Nyali Jokowi, Nakhoda Kapal Indonesia di Tengah Badai Pandemi Global

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Pengumuman penting… pengumuman penting! PPKM Level 4 diperpanjang. Walah dan/tapi, Indonesia dapat medali emas di Olimpiade. Hore..! Prihatin dan gembira… that’s life. Lalu apa pelajarannya buat kita? Supaya setiap peristiwa besar (maupun kecil) yang terjadi sekitar kita bisa selalu bermakna bagi kehidupan kita selanjutnya. Ingat, life goes on… so move on!

Kata Dokter Boyke, percuma panjang kalau tidak keras. Nah, dalam konteks PPKM ini kan tepat sekali ya. Kalau dalam konteks yang lain kita bahas di lain kesempatan.

Kita bisa paham bahwa keputusan yang diambil seorang pemimpin itu sejatinya keputusan yang dianggapnya benar, bukan keputusan yang sekadar popular doang. Itulah sejatinya seorang pemimpin sejati. Soal yang benar, bukan cuma yang pop!

Mungkin dampak keputusannya terasa pahit sekarang, namun itulah yang terbaik demi kepentingan bangsa yang lebih luas, yang rentang pandang dan jangkauannya sampai ke masa depan yang nun jauh di sana.

Itulah keberanian dari seorang pemimpin visioner. Ya keberanian, karena pemimpin visioner tanpa keberanian cuma jadi pemimpi di siang bolong. Dari pemimpi menuju pemimpin hanya perlu huruf ‘n’, nekat, ya rada nekat tapi penuh perhitungan tentunya.

Keputusan memperpanjang PPKM pastilah diambil dengan berat hati setelah menimbang banyak sudut perkara. Tapi ini kan seperti pil pahit yang toh mesti kita telan demi kesembuhan. Mau apa lagi?Pada galibnya kita juga melihat, bahwa keputusan untuk lagi-lagi memperpanjang PPKM adalah sekaligus juga sebuah pesan yang keras kepada kita semua.

Jangan main-main! Jangan pandang enteng! Dan jangan coba-coba mengail di air keruh!

Pesan yang terakhir tentu saja terarah ke… ah sudah tahu sama tahu kan? Dua pesan pertama tentu kepada kita semua, supaya lebih kompak dan tidak cengeng. Jokowi juga sedang “mendidik” rakyatnya untuk berani ‘confronting the brutal facts’ perihal sedang sakitnya bangsa ini.

Jokowi sekali lagi membuktikan bahwa dirinya bukanlah pemimpin kaleng-kaleng. Tak bisa diancam atau diintimidasi, bahkan keputusan yang sangat tidak popular macam perpanjangan PPKM di tengah situasi yang coba digoreng-goreng supaya panas oleh para provokator toh ditempuhnya juga. Mau apa?

Decision has been made. So let’s just execute! Mau protes apa? Gunanya apa?

Mau lengserkan Jokowi gegara pandemi Covid-19? Hoho… tidak bisa!

Kita jadi teringat bahwa di awal masa pandemi ini, Presiden Joko Widodo sudah menyiapkan perangkat hukum yang amat sakti, sehingga dirinya tak mungkin bisa dilengserkan gegara kebijakannya semasa pandemi ini. Masih ingat?

Berawal dari Perppu No.1/2020 yang akhirnya disahkan DPR-RI menjadi Undang-Undang No.2/2020 yang judulnya berbunyi:

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O2O Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

Panjang dan lebar judulnya, alias luas cakupannya.

Inti soalnya adalah soal fakta, kenyataan, realitasnya bahwa Perppu Corona itu DPR-RI sudah setuju, sah! Maka, sejak itu Jokowi bak buldozer terus merengsek, bergerak tanpa tedeng aling-aling walau dengan gayanya yang tetap kalem. Memang banyak yang belum rata,  ada saja yang mbalelo, yang korupsi lah, dan yang masih coba-coba jegal dengan cara yang norak. So, labrak terus!

Payung hukum yang diperlukan dalam situasi kegentingan sudah tersedia. Payung untuk menangkal hujan tuntutan dari pihak-pihak yang kakinya babak belur terinjak gerigi buldozer. Buat kelompok yang baik-baik saja kan gak ada masalah.

Mungkin lantaran Presiden sudah mendapat Surat Sakti itu, maka para petualang politik pernah mencoba menyerang parlemen yang telah mengesahkan Perppu itu jadi Undang-Undang.

Ada yang menuduh bahwa ini semacam ‘Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI’. Hahaha… Tapi kok kita justru melihatnya ini adalah langkah  ‘Pelumpuhan Massal Gerak Gelandangan Politik’.

Konteksnya jelas, pada intinya situasi sudah memenuhi parameter kegentingan yang memaksa harus memberikan kewenangan kepada Presiden untuk bertindak cepat, tegas dan antisipatif. Tidak bisa banyak cincong. Negara harus diselamatkan!

Dasar hukum Perppu ini adalah pasal 22 ayat (1) UUD-1945: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Dan pasal 1 angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Perppu Corona ini bukan seperti Supersemar yang hilang itu. Pendek kata, Perppu Corona ini dasar hukumnya jelas, dan kuat. Sudah disahkan jadi Undang-Undang oleh para wakil rakyat Indonesia. Sudah pula disosialisasikan dan dokumennya bisa diakses publik kapan saja.

Sekarang tinggal pelaksanaannya yang efektif sesuai maksud dan tujuan dari Undang-Undang itu.

