Tak Semua Pemda di NTT Respons Informasi Kekayaan Intelektual

Loading

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki banyak sekali kekayaan khas produk daerah NTT yang memang benar-benar ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan memberikan dampak yang sangat besar dari merek suatu barang atau jasa dan indikasi geografis suatu daerah seperti dampak perlindungan hukum dan dampak ekonomis.

“Indikasi geografis ini sangat bermanfaat dan penting untuk dilindungi karena memperjelas identifikasi produk, menetapkan standar produksi, menghindari praktik persaingan curang, memberikan perlindungan konsumen, dan menjamin kualitas produk,” jelas Kakanwil Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone dalam sesi dialog interaktif yang disiarkan langsung dari Studio Pro 1 RRI Kupang pada Kamis pagi, 11 Juni 2020.

Dialog yang berdurasi 1 jam ini (pukul 09.00—10.00 WITA) membahas mengenai Pengenalan Merek dan Indikasi Geografis dalam rangka menyebarluaskan informasi Kekayaan Intelektual kepada masyarakat.

Mercy Jone, sapaan akrab dari Kakanwil perempuan pertama di lingkup Kemenkumham Provinsi NTT ini didampingi oleh Sub Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual yakni Kabid Pelayanan Hukum, Erni Mamo Li dan Kasubbid Pelayanan Kekayaan Intelektual, Dientje Bule Logo.

Menurut Mercy, reputasi suatu kawasan indikasi geografis akan ikut terangkat apabila indikasi geografis tersebut sudah didaftarkan, misalnya Kopi Bajawa, Vanili Alor dan Tenun Ikat Sikka yang sudah didaftarkan untuk mendapat perlindungan secara hukum. “Walaupun harganya tinggi, tapi konsumen akan tetap membelinya karena tahu bahwa kualitasnya terjamin, itulah pentingnya pendaftaran indikasi geografis,” ungkapnya.

Ada pun indikasi geografis yang berada di Provinsi NTT dan sudah didaftarkan sekitar 8 antara lain 2 tenun ikat dan 6 lainnya merupakan komoditi pertanian, yakni Kopi Manggarai dan Jeruk Keprok Soe. Sedangkan untuk merek, sudah ada sekitar 30-an, contohnya Roti Borneo dan Beras Nona Kupang dan lagu Gemu Famire yang sudah memiliki hak cipta.

Selain Indikasi Geografis, imbuh Mercy, Merek yang termasuk kekayaan Intelektual personal dapat didaftar adalah individu/perseorangan, sedangkan Indikasi Geografis yang termasuk Kekayaan Intelektual Komunal harus didaftarkan oleh pemerintah daerah melalui Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG).

“Ketika dilihat dari sisi teknis pelayanan hukum, Kekayaan Intelektual tersebut dikatakan sudah mempunyai perlindungan hukum ketika telah didaftarkan,” terang Mercy.

Dalam sesi dialog interaktif tersebut, terlontar pertanyaan dari para pendengar via telepon termasuk Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilijora. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut Mercy menegaskan, Pemerintah daerah harus berperan aktif.

“Kami hanya bertugas melakukan sosialisasi dan edukasi. Pada tahun 2018 kami bersama Ditjen Kekayaan Intelektual sudah punya MoU dengan hampir semua kepala daerah di kabupaten NTT, tapi sampai saat ini belum semua merespons hal tersebut dan di lain pihak ketika ada masalah misalnya tenun ikat yang dijiplak, ramai-ramai mereka menuntut untuk dilindungi,” urai Mercy.

Padahal prinsip Kekayaan Intelektual, terang Mercy, siapa pendaftar pertama, itulah yang akan dilindungi. “Lewat kesempatan ini juga kami berterima kasih kepada Pemprov NTT yang pada tahun 2019 lalu telah memfasilitasi untuk pembentukan MPIG di 8 kabupaten/kota, bahkan sampai menyiapkan biaya pendaftaran, tapi dalam perjalanannya itu pun tidak semua merespons baik hal tersebut,” ucapnya.

Karena itu, tegas Mercy yang mulai menjabat Kakanwil Kemenkumham NTT sejak 17 Maret 2020 lalu, menegaskan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab utama untuk melindungi karya anak budaya di daerah, terutama indikasi geografis dan ekspresi budaya tradisional. “Jadi memang sangat penting sekali Kekayaan Intelektual tersebut didaftarkan agar mempunyai perlindungan hukum yang kuat,” jelas Mercy saat menjawab pertanyaan-pertanyaan pendengar.

Terkait tenun ikat dari Sumba Timur yang sudah sangat terkenal, Mercy juga menyarankan untuk didaftarkan secara benar sesuai prosedur resmi. “Kami juga sampaikan terima kasih karena Pemkab Sumba Timur sudah membentuk MPIG pada tahun 2019 lalu, di mana sudah kami daftarkan, kita tinggal menunggu tim peneliti untuk pemeriksaan substantifnya. Tapi sebelum keluar sertifikat MPIG, harus tolong dipastikan keberlangsungan motif tenun ikat tersebut, agar ketika tenun ikat yang sudah didaftarkan dan mendapatkan sertifikat indikasi geografis, produksinya tidak semakin berkurang. Di situlah peran pokja-pokja MPIG, sehingga penting sekali untuk dibuat Perda-nya, agar intervensi-intervensi programnya bisa berjalan, sehingga dalam perjalanannya tidak mengalami mati suri seperti MPIG beberapa daerah lain, karena tidak dikawal oleh pemerintah dalam suatu kebijakan yang baik,” tegasnya.

Sementara itu, Kabid Pelayanan Hukum, Erni Mamo Li mengajak untuk melindungi Kekayaan Intelektual yang ada di Provinsi NTT, dengan mendaftarkannya secara tepat sesuai prosedur yang ada agar tidak diklaim oleh pihak lain.

“Kami di Kanwil Kemenkumham NTT siap membantu masyarakat yang ingin mendapatkan legalitas. Dengan kita mendaftar, kita akan mendapatkan hak eksklusif dan perlindungan dari negara atas hak milik kita sendiri,” pungkas Erni dalam closing statement sebagai narasumber.(*)

Sumber berita dan foto pendukung (*/Feby Asadoma—Kanwil Kemenkumham Provinsi NTT)
Foto utama oleh nalar.id
Editor (+rony banase)