“T’fua Ton” Tradisi Adat Tahun Baru di Miomaffo Timor Tengah Utara

Loading

Oleh : Melkianus Nino

Tradisi adat atau ritus “T’fua Ton” merupakan satu upacara dalam bertani ala Atoni Pah Meto, Tunbaba – Kecamatan Miomaffo Timur – Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tradisi T’fua Ton atau Tahun Baru Adat sangat menggugah benak dan menginspirasi banyak orang, di saat para Tetua Adat/Pemangku Adat menghelat tradisi/ritual adat ini, sebagaimana diketahui, tata cara untuk mengenang jejak tradisi agar menjadi bahan refleksi dalam mengingatkan budaya adat tersebut, sembari mengucap syukur kepada para leluhur nenek moyang atau arwah (nitu, bahasa Dawan Timor untuk arwah) atas segala macam tumbuhan yang ada di muka bumi.

Ungkapan menurut bahasa Dawan (Pah Meto, red), sebagai sarana untuk mendekatkan kita (Hit), dengan mereka (leluhur) sehingga menjadi nyata, agar permohonan melalui bahasa adat dapat menjembatani secara tidak langsung. Bila dilihat dengan kasat mata, hanya dilakukan sebelum penyembelihan Babi atau Kerbau di satu rumah adat tertentu.

Bertempat di halaman rumah adat, (Ume Leu/Ume adat/ Ume aluk.red), yakni, “Taus Muti” ,Desa Fatusene, Kecamatan Miomaffo Timur.  Tampak suasana perhelatan ritual adat dilangsungkan, persis di depan rumah adat tersebut. Sesajen berupa beras, jagung dan sopi (Tu’a Nakaf), sirih pinang serta lainnya, tersimpan pada anyaman daun gewang atau lontar atau “Kabi” serta diletakan di atas mazbah batu (Fa’ut Leu).

Perhelatan ritual adat ini rutin dilaksanakan setahun sekali, tepat di tanggal 4 Januari, mengingat bahwa, tradisi “T’fua Ton” merupakan tradisi secara turun-temurun dihelat di Desa Fatusene. Untuk itu, ada beberapa suku sebagai tuan tanah yaitu, Fina Noelam Neten, yang terdiri dari Suku Taus Muti, Taus Fatoin, Taus Tote, dan Taus Kaula. Sedangkan, Neno Noelam Neten, adalah Suke Teke yang merupakan tuan tanah, dan keempat suku pendukung lainnya, yakni : Snuat (Suku Nenat, Falo dan Kolo), Tnukas (Suku Taus Maunnain), Bokon (Suku Sasi dan Kabolas [Suku Salu]). Oleh karenanya, dalam perhelatan “T’fua Ton” (Tahun Baru Adat), menjadi kebiasaan dilakukan “Tola ma Tniuk” (duduk dan melingkar, red) dari semua suku dalam ritual adat tersebut di rumah adat “Taus Muti”.

Di tengah-tengah ” Fa’ut Leu” batu pemali tersebut terdapat sebatang kayu yang dinamakan “Hau te’as atau Hau Nasib”, atau jayu penjaga, penakluk dan pelindung bagi semua anak-cucu serta keturunan.

“Hau teas atau Hau Nasib” ini, memiliki tiga cabang bertujuan sebagai penyatuan antara manusia dengan Tuhan yang maha tinggi (Usi Neno M’nanu), Tuhan Allah atau penghuni batu pemali (Usi Neno Pala) dan para leluhur/arwah.

Pada kayu yang bercabang tiga ini, menunjukkan, pertama, yang paling tinggi yaitu, “Usi Neno M’nanu” kedua, mengarah ke kiri, (Usi Neno Pala) dan ketiga, mengarah ke kanan, diartikan sebagai para leluhur/arwah.

Sebelum ritual adat dihelat, dengan menyembelih Babi/ Kerbau, akan dilakukan ucapan oleh, Agustinus Taus selaku ketua adat/tuan tanah dengan mengucapkan doa adat menurut bahasa Dawan Timor, begini ungkapan doa adat tersebut, :

“Hoe neno’i poijen he u’sine ma utonan ki, neu mone ha feto ha, es Fina Neolam Neten Neno Noelam Neten, Fina Naelam Fin Muni Neno Molo Metam mok hit feot ina esaha Snuat, Tnukas, Bokon ma Kobalas.

Hoe… Neno’i on nakam taman to maet’esa ma on to fe’be sen, on tafena ba’na ben ma on to fe’be sen, on tafena ba’na ben ma ta’auba tun’na ben, neno’i u’sine ki ma utonan ki, he nait noka ba’nan nonok kun ma ba’nan sili kun neu luel la balen ma neu mae’ka balen. Ta’auba tun’na, he nait nokat tun’nan kono ma tun’na nasbeb kun, nane on tatet’be ben,on tanije ben he nasuin nai ma anapae.

Et u’sine ki ma utonan ki neu mone ha ma feto ha, he noko tuakina ma uiskina es kefan Maetone Neonbat ma Fatutnana, napaob nalailki jen ma natitub nalaiki jen nok pena ane he nait nasbebnon ma nasnaub kun nai,he nait noka on nak pena tan mui tuana ben ane tanmui tuana ben, pena pupna ma ane pupna, neu tuakin neu uiskin, et ta’nakab neu sin ta’kulib neu sin neubaha Puna-Tunbaba, Mamun ma Femnasi, nane on Ukat ma Sakunab, namnes on hena unu pao man kau ben ma mutituban kau, es Kefan Maetone Neonbat ma fatutnana,he nait noka ba’nan kono ben nok una nao ben he tun’na nasbeb non, he nait taunan ma’tain kun, hem felaha kai pune naek ma siko mnanu, et u’usine ki ma utonan ki, he nait kaisa natua bon ma kaisa na’ek bon neu kau es tuakina ma uiskina ben.

Nane on namnes, huk una ben pena balen ma ane balen, neu tuakina ma uiskina, nane on pena pupun ma aenla tuakin. Et u’sine ki ma utinon ki, he mit mani ma mihin main. Lasja tuk tuka ma pal-pala, su mak nasbeb kun ma nasnau kun, atone bian hen nua kau man ken kau ok pena ane, he nait noka pao kau on atone in fef’na ma atone in hanan, he nait pena ane alaha pune naek ma siko mnanu.

U’sine ki ma uton neu ki, he nait mit main ma mihin main, he nait noka mi’etub neu afinit ma aneset ,amo’et ma apakaet. He nait noka nakain kau neu naut ko man asubat ko, he nait kaisan kakikon kau kai nabeko kau nok in pena ma ane, henait alaha pune naek ma siko naek. Lasi on tuk-tuka ma pal-pala”.

Berikut terjemahan, dari tuturan adat di atas :

“Oh…, hari ini anak-anakmu keluar untuk mengundang dan memberitahu Ibu, Bapak empat laki-laki dan empat perempuan, kamulah Fina Noelam Neten,  Noelam Neten, Fina Naelam Fin Muni, Neno Molo Metan, bersama keempat saudari kami merekalah, Snuat, Tnukas, Bokon, dan Kabolas. Oh…,hari ini kita telah melepaskan tahun yang lama dan memasuki tahun yang baru, mulailah menggemburkan akarnya dan menyatukan tunas dan bernas, sehingga hari ini Aku datang menyampaikan undangan kepada kalian, agar besok pagi akarnya merambat-bercabang menyebar leluasa pada tempatnya humus tanah, tempatnya makanan. Peluk dan lindungilah tunas tanaman kami, agar esok lebih menukik ke atas, mengakar jauh ke dalam.

Karena itu, Aku menyampaikan kepada kalian, empat laki-laki dan empat perempuan, agar esok pagi yang memiliki dan menguasai di Kefan Maetone, Neonbat dan Fatutnana, kamulah yang dijadikan untuk menjaga dan melindungi, sudah bersama padi dan jagung, semoga esok padi dan jagung tumbuh subur dan rimbun bernasnya, sehingga pantas disapa Tuan pemiliknya Puna-Tunbaba, Mamun dan Femnasi, yaitu Ukat dan Sakunab, merunduk bagaikan bambu, sejak dulu kala sudah dijadikan Bumi Kefan – Maetone, Neonbat dan Fatutnana, agar besok pagi sudah pada pohonnya, akarnya semakin menjalar puncaknya semakin merekah, agar batangnya semakin kuat, agar hanya didapati bulir jagung yang besar, bulir padi yang besar, sehingga ku pandang dan ku pinta hanya demikian, agar tidak menolak dan tidak membatasi permohonan yang telah disampaikan pada Tuan pemiliknya.

Itu berarti, semakin tumbuh bernas pada pohonnya, tempatnya jagung dan tempatnya padi, untuk pemilik dan rajanya melambangkan penerima padi dan jagung pilihan. Sehingga kumohon dan ku pinta sudah dilihat dan sudah diketahui, kuharap pasti tumbuh subur dan bernas bercabang, apabila ada orang yang berniat jahat untuk merusak Padi dan Jagung, agar esok kamulah penjaga dan penghalau utama, lindungilah dari iri hati dan dengki sehingga ku pinta pada kalian, agar hanya bulir padi yang besar, dan bulir jagung yang panjang.

Berbicaralah hanya demikian, dan berseru hanya demikian, sudahlah dilihat dan sudahlah diketahui, semoga esok melengkapi dan meneruskan pada yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Sehingga esok tidak ada yang mengurangi dan menggoyangkan Aku bersama bulir  Jagung yang besar dan bulir Padi yang panjang. Demikian sudah penyampaian dan harapan kami, hingga di sini Seruan kami…, Amin”

Sembari pemangku adat, Agustinus Taus mengucapkan kata-kata demikian di atas, akan disaksikan oleh para tokoh adat, tokoh pemerintah, tokoh masyarakat serta undangan dari kabupaten tetangga, sebagai simbol kedekatan antara leluhur karena warisan ritual adat tidak saling terpisahkan/ditinggalkan begitu saja.

Secara adat dalam kelompok masyarakat setempat, akan merasakan satu ikatan kuat dan akan adanya sebuah perubahan tanpa disadari. Jika menjalankan setiap usaha dengan kerja keras. Yang menjadi pokok utama adalah bertani demi kebutuhan dalam keberlangsungan hidup.

Setiap ritual memiliki makna dan tujuan yang berbeda-beda. Dalam ritual adat, “T’fuan Ton” bertujuan untuk melestarikan budaya lokal yang dilaksanakan turun-temurun. Tradisi Tahun Baru Adat ini merupakan proses di dalam tahapan, pada kegiatan di lahan-lahan pertanian, sering disebut, Ritus “Eka hoe (membendung aliran air).

“T’fua Ton” juga bertujuan untuk memohon berkat dan rahmat kesehatan serta kebugaran jasmani bagi manusia, sebagai penghuni alam dan tumbuhan, seperti padi, jagung sehingga luput dari gangguan hama, akan menjadikan tanaman makin bertumbuh subur dengan memberi hasil yang melimpah-ruah, dalam satu periode musim tanam.

Sumber : Yohanes Zakarias Salu, S.Ip.

Penulis merupakan Pegiat Literasi dan Mahasiswa STISIP Fajar Timur Atambua

Editor (+roni banase)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *