Bantuan Sarana Sanitasi Pijar Timur Mangkrak, Sekolah di Belu Pungut Siswa

Loading

Belu–NTT, Garda Indonesia | Bantuan sarana sanitasi disabilitas ramah sekolah tahun 2019 berupa satu unit jamban inklusif (WC) dari LSM Pijar Timur Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang diterima SDI Kinbana, Desa Bakustulama, Kecamatan Tasifeto Barat, sudah mangkrak selama dua tahun. Padahal, anggaran yang ditransfer oleh Pijar Timur ke rekening sekolah senilai Rp. 18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).

Sementara, pantauan Garda Indonesia pada Kamis, 9 September 2021, bangunan sarana sanitasi disabilitas masih dalam kondisi belum bisa dipakai. Tembok belum diplester, keramik belum dipasang, dan kelengkapan fasilitas pengaman belum tersedia.

Kepala sekolah SDI Kinbana, FB ketika dikonfirmasi pada Kamis pagi, 9 September 2021, mengaku bahwa anggaran itu sesungguhnya tidak bisa mencukupi untuk menuntaskan bangunan sarana sanitasi ramah sekolah tersebut. “Sebenarnya sejak awal, kami menolak bantuan itu karena setelah kami pelajari RABS – nya bersama ketua komite, ternyata dana itu tidak bisa untuk selesaikan satu WC sesuai ukuran yang ditentukan Pijar Timur,” alas Firmus.

Ketua komite ER pun secara terpisah, secara senada menyampaikan keluhan yang sama. Bahwa, solusi satu – satunya yang ditempuh adalah dengan memungut dari siswa/siswi melalui rapat dengan orang tua murid, dengan merujuk pada surat pemberitahuan dari Pijar Timur. Nilai pungutannya senilai Rp. 18. 000 (delapan belas ribu rupiah) per siswa dari jumlah total 187 siswa.

“Kami rapat dengan orang tua ini juga karena ada permintaan dari Pijar Timur. Mereka yang kirim surat ke kami. Tapi saat rapat, mereka tidak hadir. Seharusnya mereka sendiri hadir untuk menjelaskan ke orang tua murid, kenapa WC itu belum selesai,” kesal ER.

ER menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam lokakarya, LSM Pijar Timur tidak bicara tentang RABS. Namun, justru meminta adanya kontribusi dari orang tua murid dalam bentuk galian fondasi dan septic tank, okfol, pasang fondasi, dan potong kayu bulat untuk profil. Tetapi saat pelaksanaan, ternyata tidak seperti yang diharapkan, orang tua yang hadir hanya sedikit orang.

Selanjutnya, ketua komite mencari tukang sambil menunggu datangnya RABS dari Pijar Timur. Ketika terima RABS, tercatat bahan – bahan dengan jumlah masing – masing, pasir 1 ret, batu 1 ret, semen 10 sak.

“Karena saya lihat bahan sedikit, saya dan kepala sekolah sepakat bertemu pihak Pijar Timur di Motabuik, Kecamatan Atambuan Selatan untuk klarifikasi. Tapi kantornya tutup karena katanya kantor di Kefa (TTU). Akhirnya kami pulang dan tidak kembali lagi karena saya jatuh sakit,” terang ER.

Dalam perjalanan waktu, uang itu ditransfer ke rekening sekolah dengan nilai delapan belas juta rupiah sesuai RABS, dengan perincian tiga juta rupiah untuk tukang dan lima belas juta rupiah untuk bahan.

“Pak kepala datang suruh saya cari tukang dengan ongkos tiga juta. Tukang tidak mau, kami naikkan lagi menjadi lima juta. Tapi, tetap saja tidak ada tukang yang mau. Akhirnya, kepala sekolah cari tukang sendiri sampai kondisi bangunan seperti sekarang ini,” ujar ER.

ER menceritakan lanjut bahwa bahan, waktu itu satu kali belanja di Toko Arena Kinbana dengan dana lima belas juta rupiah. Nota belanjanya, langsung diambil semuanya oleh Pijar Timur sehingga saat ini pihak sekolah tidak memiliki bukti pembelanjaan bahan.

“Jadi anggarannya, Pijar Timur yang atur semuanya. Dan mereka bilang kalau tidak cukup, sekolah usaha sendiri untuk kasih cukup. Waktu itu, saya sebagai ketua komite rasa berat, makanya saya mau tolak saja. Anehnya, Pijar Timur terus mendesak bahkan sampai datang mengamuk di sekolah dan di rumah kepala sekolah,” ungkap ER lagi.

Kondisi jamban inklusif (WC) SDI Kinbana, Desa Bakustulama, Kecamatan Tasifeto Barat

ER yang terbawa rasa kesal, menuturkan bahwa pihak komite dan sekolah pasrah sambil menunggu sampai tim pengawas dan donatur datang memeriksa sendiri sekaligus tatap muka untuk disampaikan kondisi kesulitan yang dihadapi sebenarnya.

