Kesehatan Reproduksi Remaja ala Dokter Andre Hartanto

Loading

Kupang, Garda Indonesia | Remaja berusia rata-rata 12—18 tahun secara fisik bertumbuh, perkembangan tanda seks sekunder bertumbuh, namun masa transisi atau perubahan menjadi sangat penting karena secara psikologis, sosial, dan ekonomi, belum tentu siap menghadapi perubahan.

Demikian diungkapkan dokter Andre Hartanto kepada sekitar 300 peserta didik Universitas Citra Bangsa (90 persen perempuan) dalam seminar kesehatan bertema, “Isu Kesehatan Remaja di Era Society 5.0” pada Jumat, 1 April 2022 di aula Universitas Citra Bangsa Kupang.

Saat ini, terang dokter Andre, pemerintah Indonesia mulai memfokuskan kebijakan kepada kesehatan reproduksi, karena saat fase kesehatan reproduksi remaja terjadi masalah, maka akan menjadi masalah dan menjadi beban bagi pembangunan manusia yang berkelanjutan.

“Menurut data BPS tahun 2022, terdapat lebih dari 1 juta perempuan menikah pada usia dini. Kondisi ini terjadi karena kurangnya pemahaman pada kesehatan reproduksi, maka akan para remaja akan masuk pada fase seks usia dini atau seks pranikah. Usia 15—17 tahun mulai mencoba, saat payudara bertumbuh, mimpi basah, mulai ada ketertarikan terhadap lawan jenis, namun tak memahami norma-norma dan lepas dari pengamatan maupun bimbingan orang tua. Akibat dari kondisi tersebut, maka terjadi kehamilan usia dini,” urainya.

Menurut suami dari dokter Herawati Lianto, ada perbedaan antara aktivitas reproduksi dengan aktivitas seksual. “Aktivitas reproduksi merupakan hubungan intim suami istri yang telah legal dan siap dari sisi ekonomi dan sosial melakukan aktivitas reproduksi untuk mencari anak atau keturunan. Sementara, aktivitas seksual merupakan kondisi di mana segala aktivitas untuk merangsang, menikmati, dan bertujuan untuk pro rekreasi,” tegas dokter Andre Hartanto.

Maka, imbuh dokter Andree Hartanto, Sp.OG, dokter spesialis kebidanan dan kandungan ini kepada para mahasiswa/mahasiswi, jika virginitas atau keperawanan tidak dijaga, maka bakal masuk ke dalam aktivitas seks pranikah atau aktivitas seksual tak terarah hingga kehamilan tak terencana.

Adapun 3 (tiga) masalah kesehatan reproduksi yang sering dialami remaja antara :

  1. Kehamilan tidak diinginkan (KTD). Biasanya pada usia remaja, muncul keinginan untuk bereksperimen dengan seks. Hal tersebut terjadi akibat pengaruh dari teman, lingkungan maupun konten-konten negatif yang bisa diakses melalui Internet. Hubungan pacaran remaja juga menjadi salah satu faktor yang memicu seks bebas. Sebagian besar remaja kurang memiliki kesadaran akan konsekuensi seks bebas yang dilakukannya. Padahal, masalah kesehatan reproduksi ini dapat menimbulkan risiko kehamilan.
  2. Terjadi Aborsi. Akibat dari aktivitas seksual pranikah, maka berdampak para keputusan melakukan aborsi atau menggugurkan kandungan melalui cara tak lazim hingga berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan. Setiap tahun, sekitar 3,9 juta remaja perempuan berusia 15—19 tahun menjalani aborsi yang tidak aman. Orang tua kerap kali tidak mengetahui bahwa anak remajanya telah melakukan aborsi.  Aborsi menyebabkan reaksi emosional, seperti depresi, dan mudah marah.
  3. Kekerasan seksual. Ketika terjadi kehamilan, maka akan membuat panik para remaja hingga melakukan kekerasan seksual. Kondisi tersebut merupakan gejala sosial, ketika terjadi kehamilan kemudian dilakukan aborsi.

Ketiga masalah kesehatan reproduksi remaja tersebut, tekan dokter Andre Hartanto, berdampak kepada peningkatan kasus stunting sebagai akibat dampak dari kehamilan pranikah.

“Remaja sebagai aset bangsa harus diberikan pemahaman agar tak melakukan seks pranikah hingga hamil di luar nikah sehingga terjadi stunting. Akar masalah adalah kesehatan reproduksi remaja. Bahkan di NTT, salah satu penyebab kasus stunting tinggi akibat dari kondisi tersebut,” tandas dokter Andre Hartanto.

Penulis dan Editor (+roni banase)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *