Pengkhianatan Parlemen dalam Memerangi Korupsi

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Antikorupsi selalu menjadi jargon kampanye sekaligus janji politik yang seksi sepanjang masa kampanye. Tapi apakah partai politik yang berselancar di atas jargon itu, setelah duduk di parlemen, masih setia pada janji politiknya?

Adalah Bambang Wuryanto (Ketua Komisi III DPR-RI) yang akhirnya mengaku sendiri, “Fakta lapangan hari ini yang namanya kompetisi cari suara pakai ini (uang) semuanya. Gue terang-terangan ini di lapangan.” Begitu seperti dimuat beberapa media massa baru-baru ini.

Pernyataan Bambang Wuryanto atau yang biasa dipanggil Bambang Pacul itu terkait terjegalnya upaya pemerintah (eksekutif) menggolkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Kedua RUU itu menurut PPATK dan KPK sangat krusial dalam upaya pemberantasan korupsi.

Nah, kalau kedua RUU itu krusial demi pemberantasan korupsi di negeri ini, pertanyaannya jadi mengapa malah DPR-RI yang menjegal untuk disahkannya kedua RUU itu? Bukankah dulu semasa kampanye para kader parpol itu mengusung tema Anti-Korupsi dengan gegap gempita?

Bambang Pacul yang juga politisi senior PDIP itu pun meneruskan pengakuan dosanya, “Ini kenapa macet di sini. DPR keberatan hampir pasti karena ini menyulitkan kehidupan kami. Kami ngomong jujur, Pak. Money politic pakai rekening, buka rekening, kita kirim, mampus ini. Makanya jangan lihat dari sisi mu, tok. Jangan tergesa-gesa.”

“Yang paling penting itu kalau kita punya money, duit. Ini transaksi akan bisa dilaksanakan dan sekarang Anda minta dibatasi transaksi angkanya. Fakta lapangan hari ini yang namanya kompetisi cari suara pakai ini.” Begitulah tanpa rasa malu lagi Bambang Pacul mengakuinya.

Tentu, ia juga mewakili semua fraksi di DPR-RI yang ikut menolak disahkannya kedua RUU itu. Saat ini di periode 2019—2024 ada 9 partai politik yang duduk di parlemen: PDIP (128 kursi), Golkar (85), Gerindra (78), NasDem (59), PKB (58), Demokrat (54), PKS (50), PAN (44) dan PPP (19). Herannya semua suara parpol itu laksana bina vokalia senada menolak kedua RUU Anti-Korupsi itu.

Integritas politik artinya secara konsisten memakai kekuasaan politik demi kepentingan masyarakat luas, bebas dari kepentingan pribadi serta tidak menyalahgunakan kekuasaan semata-mata demi mempertahankan kekayaan dan posisinya. Sayangnya semua itu jelas-jelas telah dikhianati oleh mereka.

Apa yang terjadi di parlemen itu adalah sebentuk korupsi politik (political corruption). Manipulasi kebijakan, manipulasi kelembagaan serta segala hukumnya. Para penentu kebijakan (legislator) itu telah melakukan pelecehan fungsi legislatifnya. Tega mengorbankan kepentingan yang lebih luas sekedar membela kepentingan egoistik pribadi atau partainya.

Pengakuan yang tanpa rasa malu itu telah membongkar azabnya sendiri dengan telanjang. Azab tentang betapa bobroknya praktik politik mereka selama ini. Maka, tak heran kalau ada sinyalemen dari La Nyalla Mahmud Mattalitti (Ketua DPD-RI) bahwa uang skandal mafia minyak goreng kemarin itu kabarnya mengalir juga ke partai-partai politik di parlemen.

Maka, bisa dipahami kalau tingkat kepercayaan publik terhadap institusi partai politik berada pada urutan buntut. Seperti dirilis oleh Burhanudin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator dari hasil surveinya awal Maret 2022 yang baru lalu, “Institusi demokrasi yang paling krusial seperti partai politik, DPR, DPD, MPR, itu tingkat trust-nya relatif lebih rendah dibanding institusi demokrasi yang lain. Jadi partai politik itu yang trust hanya kurang lebih sekitar 54 persen.”

Dari 12 institusi yang disurvei oleh Indokator, partai politik dan lembaga parlemen ada di posisi terbawah. Sementara lembaga TNI tingkat kepercayaannya tertinggi (93%), disusul Presiden (85%). Lalu Mahkamah Agung (79%), Mahkamah Konstitusi (78%), Polri (76%), Pengadilan (74%), KPK (74%), Kejaksaan (74%). Kemudian di papan bawah adalah MPR (67%), DPD (65%), DPR (61%) dan akhirnya paling buntut adalah Partai Politik yang cuma 54% itu.

Bagaimana ini? Padahal partai politik seyogianya menjadi salah satu modalitas (semacam sarana formal) yang memungkinkan pencapaian tujuan negara, yaitu kesejahteraan publik (bonum commune).

Maka, belajar dari pengalaman pahit seperti ini, akhirnya toh kita mesti kembali kepada mereka rakyat pemilih yang telah memberikan mandat. Artinya, kita semua ternyata tidak bisa pasrah bongkok kepada para wakil yang telah kita pilih manakala mereka telah duduk di parlemen. Daya kritis masyarakat mesti tetap menyala, sambil terus merawat memori publik. Kenapa memori publik tentang pengalaman pahit seperti ini mesti dirawat?

Supaya di tahun 2024 saat pemilu nanti, di bilik suara kita tidak lagi memberi mandat kepada parpol atau kader-kadernya yang telah mengkhianati janji politik mereka sendiri. Terbukti mereka telah menjegal disahkannya kedua RUU Anti-Korupsi itu. Tambah pula pengakuannya yang tanpa rasa malu bahwa mereka selama ini telah melakukan politik uang.

Janganlah sampai adagium terkenal dalam politik yang bilang, “Dumb politician are not the problem, the problem is the dumb people that keep voting for them,” itu terulang lagi, dan lagi-lagi terulang.

Senin, 9 Mei 2022

Penulis merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *