Oleh : Agung Wibawanto
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar (bersama Muhammadiyah) di Indonesia, tidak dipungkiri memiliki kontribusi besar dalam politik nasional. Dalam sejarah pergerakan bangsa, tokoh-tokoh NU yang menyebar di banyak organisasi turut menorehkan peran politik mereka. Memang tidak ada larangan bagi warga nahdliyin, bahkan pengurusnya, untuk berpolitik atau ikut berpolitik sebagai individu.
Hal tersebut diuraikan Ketua Umum PBNU, Gus Yahya. Namun, ia meminta agar NU tak dikait-kaitkan untuk kepentingan politik praktis. Artinya, tidak membawa-bawa (organisasi) NU. Ia pun mengatakan pedoman berpolitik bagi warga NU telah tertuang dalam Khittah Nahdliyah Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo atau hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Krapyak Yogyakarta.
Warga nahdliyin ataupun pengurus saja dilarang membawa-bawa nama NU dalam praktik politik praktis, apalagi orang yang bukan nahdliyin ataupun kader NU, alias orang luar? Hal ini yang tengah ramai dipersoalkan santri NU yang menyebut diri mereka NABRAK (Nahdliyin Bergerak). Intinya, mereka protes tidak terima jika petinggi PBNU turut menyuarakan dukungan kepada Erick Thohir (ET) sebagai bakal cawapres dari kalangan NU.
Menurut para santri, ET adalah orang luar, bukan warga nahdliyin. Dalam catatan, ET memang (hanya) dianggap sebagai kader GP Ansor pada perhelatan 1 Abad NU beberapa waktu lalu di Solo. Sementara itu, masih menurut NABRAK, masih banyak tokoh lain yang asli NU tapi malah tidak direkomendasi. Tokoh tersebut, seperti: Cak Imin, Khofifah, Mahfud MD dsb (nama yang muncul di publik untuk berkompetisi dalam pilpres 2024).
Nabrak tidak masalah siapa pun dan di posisi apa pun asalkan berasal dari warga nahdliyin atau kader NU. ET memang pada waktu belakangan ini kerap dikaitkan dengan dukungan NU. Dia mendatangi pula beberapa pondok pesantren serta para Kyai NU. Dalam politik itu seperti batu yang mengandung magnet. Jika saling menarik maka akan menempel. Sebaliknya jika menolak maka tidak menempel.
Artinya apa? Upaya ET memasuki wilayah NU ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Beberapa tokoh hingga pengurus PBNU tampaknya merestui ET masuk bahkan memberi dukungan elektabilitas. Praktik politik semacam ini sudah dipahami lah teorinya, no free for lunch. Tulisan ini tidak akan membahas terkait apa yang diterima NU dari ET. Hal itu, biar mereka saja yang tahu. Yang lebih utama soal “kejelian” ET melihat peluang.
Seperti diketahui, selain NU, ET memiliki tiga basis utama suara sebagai pendukungnya, yakni: pemilih kota, anak muda, dan nonmuslim. Pilihan ET kepada NU diduga keras karena tradisi yang selama ini sudah terbangun, terutama dengan PDIP selaku pemenang pemilu. Basis pendukung PDIP masih belum berubah masih tetap nasionalis-religius. Dan religiusnya ini dipastikan adalah NU. Suka tidak suka, untuk saat ini, PDIP pemegang bandul politik nasional.
Jika saja sewaktu-waktu bandul bakal cawapres itu mengarah kepada ET, maka ET sudah memiliki basis pendukung NU dan NU pun men-support (kecuali adanya protes dari santri NU di atas). ET telah meng-NU-kan diri dan di-NU-kan oleh beberapa tokoh NU. Namun begitu, dalam pandangan saya, ET adalah “orangnya” Jokowi. Dalam arti memiliki loyalitas yang tinggi kepada Jokowi. Dia akan tegak lurus apa pun yang diamanahkan Jokowi.
ET bisa menjadi pasangan Ganjar, Prabowo, atau tidak menjadi apa-apa (selain kemungkinan melanjutkan berada di kabinet jika salah satu dari keduanya yang menang). Kembali kepada nahdliyin. Saya sendiri meragukan ET dapat menarik ceruk suara NU, jika dibandingkan warga nahdliyin “asli” seperti Mahfud MD. Hal ini tentu akan menjadi catatan bagi partai atau koalisi partai yang ingin melamarnya.
Karena lagi, Ganjar (jika ET berpasangan) merupakan warga nahdliyin terutama dari garis istrinya. Jadi tanpa ET pun suara NU sudah diprediksi akan berlabuh ke Ganjar. Lain halnya jika ET menyasar ke kalangan Muhammadiyah. Mengingat tidak ada kader Muhammadiyah yang menonjol yang bertarung di Pilpres 2024. Suara Muhammadiyah kemungkinan malah banyak ke koalisi Perubahan (faktor Anies Baswedan).
Basis kedua ormas Islam tersebut masih sangat seksi untuk diperebutkan suaranya. Meskipun Ketua Muhammadiyah, Haedar Nasir, sama posisinya dengan Gus Yahya (NU) yang menyatakan tidak berpolitik praktis. Namun tetap saja suara jemaah masing-masing pastilah akan menanti fatwa dari tokoh dan pengurus organisasi. Karena mereka juga tidak ingin warganya saling gontok-gontokan jika dilepas bebas memilih siapa yang disuka.
Perhitungan saya, ET sebaiknya bisa lebih menahan untuk tidak terlibat dalam kontestasi Pilpres 2024. Terlebih dia juga baru saja diberi mandat untuk melakukan pembenahan (restorasi) di tubuh PSSI. Tidak mungkin jika wapres merangkap menjabat Ketum PSSI kan? Untuk itu saya yakin ET tidak akan maju. Sementara representasi NU guna melengkapi nasionalis-religius dengan PDIP adalah Mahfud MD.
Dibanding Cak Imin atau Khofifah, MMD merupakan tokoh senior (banyak pengalaman), ulama (agamawan), disegani dan bisa diterima banyak kalangan karena juga bukan lagi sebagai kader partai. Keunggulan basis pendukung ET pun akan terwakili oleh Ganjar-Mahfud. Sedang yang mungkin menolak Ganjar-Mahfud dipastikan para pengusaha hitam dan kelompok Islam garis keras. ET sendiri bisa dijadikan sebagai ketua tim sukses seperti di masa Jokowi lalu (2019).(*)
Saya warga NU tetap memilih Anies Baswedan presiden tahun 2024-2029.