Atoin Meto adalah sebutan lain untuk Suku Atoni, suku bangsa mendiami Pulau Timor, khususnya di Timor Barat termasuk sebagian besar Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) Indonesia, dan di Oecussi-Ambeno, Timor Leste. Mereka sering disebut sebagai Atoin Pah Meto, yang berarti “orang dari tanah kering”. Bahasa yang mereka gunakan adalah Uab Meto.
Mereka kadang disebut juga “Dawan”, namun lebih senang disebut Atoin Meto. Wilayah penyebaran terutama di wilayah Timor Barat, seperti Kabupaten Kupang (Amarasi, Fatuleu, dan lainnya), Kabupaten TTS (Mollo, Amanuban, Amanatun), Kabupaten TTU (Biboki, Insana), Kabupaten Belu (daerah selatan) dan beberapa komunitas juga tersebar di kota-kota lain sebagai perantau.
Atoin Meto umumnya bekerja sebagai petani dan pekebun, terutama di daerah pegunungan. Mereka memiliki rumah tradisional yakni Ume Le’u atau Ume Alat yang merupakan rumah adat tradisional mereka.
Atoni Meto memiliki pengetahuan dan praktik tentang pengelolaan hutan yang disebut “Bunuk” yaitu sistem pengelolaan hutan secara adat, memiliki fungsi melindungi kawasan hutan yang dianggap penting secara ekologis maupun spiritual, menjaga sumber air, tempat berburu, serta habitat flora dan fauna; serta menentukan batas-batas wilayah kelola oleh kelompok masyarakat adat.
Ciri-ciri utama sistem Bunuk:
- Hutan terbagi atas fungsi adat: misalnya hutan larangan (bunuk), hutan produksi terbatas, dan hutan pemanfaatan.
- Aturan ketat (huk hukum adat) mengatur kapan dan bagaimana seseorang boleh memanfaatkan hasil hutan.
- Pengelolaan kolektif oleh suku atau kanaf (unit kekerabatan) di bawah koordinasi tetua adat atau amaf.
- Sanksi adat berlaku bagi pelanggar aturan, seperti denda atau pemulihan secara ritual.
Sementara nilai-nilai dalam Bunuk antara lain :
- Respek terhadap alam (natoni feto-mone): melihat alam sebagai bagian dari hubungan sosial dan spiritual.
- Keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
- Keberlanjutan antar generasi: hutan tidak dihabiskan, tapi diwariskan.
Selain itu, sistem Bunuk dapat dianggap sebagai bentuk konservasi berbasis komunitas, yang sangat relevan dalam konteks penanggulangan krisis iklim, penguatan hak-hak masyarakat adat atas wilayah kelola, upaya restorasi dan perlindungan ekosistem.
Tradisi turun temurun Atoin Meto
Atoin Meto memiliki berbagai tradisi, seperti tarian dan nyanyian bersama, serta ritual adat yang melibatkan doa dan persembahan. Pakaian adat mereka untuk laki-laki melibatkan selimut tenun (mau’) dan ikat pinggang (piul saluf).
Dalam berkomunikasi, mereka memiliki sistem sapaan yang membedakan antara hubungan kekerabatan dan non-kekerabatan. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Dawan (Uab Meto), bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini memiliki banyak dialek tergantung daerah, seperti dialek Amarasi, Mollo, Insana, dan lainnya.
Struktur sosial Atoin Meto terbagi dalam suku (ukun) dan klan (le’u). Setiap suku punya rumah adat utama atau “Ume Kebubu”. Atoin Meto memegang teguh ritual adat (penting dalam kehidupan), termasuk nahelet (upacara panen), feto-mone (pernikahan adat), dan ritual kematian.
Sistem pertanian dan tenun ikat
Atoin Meto berladang secara tradisional. Jagung adalah makanan pokok. Para perempuan tetap menekuni salah satu warisan budaya yang terkenal dan bernilai tinggi yakni tenun ikat. Pada setiap motif memiliki makna simbolik. Bahkan salah satu motif tenun ikat Nunkolo asal TTS, pernah dipakai oleh Presiden RI Ke-7, Joko Widodo saat perayaan HUT ke-75 Republik Indonesia di Jakarta.
Tak hanya itu, terdapat motif tenun ikat terkenal seperti Buna dan Sotis dengan aneka ragam corak memesona dan memikat.
Kepercayaan Atoin Meto
Sebelum masuknya agama-agama besar, Atoin Meto menganut kepercayaan animisme, menyembah roh leluhur dan alam. Sekarang mayoritas memeluk Kristen Protestan dan Katolik, namun unsur kepercayaan lama masih tampak dalam adat.
Hingga saat ini, Atoin Meto memegang teguh nilai-nilai khas seperti respek pada leluhur dan alam, gotong royong (heling) masih kuat, hubungan sosial antar keluarga dan marga sangat penting dan adat istiadat dijaga ketat dalam berbagai aspek kehidupan.
