sebuah provinsi kepulauan di tanah air, yang berada pada  koordinat 80°-120° LS dan 1180°-1250° BT tersebut, selain dikenal sebagai Provinsi Nusa Tenggara Timur”, juga disapa sebagai bumi “Flobamora”. Sebutan tersebut tentunya bisa bermakna adanya aneka suku dan subsuku di wilayah tersebut, yang memiliki penyatuan kesamaan yaitu sama-sama menyatukan diri sebagai anak-anak Flobamor.

Pembentukan Etos

Pertanyaan Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata pada awal perjuangan pembentukan Provinsi NTT menjadi sebuah refleksi panjang. Sanusi tidak menanyakan berapa besar pendapatan asli daerah (PAD) atau jumlah kabupaten yang menjadi elemen pokok pembentukan daerah otonom. Yang ditanyakan justru jumlah sarjana. Ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia (SDM) adalah faktor kunci pembangunan wilayah. Sebagaimana jawaban Frans Sales Lega, Sarjana akan ditingkatkan jumlah dan perannya dalam pembangunan bila ada otoritas yang lebih besar yang diberikan kepada daerah. Hanya dengan otoritas yang legitimate, pembangunan daerah dapat direncanakan sesuai kebutuhan daerah termasuk di dalamnya sumber daya manusia.

NTT menapaki perjalanan sejarahnya dengan beban yang tidak ringan. Hampir semua Gubernur menjadikan pertanian sebagai leading sektor. Gubernur pertama masa bakti 1958—1968, W. J. Lalamentik, menitikberatkan kebijakan pada pembentukan wilayah kecamatan dan gerakan penghijauan yang dinamakan Komando Operasi Gerakan Makmur. Gubernur El Tari kemudian melanjutkan estafet kepemimpinan pada masa bakti 1968—1978. Kebijakan utamanya adalah pembentukan desa gaya baru dari kerajaan-kerajaan tradisional dan mengerahkan tenaga motivator pembangunan desa.  Pada masa itu El Tari mengemban motto: Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam; Kalau bukan sekarang kapan lagi. Program ini dilanjutkan Gubernur dr. Ben Mboi yang mengusung empat program utama yakni Operasi Nusa Makmur (ONM), Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Sehat (ONS) dan Operasi Benah Desa.

Pada masa kepemimpinan dr. H. Fernandez, program utama diletakkan pada Gerakan Meningkatkan Pendapat Asli Daerah (Gempar) dan Gerakan Membangun Desa (Gerbangdes).  Selanjutnya Mayjen (purn) Herman Musakabe pada periode 1993—1998 meluncurkan 7 (tujuh) program strategis yakni pengembangan sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan, pembangunan ekonomi, pengembangan dan pemanfaatan IPTEK, penataan ruang, pengembangan sistem perhubungan dan pengembangan kepariwisataan.

Setelah Musakabe berkahir, Gubernur selanjutnya, Piet Alexander Tallo, S.H. masa bakti 1999—2008 dengan program unggulan tiga batu tungku yakni: ekonomi rakyat, pendidikan rakyat dan kesehatan rakyat. Adapun motto Gubernur Tallo: “Mulailah membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat”.

Pada masa bakti 2008—2018, Gubernur Frans Lebu Raya meluncurkan Program unggulan Anggur Merah dengan motto: “Sehati se-suara membangun NTT baru”. Hingga saat ini di masa kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat kembali memberi perhatian pada pembangunan di bidang pertanian dengan program utama “Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS)”. Di samping itu Gubernur Viktor juga memberikan perhatian pembangunan sektor perikanan dan kelautan serta pengembangan sektor pariwisata  sebagai prime over.

Pemetaan arah dan orientasi pembangunan yang dilakukan oleh tiga gubernur yang memimpin pada awal NTT lahir meletakkan landasan pembangunan pada pembentukan etos. Etos dapat diartikan sebagai sintesis interaksi alam dan manusia disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.

Komando Operasi Gerakan Makmur, Tanam,Tanam, Tanam, sekali lagi Tanam, Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, adalah komando untuk melebur dalam situasi kemiskinan dan tawaran alam akan kesejahteraan yang minim. Namun alam yang liar harus dijinakkan menjadi potensi yang menghidupi. Barulah pada era Herman Musakabe dan seterusnya, pembangunan diletakkan pada potensi yang tersedia dengan sentuhan yang lebih teknokratis. Kita merasa telah cukup jauh berjalan, namun sering kali kita rasakan yang namanya kemajuan masih tetap jauh dari jangkauan.

Pengembangan sektor pertanian ala Viktor Laiskodat yakni Pertanian berbasis kearifan dan keunggulan lokal menjadi perhatian serius, Program Tanam Jagung Panen Sapi dan Program Kelor lahir dari sebuah kesadaran sang revolusioner Viktor yang ingin mengubah pola hidup konvensional masyarakat NTT menuju pada perubahan inovatif yang out of the box.

Program tanam jagung dengan hasil yang berlimpah dapat dijadikan pakan untuk ternak sapi. Sistem pengembalaan ternak sapi akan menggunakan sistem paronisasi. Nantinya, ketika hasil panennya dijual, uangnya dapat dipakai untuk membeli sapi.  Demikian pula dengan Program Kelor sebagai  bagian dari kehidupan masyarakat NTT. Kelor sebagai pohon ajaib yang memiliki kandungan nutrisi yang luar biasa seakan menjadi harapan baru bagi masyarakat NTT agar segera keluar dari kemiskinan.

Kelor sebagai tanaman yang paling tepat untuk dikembangkan di bumi Flobamora yang terkenal kering, gersang, dan tandus dengan tingkat curah hujan yang rendah dan dianggap sebagai jenis tanaman yang paling dekat dengan masyarakat NTT.

Ekspektasi masyarakat NTT akan adanya  peningkatan taraf  hidup sebagai penjelmaan tanaman kelor yang menjanjikan saat ini dirasakan sepertinya jauh panggang dari api. Konon, pengusaha yang hendak membeli semua hasil produksi kelor dari para Keloris NTT dalam, hal ini PT Moringa Organik Indonesia (MOI) ternyata tidak mau bekerja sama lagi, dan mirisnya menolak produksi kelor asal NTT yang dianggap tidak memenuhi standar BPOM. Namun demikian, masyarakat NTT tetap membudidayakan tanaman kelor yang sudah membudaya dan tentunya sebagai sumber nutrisi otak dan bahkan dapat mencegah stunting yang angkanya cukup tinggi di NTT.

Gubernur Viktor Lasikodat memiliki banyak jurus untuk mengangkat Provinsi NTT agar dikenal luas tidak saja dalam skala nasional tetapi juga internasional. Salah satu program strategis adalah Pengembangan Sektor Pariwisata sebagai prime over. Objek wisata terus ditata secara baik, infrastruktur ditingkatkan, akses menuju spot wisata disiapkan secara baik, bahkan masyarakat lokal diberdayakan untuk mendukung daya tarik para pengunjung. Harapan tentunya sektor pariwisata  menjadi lokomotif yang dapat menggerakkan dan menghidupkan semua aspek kehidupan. Namun demikian, pengembangan sektor pariswisata hendaknya tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dalam hal ini masyarakat adat setempat, faktor kelestarian alam dan budaya, sumber pendapatan masyarakat lokal, dan keberlangsungan pada masa yang akan datang.

Flobamora Lebe Bae

Modal sosial yang menarik di tengah kemiskinan ekonomi yang erat melekat dalam keseharian kita adalah kecintaan kita pada Nusa Tenggara Timur yang kita sebut dengan akronim “Flobamora”. Kalau Jakarta setiap warga diteror dengan pertanyaan menghardik, Siapa Suruh datang Jakarta, di Flobamora ini kita dimanjakan dengan Bae Sonde Bae Flobamora lebe Bae.

Frasa ini menarik, tidak karena diaransmen dalam sebuah gubahan lagu kawula muda yang menghentak, tetapi ini mencerminkan kecintaan yang mendalam pada tanah kelahiran – yang dalam pandangan orang luar NTT – sebagai tanah yang terus menuntut perjuangan tanpa memperhitungkan hasil yang diraih.

Hanya di bumi Flobamora ini kita bangga dengan jagung titi, kita merasa sejahtera karena memiliki kenari dengan buah-buahnya yang lebat, atau sekedar tawa ria dalam mandi bersama di pantai Lasiana.

Jagung titi, buah kenari, pantai Lasiana bukanlah kekayaan yang berpotensi mengubah wajah Flobamora, tetapi semuanya menjadi icon daerah yang membangkitkan hasrat untuk pulang bagi yang jauh. Sekaligus merajut erat persaudaraan bagi yang dekat. Hanya di bumi Flobamora ini, situasi keterbatasan dalam hidup dirayakan dalam suasana persaudaraan yang kental. Anak Negeri Flobamora senantiasa menanamkan prinsip hidup, kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak harta yang kita miliki tetapi seberapa kuat persaudaraan yang kita bangun.

Itulah sebabnya capaian NTT dalam menciptakan kerukunan, toleransi, dan kesetaraan melampaui capaian nasional. Berdasarkan laporan Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) pada tahun 2019, NTT berada di kategori tinggi sekitar 80,1 melampaui skor nasional.73,83. Paling tidak capaian ini dikontribusi oleh tata kehidupan sosial yang masih merawat gotong royong dan merajut persaudaraan dalam aktivitas kehidupan publik.

Sudah cukup jauh kita berjalan, namun capaian kita belum sepenuhnya memuaskan. Di tengah keterbatasan yang melingkupi kita, Bumi Flobamora senantiasa memanggil kita untuk kembali. Karena di Bumi Flobamora inilah ketulusan cinta kita dedikasikan. Selamat merayakan Ulang Tahun ke 63 Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bae Sonde Bae Flobamora Lebe Bae.(*)

Foto utama oleh mallkelapagading.com