Awan Berarak di Tengah Pandemi

Loading

Awan Berarak di Tengah Pandemi

Oleh Helmy Tukan, S.Pd

Awan berarak mengejar pelangi tadi sore. Angin meniup dedaunan hijau berhias titik-titik air hujan yang mengguyur basah desaku. Aku tediam menatap pelangi yang tampil mempesona di sela-sela awan kelabu meski samar terlihat namun indahnya mampu menenangkan kalbu yang dilanda kegalauan karena si Nona Corona Virus. Ah…entahlah, aku menyapanya Nona Corona.

Sebuah nama yang indah meski ia hanyalah virus yang mematikan. Hari -hari di awal April begitu merayu diri membelai jiwa pada April tahun kemarin. Namun, apa mau dikata dengan April tahun ini, amat sangat berbeda dan mungkin menjadi sebuah hal yang langka dan fenomenal.

Masa prapaskah yang sunyi semakin sepi ditemani cerita-cerita tentang Virus Corona, tak lagi kudengar cerita tentang ramainya Kota Larantuka menjelang perayaan Semana Santa. Tak lagi terdengar suara-suara orang di ujung kampung melakukan latihan kor perayaan-perayaan suci selama masa paskah, bahkan kini aroma kemenyan dalam Gereja tak lagi tercium, lilin-lilin duka Yesus pada Upacara Lamentasi tak kulihat lagi secara langsung.

Duka hati kian menusuk titik -titik air mati, kian mengaliri wajah sendu ini, dan kini, layar androidku menjadi altar Tuhan, dinding bambu rumahku menjadi tembok bangunan gereja kecilku, lilin kecil di rumah, bunga melati di halaman rumah menjadi penghias di altar kecil rumahku.

Layar hp android hasil keringat suami menjadi andalan bagi kami mengikuti perayaan demi perayaan selama masa-masa sulit ini. Aku terdiam menatap bisu sunyi alam desaku, Waibalun sebuah kampung unik di ujung Kota Reinha Larantuka, sebuah kampung yang masih memegang teguh adat budaya warisan leluhur dan aku bangga akan hal itu.

Kota Reinha di Larantuka Kabupaten Flores Timur, Foto Istimewa

Sore itu, kembali aku mengenang kisah masa kecilku bersama nenek tercinta yang kini telah tiada. Sang nenek merupakan salah satu tokoh adat di Waibalun yang sangat aku sayangi. Darinya aku belajar banyak hal; darinya aku belajar bagaimana menghormati dan menghargai sesama entah dia itu berlaku baik atau pun tak baik dan yang utama tentunya cinta kasih pada sesama.

Kembali aku teringat cerita nenek ketika beliau masih kecil di desa yang masih sangat terbelakang kala itu yang bernama Waibalun, Ya..kampungku tentunya. Masa kecil nenek dihiasi dengan berjuta peristiwa kelabu, masa yang lebih sulit dari masa kita kini tentunya. Untuk makan saja susah, sekolah apalagi juga kehidupan beragama pun dilarang, miris bukan? Itulah fakta yang terjadi kala itu. Namun, karena kegigihan sang buyutku, nenek akhirnya bisa bersekolah dan akirnya menjadi guru agama.

Masa-masa sulit dilalui nenek beserta keluarga, menyusuri pelosok Tanah Lamaholot mewartakan sabda Tuhan, banyak rintangan harus dihadapi, banyak kerikil tajam bahkan duri jalanan yang kian menganga, kadang nenek harus melakukan ajaran secara rahasia; kadang nenek dan seisi kampung harus menerima Komuni Kudus secara sembunyi-sembunyi. Tak jauh beda kah dengan hal yang kita alami sekarang?

Ketika itu, nenek bersama orang-orang di zamannya mengalami masa di mana iman mereka diuji dan pengorbanan harus mereka lakukan hanya untuk sebuah nama yaitu Tuhan Yesus. Ketika itu, sang nenek berusaha menanamkan benih iman ke hati setiap orang, nenek berusaha melakukannya di tengah sulitnya masa di mana para penjajah pun mengonyak-ngoyak Bumi Pertiwi Indonesia.

Nenek dan beberapa teman gurunya mencoba masuk ke dalam hati setiap orang dengan siraman rohani, mencoba merintis dan menyebarkan pengajaran Agama Katolik di kawasan Flores dan aku sangat bangga padanya. Messki nenek harus menanggung segala duka akibat pengajarannya itu, rumah nenek harus dibakar dan nenek beserta keluarga dikejar oleh penjajah di Tanah Lomblen atau yang sekarang bernama Pulau Lembata, dan itu fakta !

Rumah Adat Waibalun

Anganku melayang jauh, tetes air mata jatuh membayangkan wajah tuanya kala itu, dengan semangat nenek bercerita walau kadang tertatih kata demi kata ia ucapkan hanya untuk dapat didengar cucu tersayang. Aku pun membandingkan dua hal ini, cerita masa lalu nenek di saat menjadi guru agama, menyebarkan Agama Katolik di tanah Lamaholot dan kisah kita sekarang, di tengah badai Virus Corona; mampukah kita bertekun dalam doa bersabar dalam cobaan?

Mampukah kita mempertahankan iman yang telah diperjuangkan oleh pendahulu kita pada masa lalu, ataukah kita hanya mampu menjadi onak duri dan kerikil tajam bagi sesama. Mampukah kita menjadikan hati kita altar suci bagi Tuhan? Meski, harus kita jalani sosial distance bahkan mungkin lock down. Apakah kita sanggup menjadi pewarta sabdaNya? Menjalankan hukum cinta kasih bagi sesama yang terkena dampak mewabahnya virus corona, seperti si tukang ojek, para sopir, pedagang kecil di pasar ataupun buruh-buruh di pelabuhan .

Sanggupkah kita menjadi Dewa dan Dewi penolong bagi kaum lemah dan terpinggirkan?

Di akir tulisan ini, aku hanya mau menyampaikan bahwa sesulit apapun situasi hidup kita, seberat apapun salib yang kita pikul saat ini karena Virus Corona maupun karena masalah hidup lainnya, kita hanya berharap pada Tuhan. Masa kita kini adalah masa di mana iman kita akan selalu dicoba.

Yesus hanya mau memberi peringatan kepada kita tentang Makna Cinta kasih yang semakin hari semakin tidak kita jalani. Kita hanya mau mencintai diri kita saja tanpa memandang sesama sedangkan di sana banyak orang lemah yang kurang beruntung dari kita yang mungkin lebih takut akan rasa laparnya hari ini dan esok apakah dapat makan atau tidak hanya karena dampak dari sosial distancing dan kehilangan sumber pendapatan.

Mari bersama kita saling peduli dengan menjadikan hati kita Altar Tuhan yang sesungguhnya di rumah kita masing-masing, dengan demikian kita semakin memaknai Cinta Kasih di manapun, kapanpun, kepada siapapun entah itu sahabat maupun musuh.(*)

Waibalun, Jumat, 10 April 2020

Selamat Paskah, Tetap diam di rumah (stay at home)

*/ Penulis merupakan Guru dan Pegiat Literasi, Pengurus IGI Flotim dan Ketua PKBM Watogokok Waibalun, Flotim, NTT