“Saat ini kepala sekolah pasrah sambil terus berjuang dengan caranya demi anak–anak,” tutur ER.

Jumlah dana yang harus dicukupkan, lanjut ER, berjumlah Rp. 3.740.000 (atas kesepakatan Rp. 18.000/siswa dibulatkan menjadi Rp. 20.000/siswa). Kekurangan itu, dibebankan kepada orang tua murid dari total 187 siswa/siswi untuk bayar tukang, pesan pasir 1 ret, air 1 tangki, dan keramik 15 dos.

“Sampai sekarang ini, orang tua belum kumpulkan semuanya. Jadi, kalau mereka tidak mau kumpul, lebih baik kita tunggu sampai pemilik modal datang lihat sendiri. Yang penting, kita sudah berupaya maksimal. Biar kita sama–sama bertanggung jawab ke pemilik modal,” tandas ER.

Informasi lain yang diperoleh Garda Indonesia pada Sabtu siang, 11 September 2021 dari salah satu sekolah yang juga menerima bantuan sarana sanitasi tahun 2020, bahwa dana bantuan sarana sanitasi Pijar Timur senilai Rp. 18.900.000 (delapan belas juta sembilan ratus ribu rupiah). Bahwa, anggaran itu dikelola oleh pihak komite sekolah, dan telah selesai meskipun harus dengan bantuan uang pribadi kepala sekolah bersangkutan senilai satu juta lebih rupiah.

“Dananya ada delapan belas juta sembilan ratus. Tapi, mereka potong lagi sampai sisa tujuh belas juta lebih. Dana itu memang tidak cukup untuk WC ukuran itu. Tapi karena demi anak – anak, terpaksa kami terima sampai harus rela keluarkan uang pribadi. Saya sudah tambah uang pribadi satu juta lebih, tapi belum juga selesai. Ada bagian tertentu yang masih pakai bambu. Padahal, yang sebenarnya harus pakai besi,” ujar polos kepala sekolah.

Kepala sekolah itu menambahkan bahwa pihak Pijar Timur terus mendesak agar sarana sanitasi wajib tuntas sesuai dengan ukuran dan kelengkapan fasilitas yang ditentukan, meski dananya dalam keadaan tidak cukup.

Pihak Pijar Timur, ketika dikonfirmasi via sambungan telepon pada Sabtu siang, 11 September 2021 terkesan tidak bersahabat. Seorang petugas lapangan yang dikenal berinisial G malah mengancam Garda Indonesia dengan nada suara keras.

“Semua kuitansi–kuitansi, kita akan beberkan. Kalau mau lihat kuitansi – kuitansi, silakan pak datang ke kantor, copy kuitansi semua, pak lihat dan kita akan klarifikasi di toko yang bersangkutan supaya itu lebih fair pak. Jadi, supaya sebelum pak muat, pak muat tanpa kuitansi semua, saya akan komplain itu berita. Jadi, silakan datang, karena semua proses pembelanjaan lengkap. Nanti, saya sampai kantor baru saya bel lagi karena saya sementara ada di luar,” sebut G sembari menegaskan bahwa pernyataan komite itu bohong semuanya!

Saat dihubungi kembali setengah jam kemudian melalui telepon, malah G berdalih tidak memiliki kesempatan untuk bertemu. Bahkan, G lagi–lagi mencercah Garda Indonesia dengan kata–kata tak pantas. Padahal, G sendiri yang menawarkan dan meminta sebelumnya untuk menunjukkan semua bukti kuitansi pembelanjaan.

“Maksud pak kejar kuitansi itu tujuannya untuk apa? Saya tanya pak, kalau pak butuh kuitansi itu, tujuan pak untuk apa? Kalau pak mau berita, pak dengar dari saya. Kalau pak butuh itu, saya tanya pak, untuk apa kalau pak mau lihat itu? Pak, kuitansi semua lengkap di sini. Itu menjadi dokumen kami,” kata G dengan suara kasar.

Sebelumnya, pada Kamis, 9 September 2021 petugas G sempat meminta Garda Indonesia untuk tidak mempublikasi, dengan kilah demi nama baik kepala sekolah. Katanya, jika dipublikasi maka kepala sekolah SDI Kinbana yang akan menanggung coreng nama baik.

Pantauan Garda Indonesia, G mendesak pihak sekolah dengan suara keras agar segera tuntaskan bangunan yang masih dalam kondisi terbengkalai dalam pacuan waktu dua hari, kerja siang malam. Bahkan, meminta kepala sekolah untuk mengelabui tim pemeriksa dengan menyiapkan semua perlengkapan sarana sanitasi atas upaya kepala sekolah sendiri. (*)

Penulis + foto: (*/Herminus Halek)