Hati-hati, semasa kegentingan jangan sampai ada lagi hoaks dan pengiringan opini busuk. Pengiringan opini dengan berbagai framing sesat seperti soal utang negara yang berjibun (tanpa memahami soal rasio utang, soal utang konsumtif dan produktif), soal TKA asal Tiongkok lah (soal investasi dikaitkan dengan isu nasionalisme), sampai ke jualan isu Komunisme yang enggak ada matinya itu.

Padahal kita semua melihat, bahwa administrasi Jokowi ini sedang berjibaku memitigasi pandemi sambil juga mesti mengoperasi segala borok sisa rejim lama. Mulai dibedah untuk dikeluarkan nanahnya supaya infeksi korupsi bisa mulai disembuhkan. Setelah disobek ya disiram pakai alkohol yang perih itu, supaya kumannya mati. Sakit memang, tapi perlu.

Perppu No.1/2020 (Perppu Corona) yang sudah jadi UU No.2/2020 memang ‘Surat Sakti’ buat administrasi Presiden Joko Widodo. Walau tidak seperti Supersemar yang raib itu, ia bisa dipakai untuk mengeksekusi misi penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Fokusnya pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.

Di Bab V Ketentuan Penutup, pasal 27, “Surat Sakti” ini berbunyi,

“(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Hmm… bukan ‘kerugian negara’ ya gaes… catet! Lalu,

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Tuh, gak bisa dituntut (selama didasarkan itikad baik dan nurut sama aturan). Kemudian,

(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”

Nah kan, ini memang pasal sakti, di mana semasa kegentingan ini, Presiden berhak (dan wajib) untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menyelamatkan negara. Tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana. Fair sih sebetulnya. Situasinya genting kok.

Pesan yang tak kalah penting adalah buat para gelandangan politik:  Presiden Jokowi tidak bisa dimakzulkan seperti yang dulu kalian lakukan kepada Gus Dur! Jelas?

Gelandangan Politik adalah istilahnya Gus Dur: “Preman-preman itu akan jadi gelandangan politik seumur hidupnya.” Begitu ujarnya saat ia dilengserkan secara inkonstitusional. Iya, inskonstitusional!

Siapa preman-preman itu? Mereka adalah yang rakus dan haus kekuasaan. Berkonspirasi (atau ikut merestui) pelengseran Gus Dur secara semena-mena. Secara frontal maupun bergaya hipokrit (musuh dalam selimut).

Terus terang saja, para gelandangan politik ini masih bergelandangan juga di era pemerintahan Jokowi. Membangun narasi-narasi publik yang menyesatkan. Hanya seolah saja membela wong-cilik dan seolah membela UUD’45, padahal – seperti biasa – itu semua cuma alat justifikasi untuk menyebar hoaks ala ‘firehose of falsehood’. Dan itu memang hobi mereka.

Setelah Jokowi dan para menterinya pontang-panting membangun macam-macam infrastruktur yang selama ini terbengkalai atau mangkrak, namun sayangnya di awal periode kedua ini ada bencana kesehatan nasional (Covid-19). Sampai-sampai kondisi bangsa mengarah ke situasi kegentingan (darurat) ekonomi. Ini jelas harus segera diambil tindakan darurat penyelamatan seperlunya!

Belajar dari sejarah, kita sadar bahwa situasi kegentingan seperti inilah yang ditunggu-tunggu para petualang politik itu. Rencana mau mengulangi skenario ‘Semut Merah’ yang sukses mereka pakai untuk menggulingkan Gus Dur mungkin sudah di ubun-ubun.

Tapi Jokowi memang bukan Gus Dur yang saleh dan tanpa tedeng aling-aling itu. Jokowi cerdik dan lihai juga, langkah kuda dengan Perppu yang telah jadi Undang-Undang ini dijalankan terlebih dahulu, dan ini bikin mati langkah lawan-lawan liciknya.

Dulu Gus Dur difitnah habis-habisan lewat hoaks skandal Bulogate dan Bruneigate sampai ke jebakan krisis demi ‘Menjerat Gus Dur’ ala Bawazier-Panigoro-Rais dan para kompradornya. Sampai akhirnya dimakzulkan lewat SI-MPR yang penuh dengan intrik itu.

Maka, sekarang para gelandangan politik bisa gigit jari. Jokowi sudah punya ‘surat-sakti’ Perppu/UU Corona. Hehe… Jokowi memang bukan Gus Dur. Soal bagaimana proses lobi-lobi politik sampai Perppu itu mulus jadi Undang-Undang tidak perlu dibahas, tidak penting juga.

Hal paling menonjol dari figur presiden yang sekarang ini adalah kepiawaiannya menggerakkan langkah kuda catur yang lincah dan sulit diduga oleh lawan politik. Untuk kemudian bergerak seperti buldozzer yang sangat powerful mendorong bukit tanah untuk menutup lubang-lubang. Tidak gampang memang.

Kita pun seperti melihat, nyali Jokowi ini memang diperlukan sebagai Nakhoda Kapal Indonesia yang sedang mengarungi lautan badai pandemi global. Maka kepada para gelandangan politik, selamat gigit jari dan gemetaran. Kepada yang lainnya, mari kencangkan ikat pinggang dan terus berkarya.

Sekali lagi, jangan sia-siakan pengorbanan kita selama PPKM Darurat yang telah diperpanjang. Kiranya Tuhan senantiasa memberkati bangsa ini.

Selasa, 3 Agustus 2021

Penulis merupakan pemerhati ekonomi-politik

Foto utama oleh BPMI Setpres