Struktur kekerabatan Atoin Meto
Kekerabatan Atoin Meto sangat kompleks dan erat kaitannya dengan adat, tanah, serta hubungan sosial. Kekerabatan ini membentuk dasar dalam kehidupan sehari-hari, pernikahan, warisan, dan bahkan politik lokal.
1. Patrilineal
Masyarakat Atoin Meto menganut sistem patrilineal, artinya garis keturunan dihitung berdasarkan garis ayah. Anak-anak menjadi anggota le’u (klan) ayahnya. Harta warisan (terutama tanah dan rumah adat) turun melalui laki-laki.
2. Le’u (Klan)
Le’u adalah kelompok kekerabatan utama, bisa diterjemahkan sebagai klan besar atau fam. Satu le’u terdiri atas beberapa uma (rumah) atau keluarga inti yang masih satu darah. Anggota le’u memiliki leluhur bersama dan dilarang kawin sesama le’u karena dianggap saudara.
3. Uma (Rumah Keluarga)
Satu le’u bisa punya beberapa uma (rumah tangga patriarkal). Setiap uma punya pemimpin keluarga (biasanya laki-laki tertua). Rumah adat pusat disebut “Ume kbubu”, tempat menyimpan benda pusaka dan tempat ritual.
4. Feto-Mone (Hubungan Perkawinan)
Hubungan antar le’u dan uma terjalin lewat sistem feto-mone (wanita-laki-laki), yaitu pertukaran perempuan dalam pernikahan. Le’u yang menerima istri (mone) wajib memberikan belis (mas kawin) seperti emas, hewan, atau kain tenun kepada le’u pemberi istri (feto). Hubungan feto-mone menciptakan jaringan kewajiban dan aliansi sosial antarklan yang sangat kuat dan saling mengikat secara turun-temurun.
Hukum adat Atoin Meto
Hubungan kekerabatan dalam Atoin Meto menjadi dasar dalam pemilihan kepala suku, tuan tanah, atau raja kecil (usif). Dalam konflik atau perkawinan, struktur ini sangat menentukan hak, tanggung jawab, dan posisi sosial seseorang.
Lantas, bagaimana struktur ini bekerja dalam konteks pernikahan, warisan, atau konflik antarklan?
Hukum adat Atoin Meto (Dawan) adalah sistem hukum tradisional yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk kekerabatan, tanah, perkawinan, warisan, konflik, dan ritual adat. Hukum adat ini bersifat kolektif, tidak tertulis, dan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi melalui tua adat (fain), amaf, atau mosalaki (penatua adat).
Adapun prinsip dasar hukum adat Atoin Meto
1. Berbasis Kekerabatan dan Klan (Le’u). Hak dan kewajiban setiap orang ditentukan berdasarkan posisi dalam klan. Klan bertanggung jawab atas tindakan anggotanya, termasuk dalam konflik atau kesalahan.
2. Keseimbangan dan timbal balik (Resiprositas). Segala hubungan, termasuk konflik dan pernikahan, diatur dengan sistem imbal-balik agar tercipta keharmonisan. Contoh: pelanggaran diselesaikan dengan denda yang nilainya setara dan diterima secara adat.
3. Musyawarah dan konsensus. Penyelesaian masalah dilakukan melalui sidang adat oleh para tua adat dan perwakilan klan. Tidak ada hakim tunggal. Semua keputusan bersifat kolektif.
Beberapa jenis hukum adat Atoin Meto
1. Hukum tanah dan warisan. Tanah ulayat (tanah adat) milik klan dan tidak bisa dijual ke luar klan tanpa persetujuan. Pembagian tanah didasarkan pada sistem patrilineal (melalui garis ayah). Tanah dipertahankan sebagai warisan leluhur dan dijaga secara turun-temurun.
2. Hukum perkawinan (Feto-Mone). Pernikahan diatur antar klan dan tidak boleh menikah dalam satu le’u (incest dianggap tabu berat). Belis (mas kawin) wajib dibayarkan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan sebagai simbol ikatan dan hormat. Jika pernikahan tidak sah atau dilanggar, klan laki-laki bisa dikenai denda adat.
3. Hukum sanksi dan penyelesaian konflik. Pelanggaran adat (misalnya pencurian, perzinahan, penganiayaan) diselesaikan secara adat, tidak langsung melalui hukum negara. Bentuk sanksi bisa berupa denda adat: kerbau, babi, kain tenun, emas. Ritual pembersihan (naketi): untuk memulihkan hubungan yang rusak. Pengucilan sementara: jika pelanggaran berat atau tak mau tunduk pada keputusan adat.
4. Hukum kematian dan ritual. Terdapat aturan khusus soal prosesi kematian, pembagian tugas keluarga, dan penempatan mayat sesuai status dalam klan. Dilarang memindahkan tulang leluhur tanpa ritual tertentu, karena dianggap melanggar hukum roh.(*)
Sumber (*/redaksi/ragam)