Kupang, Garda Indonesia | Banyak riset dan laporan menyatakan bahwa kondisi kesehatan seseorang adalah hal yang personal dan dapat dipengaruhi oleh konteks sosial dan ekonomi di mana ia berada. Menyadari hal ini, Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan atau Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP) bersama Bapelitbangda NTT dan lembaga terkait menghelat lokakarya sehari terkait profil kesetaraan Gender Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Lokakarya sehari pada Rabu, 30 Agustus 2023 di Kupang, mendiskusikan dan menyajikan draft kajian konteks sosial dan ekonomi di masyarakat yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan individu dan masyarakat.
Lokakarya ini diikuti sejumlah peserta dari unsur Pemerintah, LSM, lembaga agama dan akademisi dari tingkat provinsi dan empat kabupaten sasaran kajian yakni Belu, Sumba Barat Daya, Alor, dan Manggarai Barat.
Profil GEDSI, harapannya dapat dipergunakan dalam pengembangan kebijakan dan program ketahanan kesehatan yang responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat dari berbagai kelompok, baik perempuan maupun laki-laki dari berbagai kelompok usia (anak-anak, dewasa atau lansia), kondisi fisik (disabilitas dan non-disabilitas), lokasi geografis, suku, agama dan kondisi lainnya.
Profil GEDSI ini mengumpulkan data terkait penduduk, pekerjaan, kesehatan, dan adat yang ada di NTT dalam satu dokumen, dengan fokus pada wilayah yang menjadi tempat kerja AIHSP, seperti Kabupaten Belu, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Barat. Data-data ini diolah dengan fokus pada data pilah jenis kelamin, usia dan disabilitas dalam berbagai aspek, demi mendapatkan gambaran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.
Beberapa hal menarik seperti :
Data BPS pada tahun 2022, jumlah penduduk Nusa Tenggara Timur adalah 5,466,365 dengan persentase yang hampir sama antara laki-laki daripada perempuan (L 49,90%; P 49,10%). Menariknya, dari persentase ini, usia produktif perempuan sedikit lebih banyak (P: 50,28%; L: 49,12%), namun partisipasi angkatan kerjanya lebih sedikit dibanding laki-laki (P: 45,88%; L: 54,12%).
Banyak perempuan melakukan pekerjaan tak berbayar dibanding laki-laki (P: 70,85%; L: 29,15%); salah satunya adalah pekerjaan mengurus rumah tangga (83,82%).
Kepala Rumah Tangga (KRT) Perempuan di NTT 1.183.251, mayoritas memiliki beban ganda, aset produksi terbatas, tanggungan dalam rumah tangga, kesulitan mengakses modal sehingga sulit mengembangkan usaha. Tahun 2017 tercatat 120,876 anak dan 33.939 balita terlantar, sehingga migrasi yang diimingi dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga sering kali menimbulkan lebih banyak persoalan baru.
Keluhan kesehatan perempuan di beberapa lokasi dan waktu sering lebih tinggi dari laki- laki sepanjang tahun 2019–2021.

UPTD Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT mencatat tahun 2022 terjadi 779 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) P: 611, L: 168, mayoritas kasus kekerasan seksual pada anak perempuan. 802 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa (KTP), mayoritas kasus KDRT. Saat Pandemi COVID-19 KTP meningkat 50%, namun mereka kesulitan mengakses layanan akibat pembatasan.
Pada saat bencana Seroja tugas perempuan semakin berat untuk memastikan keterpenuhan kebutuhan rumah tangga, sehingga rentan terhadap masalah kesehatan termasuk kesehatan reproduksi. Keamanan perempuan juga terganggu karena tempat tinggal yang tidak aman.
Saat Pandemi COVID-19, perempuan lebih taat menjalan protokol kesehatan dibandingkan laki- laki. Lebih banyak perempuan (76,2%) mendapatkan vaksin dengan kesadaran sendiri dibandingkan dengan laki-laki (70,0%). Situasi ini dipengaruhi oleh peran perempuan sebagai penanggung jawab perawatan kesehatan keluarga, sehingga mereka lebih banyak mengakses informasi kesehatan . Anak-anak, Lansia dan difabel kurang mendapatkan akses vaksin karena kurangnya pendataan yang lengkap dan kesulitan menjangkau tempat vaksin.
