TEKAD Visi Menuju ‘Green Economy’

Loading

Oleh : Yucundianus Lepa, Tenaga Ahli Kelembagaan TEKAD Nasional

Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD) merupakan program pertanian terpadu yang memfokuskan kegiatan pada masyarakat pedesaan. Tahun 2022 merupakan tahun kedua TEKAD berkiprah dalam program pemberdayaan di bumi Flobamora.

Peran kemasyarakatan yang diemban belum banyak didengar. Namun landasan program untuk menggerakkan masyarakat ke arah transformasi ekonomi patut untuk dipublikasikan. Pengenalan yang lebih  mendalam terhadap program, dapat membuka ruang yang lebih luas dalam membangun kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk mempercepat proses transformasi searah spirit pembangunan kemasyarakatan.

Tulisan ini tidak sekadar memperkenalkan TEKAD sebagai program tetapi keunggulan program yang dapat diharapkan. Kelompok partisipan, tidak hanya masyarakat desa secara individual tetapi basis rumah tangga. Pengembangan program harus didasarkan pada evidence-based approach. Dengan demikian, capaian program tidak hanya berdasarkan konfigurasi angka-angka yang bersifat makro, tetapi menyentuh data sebagai sebuah realitas. Pada sisi lain, sentuhan pembangunan akan menjangkau obyek sasaran (masyarakat penerima program) sebagai fakta bukan sebuah konstruksi dalam alam pikiran perencana.

Dan yang tidak kalah penting adalah peningkatan peran kelembagaan ekonomi desa untuk hadir dan bertransformasi sebagai pilar ekonomi masyarakat desa. Melalui transformasi kelembagaan desa, masyarakat memiliki akses ekonomi baik berupa informasi pasar, distribusi barang dan jasa, kemudahan akses keuangan, yang berpotensi menopang pendapatan keluarga secara berkelanjutan dan stabil, dan memperoleh keuntungan melalui penguatan tata kelola di tingkat desa dan kabupaten, melalui dukungan dari Kemendesa PDTT.

TEKAD bermaksud untuk memberdayakan masyarakat desa agar mereka dapat berkontribusi pada transformasi ekonomi pedesaan dan pertumbuhan. Untuk saat ini, TEKAD memulai programnya di Indonesia Timur. Ada 5 (lima) provinsi sebagai penerima program, salah satunya adalah provinsi NTT. Gerakan perubahan dimulai dari pengembangan produksi berbasis komoditi desa.

Mengapa proses transformasi ekonomi harus dimulai dari kampung dan bukan dari daerah dalam skop yang lebih luas ? Apa implikasi program yang diharapkan ketika denyut nadi perekonomian dimulai dari daerah pinggiran ? Mungkinkah pertanian dalam skala mikro, digerakkan dengan tenaga manusia dan bersifat subsisten dapat menjadi penyangga pertumbuhan ekonomi ? Pertanyaan-pertanyaan demikian menjadi sebuah persoalan awal yang harus dibedah.

Sebanyak pertanyaan yang diajukan, sebanyak itu pula alasan yang dapat dikemukakan dalam konteks pertanian di pedesaan. Pertanian yang dimotori korporasi, terbukti tidak berperan mengangkat derajat perekonomian masyarakat desa. Posisi masyarakat desa sebagai buruh tani tidak pernah bergeser. Atas dasar itu, visi pembangunan ekonomi hijau dalam kerangka perwujudan Sustainable Development Goals (SDGs) tidak menempatkan program pertanian yang dimotori koorporasi, sebagai entry point peningkatan kesejahteraan. Termasuk di dalamnya program lumbung pangan (food estate) menjadi program yang tidak sejalan dengan isu lingkungan.

Dalam perspektif ekonomi hijau, kebijakan lumbung pangan dinilai bertolak belakang dengan cita-cita Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Program ini diduga bisa menjadi luka bagi SDGs lantaran memanfaatkan lahan hutan lindung atau lahan yang dimiliki masyarakat adat. Selain itu, program tersebut menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah pada aspek pemberdayaan dan kesejahteraan petani lokal.

Kekhawatiran lain adalah mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan mengingat lumbung pangan sebagian dilakukan dengan cara membuka hutan alam untuk menciptakan lahan-lahan pertanian baru lewat metode land grabbing. Penelitian yang dilakukan Daniel dan Mitta (2009) memaknai land grabbing sebagai pengambilalihan lahan pertanian secara masif oleh negara importir neto pangan karena sumber daya lahan yang terbatas.

Menghindari ideologi pembangunan-isme  yang berpotensi mengabaikan lingkungan, dan juga gebyar teknologi yang mengabaikan eksistensi manusia sebagai pelaku pembangunan, maka TEKAD hadir sebagai lilin kecil di ujung terowongan pembangunan pertanian. Merespons berkomitmen  Indonesia untuk mencapai perwujudan SDGs pada 2030, yang salah satu tujuan global di dalam komitmen itu adalah mengurangi kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi, serta pertanian berkelanjutan, maka diperlukan langkah-langkah konkret ke arah itu.

Atas dasar itu, TEKAD dalam programnya mengajak masyarakat mempersiapkan pula kelembagaan agar dapat merawat dan mengoperasionalkan berbagai gagasan menjadi program yang berkelanjutan. Disadari bahwa setiap gagasan yang baik tidak bisa berhenti sebagai gagasan tetapi harus diwadahi dan dioperasionalkan melalui kelembagaan. Potensi-potensi lokal juga harus terus dirawat. Karena pangan tidak hanya menyentuh kebutuhan beras tetapi juga nonberas dalam keragaman diversifikasi yang layak dan higienis.

Perawatan Potensi Lokal

Salah satu poin penting pembangunan pertanian berkelanjutan adalah kebijakan produksi pangan lokal yang ramah lingkungan. Oleh karena itu,  diversifikasi pangan lokal menjadi sebuah pilihan yang tidak bisa ditawar.

Berdasarkan Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non Beras (2020—2024) Indonesia  adalah negara dengan kekayaan sumber daya keanekaragaman hayati tak terkira. Kita memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 389 jenis buah, 228 jenis sayuran, 75 jenis pangan sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, dan 110 jenis rempah/bumbu. Seberapa jauh kelimpahan berkat ini membawa implikasi positif pada kesejahteraan baik ekonomi dan kesehatan? Ini sebuah gugatan yang perlu dielaborasi.

Mencermati pola konsumsi pangan yang diindikasikan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi pangan masyarakat belum menunjukkan kondisi yang ideal. Pada tahun 2018, skor PPH sebesar 91,3, pada tahun 2019 bergeser menjadi 90,8. Angka acuannya adalah 100. Kecenderungan pilihan  konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian terutama beras, yaitu sebesar 65,7 persen. Angka ini memang lebih besar dari angka yang direkomendasikan, yaitu sebesar 50 persen. Namun gambaran tentang konsumsi pangan lokal belum mencapai hal yang ideal.

Pilihan pola konsumsi yang masih cenderung pada beras, secara hipotesis bisa dipetakan penyebabnya. Pertama, akses yang dimiliki masyarakat  di wilayah pedesaan terhadap kekayaan diversifikasi pangan yang menjadi sumber kekayaan di lingkungannya masih rendah. Kedua, keterampilan pengelolaan yang memenuhi aspek higienis, peningkatan citra, citarasa, serta keterampilan pengelolaan dan penyajian, belum mampu menarik minat konsumen.

Pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada potensi lokal akan mempercepat proses transformasi ekonomi. Dalam konteks ini, proses pendampingan, peran serta kelembagaan ekonomi di desa, kemudahan akses terhadap keuangan, akan membuka jalan bagi percepatan proses transformasi.

Implikasi Program

Karena pangan dan konsumsi berhubungan dengan pengelolaan, maka TEKAD melalui program berbasis rumah tangga akan menjangkau kelompok perempuan sebagai penerima manfaat bahkan perempuan menjadi elemen kunci. Mengapa perempuan ? Ini menjadi salah satu pertanyaan pokok yang perlu ditelaah. Perempuan dalam konteks pangan, tidak hanya mengait kepada equality (sederajat)  tetapi justify (pengakuan peran sosial). Perempuan adalah elemen penting  dalam upaya peningkatan gizi keluarga dan kesehatan. Pada sisi lain, perempuan adalah juga pelaku ekonomi. Akses  perempuan terhadap pangan lokal dengan berbagai diversifikasinya, membuka ruang partisipasi yang lebih besar bagi perempuan untuk  mengembangkan pola konsumsi keluarga  demi peningkatan gizi dan juga secara ekonomi mengeliminasi kemiskinan dalam skala lokal.

Dari Program TEKAD diharapkan terjadi peningkatan penghasilan sekitar 412.300 rumah tangga, dan memberi manfaat untuk 11.855.350 orang di 500 Desa INTI, 1.220 Desa KLASTER di 25 kabupaten, di 5 provinsi wilayah Indonesia Timur, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur. Desa-desa INTI pada nantinya harus didesain sedemikian rupa, agar mudah di replikasi oleh desa klaster.

Selanjutnya, sebanyak 1.720 Desa yang menjadi sasaran dalam program ini harus bisa menjadi desa percontohan bagi puluhan ribu desa lainnya di Indonesia. “Semua inovasi di desa sasaran program harus dicatat, dan disebarluaskan ke desa-desa seluruh Indonesia. sehingga desa lain bisa mereplikasi.”

Salah satu bentuk kolaborasi yang dilakukan TEKAD bersama Kemendesa PDTT saat ini adalah mengembangkan evidence-based approach untuk pemberdayaan desa dengan memanfaatkan Dana Desa dan sumber daya desa lainnya dalam kerangka mendukung pembangunan ekonomi. Sasaran yang hendak dicapai adalah penguatan kapasitas desa dan rumah tangga dalam pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring sharing Dana Desa yang  signifikan untuk inisiatif ekonomi yang inklusif sehingga menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan;

Dalam kerangka pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis rumah tangga itulah, isu kemiskinan ekstrem menjadi bagian penting yang harus diselesaikan melalui program-program TEKAD berkolaborasi dengan Kementerian PDTT.

Merujuk pada pengukuran global oleh Bank Dunia, kemiskinan ekstrem adalah rumah tangga yang memiliki penghasilan di bawah Parity Purchasing Power (PPP) atau (Kemampuan Daya Beli Uang) US$,99/kapita/hari (=Rp 12.000/kapita/hari), yang nilainya setara dengan penghasilan di bawah 80% garis kemiskinan perdesaan di masing-masing kabupaten/kota di Indonesia. Agar program pengentasan kemiskinan ekstrem menyentuh kelompok sasaran, maka pemutakhiran data SDGs Desa mencakup data penghasilan warga, terus dilakukan secara cermat sehingga di lapangan telah dapat ditemukan warga miskin ekstrem by name by address.

Untuk kepentingan penangan kemiskinan ekstrem, TEKAD berkonsentrasi pula untuk ikut serta melakukan pembenahan dan penyepakatan basis data dan informasi tentang kemiskinan ekstrem. Termasuk penajaman program dan kegiatan yang diperlukan dalam penanganan kemiskinan ekstrem, dan juga keterpaduan penanganan kemiskinan ekstrem di pusat dan daerah, melibatkan warga desa sendiri. Fokus Program TEKAD adalah memberdayakan masyarakat desa agar dapat  berkontribusi pada transformasi pedesaan dan pertumbuhan ekonomi khususnya di wilayah provinsi peserta program di Indonesia Timur. Setiap program pemberdayaan Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu. Dalam Pengembangan Ekonomi dan Investasi Desa, disinergikan dengan program Kementerian Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Sasaran berikutnya ialah pengembangan kelembagaan. Melalui  transformasi kelembagaan ekonomi, tercipta lingkungan yang kondusif yang memungkinkan : kabupaten/kecamatan dapat memberikan dukungan, mengintegrasikan secara lebih baik kebutuhan desa melalui  pengembangan ekonomi kabupaten; menghubungkan pelaku pasar dengan penghasil produksi (produsen) di desa; dan penyedia jasa keuangan dan non-keuangan. Kondisi ini  akan memperluas layanan untuk memenuhi kebutuhan desa; dan memperkuat kapasitas. Kemendesa PDTT bersama TEKAD menerapkan pendekatan inovatif untuk mengembangkan model replikasi evidence-based approach untuk desa-desa lainnya yang belum menjadi desa partisipan.

Untuk itu diperlukan kesamaan visi dan komitmen dalam melakukan sosialisasi dan koordinasi di internal pelaksana program, dari cakupan nasional hingga desa, agar seluruh sumber daya yang ada dalam struktur pelaksana program dapat dioptimalkan untuk pencapaian sasaran program. Dalam pelaksanaannya, program TEKAD harus dilaksanakan berdasarkan data-data mikro yang dimiliki desa dan telah dimutakhirkan desa. Dengan demikian, program ini akan mendukung percepatan pencapaian tujuan-tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) Desa, khususnya di desa-desa sasaran program TEKAD.

Kelembagaan

Sebagai langkah persiapan, akhir  Desember 2021 telah dilakukan Workshop Kolaborasi Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD) untuk merumuskan langkah-langkah praktis, sistematis dan terukur, untuk percepatan implementasi program. Salah satu langkah awal yang harus dimulai adalah penataan kelembagaan desa di antaranya BUM Desa dan BUM Desa Bersama: sebagai badan hukum publik sesuai UU 11/2020 tentang Cipta Kerja; yang telah dioperasionalkan melalui  PP 11/2021: tentang BUM Desa.  Disepakati, BUM Desa harus menjadi Kelembagaan ekonomi pendukung Kesejahteraan Masyarakat, Meningkatkan Struktur Ekonomi yang Semakin Maju dan Kokoh, mewujudnya Keanekaragaman Hayati yang Terjaga, Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan, Peningkatan Produktivitas Berkelanjutan Dan Terintegrasi.

Jenis Badan Hukum yang semula 3 (tiga) menjadi 5 (lima) yaitu koperasi, yayasan, Perseroan Terbatas, BUM Desa, dan BUM Desa bersama  BUM Desa/BUM Desa bersama akan lebih mendapatkan kepercayaan publik dalam berbagai kerjasama yang berdampak hukum. Misalnya kerjasama pembiayaan, kerjasama usaha jasa dan perdagangan  BUM Desa/BUM Desa bersama bukan lagi dipandang sektor informal, hubungan industrial dilindungi atau mendapat kepastian hukum.

BUM Desa dan BUM Desa bersama merupakan entitas hukum dengan mengedepankan semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan. Jenis-jenis kegiatan yang bersifat layanan atau usaha ekonomi/investasi, dapat dijalankan secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan, dan secara mandiri atau bekerjasama. Tujuan utama pendirian BUM Desa yakni untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan bukan hanya untuk individu atau kelompok tertentu. Badan Hukum didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa mengelola usaha,  memanfaatkan aset, mengembangkan  investasi dan produktivitas, menyediakan jasa layanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.

Organisasi BUM Desa terpisah dari Pemerintah Desa. Untuk menghindari terjadinya duplikasi kewenangan maka ditetapkan BUM Desa secara kelembagaan terdiri atas: (1) Musyawarah Desa/MAD; (2) Penasihat; (3) Pelaksana Operasional; dan  (4) Pengawas. telah ditentukan wewenang dan tugas masing-masing organ dengan lebih terperinci.

Sebagai Badan Hukum, BUM Desa bisa langsung menjalankan usahanya (Operating Company) maupun menjadi induk bagi unit usaha berbadan  hukum (Investment Company) memastikan treatment yang sesuai dengan kebutuhan BUM Desa yang selama ini ada, api belum terfasilitasi dengan baik. Terkait dengan kejelasan penyertaan modal desa berupa barang selain tanah dan bangunan yang dipindahtangankan menjadi aset BUM  Desa. Tanah dan bangunan tetap bisa diambil manfaat ekonominya oleh BUM Desa melalui skema kerja sama usaha.

Berbagai hal positif dalam bentuk transformasi kelembagaan ekonomi desa, diharapkan menjadi program yang berkelanjutan terlepas dari sampai kapan TEKAD hadir bersama masyarakat NTT. Transformasi kelembagaan setidaknya memenuhi fungsi Gathering (pengumpulan), merupakan proses pengumpulan sumber daya alam dari lingkungannya. Production (produksi), yaitu proses merubah sumber daya alam menjadi barang-barang tertentu sehingga bisa digunakan oleh subsistem lainnya. Distributing (distribusi), adalah proses pembagian barang yang sudah jadi kepada subsistem-subsistem lainnya. Servising (jasa), merupakan organisasi dari elemen-elemen ekonomi yang tidak termasuk dalam proses produksi, akan tetapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang proses ekonomi lainnya. Dalam konteks ini kolaborasi antara Pemerintah daerah dan TEKAD perlu dibangun dalam program kerja yang lebih konkret sehingga fungsi kelembagaan desa dalam transformasi ekonomi dapat dipertahankan.

Program pembangunan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) yang menjadikan sektor pertanian sebagai leading sector adalah pintu masuk bagi kolaborasi TEKAD-Pemerintah daerah dalam kerangka transformasi ekonomi desa. Pada tahap awal, kerja sama dapat dimulai dengan peningkatan fungsi kelembagaan. Melalui kerja sama ini, berbagai institusi ekonomi desa seperti BUMDes. Koperasi, atau lembaga ekonomi lainnya yang hendak dibentuk dapat berfungsi optimal. Pada sisi lain, fungsi kelembagaan ekonomi desa yang sudah berjalan pada desa-desa peserta program TEKAD, dapat diadopsi atau direplikasi.

Berawal dengan semangat pantang menyerah, sangat diharapkan TEKAD dapat memberi kontribusi nyata bagi transformasi ekonomi dalam kawasan pedesaan di bumi Flobamora.(*)