Tradisi Papua yang unik ini mungkin adalah satu – satunya tradisi yang hanya bisa kita jumpai di Papua dan tidak ada di wilayah Indonesia yang lain. Tradisi potong jari ini adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh suku Dani di Lembah Baliem.
Pada tradisi ini, masyarakat suku Dani diharuskan untuk memotong salah satu jari tangan mereka setiap ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia sebagai tanda duka dan untuk mencegah kejadian-kejadian buruk yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.
Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.
Tradisi Potong Jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak atau parang.
Tradisi ini memiliki makna yang mendalam bagi Suku Dani:
• Jari merupakan simbol kerukunan, kesatuan, dan kekuatan dalam diri manusia dan keluarga.
• Perbedaan bentuk dan ukuran jari melambangkan keluarga yang saling melengkapi.
• Kehilangan jari melambangkan kehampaan dan kekuatan keluarga yang berkurang.
• Rasa sakit memotong jari mewakili hati dan jiwa yang tercabik-cabik karena kehilangan.

Tradisi ini telah diwariskan secara turun temurun, namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini sudah mulai menghilang.
Tradisi lain Suku Dani
Suku Dani atau Hubula adalah sekelompok suku yang mendiami wilayah Lembah Baliem di Pegunungan Tengah, Papua Pegunungan, Indonesia. Pemukiman mereka berada di antara Bukit Ersberg dan Grasberg di Kabupaten Jayawijaya serta sebagian Kabupaten Puncak Jaya.
Tradisi mandi lumpur
Selain tradisi pemotongan jari, juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh anggota atau kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.
Tradisi Akonipuk (Mumi)
Suku Hubula mengawetkan jenazah tokoh penting dengan membentuk mumi yang disebut akonipuk (terj. Har. ’manusia yang dikeringkan’). Proses pengeringan ini menggunakan pengasapan, sege (tombak kecil), pisau tulang, dan kayu akasia (wip), dan ramuan tradisional.
Sebelum jenazah membeku dalam 3 (tiga) jam, mereka mengikat tubuh dalam posisi jongkok pada kayu yang sudah disiapkan. Lalu darah dikeluarkan dengan mengiris siku, paha, dan bagian ketiak. Isi perut dikeluarkan lewat dubur menggunakan sege.
Setelah dipersiapkan, jenazah tersebut diletakkan di atas bara api dari kayu akasia dan tanaman obat. Proses ini dilakukan setiap hari selama 3 bulan, sehingga jenazah mengering. Para lelaki yang terlibat dalam proses pengawetan tidak boleh keluar dari rumah khusus, mandi, atau terkena matahari karena dipercaya akan merusak mumi.
Setelah mumi selesai, upacara besar akan dilakukan dengan mengundang semua warga kampung-kampung sekitarnya. Untuk perawatan mumi dijemur sinar matahari saat pagi dan digosokkan lemak babi.(*)
Sumber (*/ejournal+Wikipedia)