Perihal hak kesehatan hewan dan masyarakat, Babi merupakan hewan piaraan yang penting dalam kehidupan masyarakat NTT. Umumnya dipelihara di sekitar rumah dan mayoritas perempuan bertanggung jawab dalam pemeliharaan (membersihkan kandang, menyiapkan dan memberi makan, membeli obat dan memanggil vaksinator untuk vaksin ternak). Saat penyakit ASF/Flu babi perempuan merupakan kelompok terdampak. NTT kehilangan sekitar 500.000-an babi dengan kerugian mencapai miliaran rupiah. Sama halnya dengan kasus kehilangan pekerjaan akibat COVID 19. Kerugian ini dapat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga, kesehatan, nutrisi kesehatan ibu hamil dan anak (stunting), bahkan konflik dalam rumah tangga atau kekerasan.
Pemeliharaan ternak umumnya dilakukan secara tradisional dengan pengetahuan yang terbatas soal kesehatan hewan dan manusia. Sebagai contoh, tidak adanya pengetahuan tentang biosekuriti kandang ternak dan peternakan semi intensif membuat wabah ASF cepat sekali menyebar
Perihal rabies, Anjing merupakan hewan pelindung manusia dan penjaga aset keluarga dan komunitas. Umumnya lebih banyak perempuan berperan dalam pemeliharaan anjing, terutama dalam memberi makan atau merawat anjing sakit. Anak merupakan kelompok yang senang bermain dengan anjing termasuk memprovokasi anjing (terutama anak laki- laki). Perempuan merupakan perawat utama dalam keluarga ketika anak tergigit anjing. Saat kasus penyakit anjing rabies merebak di TTS, jumlah korban gigitan anjing 1.092 orang mayoritas pada kelompok anak. Terdapat 6 orang meninggal, 1 dewasa dan 5 orang anak (L: 4, P: 2).
Masih banyak kelompok yang belum terpapar informasi tentang rabies di masyarakat, terutama dalam hal penanganan gigitan dan interpretasi seberapa parah gigitan anjing Informasi untuk pencegahan rabies belum secara cermat mempertimbangkan detail informasi yang dapat dipahami masyarakat, media yang sesuai dengan kelompok sasaran, serta bahasa yang digunakan dalam keragaman etnis dan bahasa yang ada
Adapun kesimpulan lokakarya GEDSI :
- Konstruksi sosial atas peran perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orang dewasa, difabel dan non difabel turut mempengaruhi akses dan pengalaman yang berbeda dalam hal pendidikan dan pekerjaan, kesehatan, kerentanan terhadap penyakit.
- Partisipasi kerja perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, dan dominasi ranah kerja perempuan di sektor tak berbayar dan perawatan keluarga memposisikan mereka sebagai pihak yang banyak terpapar penyakit ketika melakukan aktivitas untuk perawatan keluarga dan rumah tangga, termasuk dalam perawatan hewan peliharaan atau ternak.
- Perempuan dan anak-anak lebih rentan terhadap penyakit pada masa pandemi COVID-19, bencana seroja, dan tertular penyakit dari hewan akibat aktivitas dan peran mereka di masyarakat.
- Kondisi dan risiko yang muncul akibat perbedaan jenis kelamin dan usia ini mendorong perlunya ketersediaan data terpilah secara jenis kelamin, usia, jenis disabilitas, dan kelas sosial yang bisa membantu pembuat kebijakan untuk memahami permasalahan dan kebutuhan masing-masing kelompok dan menanggulangi berbagai permasalahan secara efektif dan tepat sasaran.
- Media informasi dan cara komunikasi bagi kelompok yang berbeda tentang kesehatan hewan dan kesehatan manusia dibutuhkan secara berbeda, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing kelompok masyarakat.
- Pentingnya melibatkan perwakilan target sasaran dalam penyusunan materi Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang inklusif.
Saran :
- Mengumpulkan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia dan disabilitas sebagai basis analisis dalam mengembangkan kebijakan pembangunan terutama pembangunan ketahanan kesehatan di NTT. Contohnya dalam konteks data korban rabies dibuat terpilah berdasar jenis kelamin dan usia agar dapat diketahui siapa yang paling rentan menjadi korban dan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.
- Melibatkan kelompok perempuan, anak, disabilitas, agama, masyarakat pesisir/terluar, kelompok miskin dalam merencanakan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok tersebut. Contoh: Rencana kegiatan peningkatan kesadaran masyarakat untuk korban rabies harus menyasar pada perempuan dan anak-anak karena korban gigitan terbanyak adalah anak.
- Menyiapkan informasi kesehatan yang tepat sasaran sesuai dengan bahasa dan media yang dipahami kelompok tertentu, dengan melibatkan komunitas yang ada di masyarakat. Misalnya: komunitas sekolah, gereja, komunitas RT atau desa dan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam komunitas etnis yang berbeda maupun dalam kelompok berkebutuhan khusus.(*)