Oleh : Emanuel Dapa Loka
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat kembali berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri. Dari beberapa potongan video yang beredar luas, terjadi perdebatan sengit dengan Umbu Maramba Hawu. Tampak ia dengan keras dan kasar mengancam memenjarakan, mengancam memukul dan mengumpat rakyatnya dengan kata “monyet”. Dengan cara ini, dia telah merendahkan martabat rakyatnya sendiri.
Mengetahui Gubernur ada di Sumba, pada Sabtu, 27 November 2021, Umbu Maramba Hawu, tuan tanah di Kampung Rende Prayawang, Desa Rindi, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama keluarganya datang menjumpai sang gubernur di range sapi di daerah tersebut, untuk menanyakan pihak yang telah menyerahkan hak atas tanah mereka kepada Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut info yang mereka terima, tanah milik suku mereka sudah beralih kepemilikan ke Pemprov NTT dan akan dijadikan range sapi untuk menghasilkan daging sapi premium. Di atas tanah itu ada perkampungan, bahkan permakaman keluarga.
Keinginan rakyat mempertanyakan status tanah mereka ini, Viktor tangkap sebagai upaya untuk menghalang-halangi proyek sapi premium. Nada bicaranya pun tinggi dan marah besar. Dia muncul sebagai tuan besar yang setiap kata dan kebijakan hanya boleh diterima, tanpa boleh dipertanyakan, apalagi didebat. Belum lagi, Umbu berbicara keras dan memotong pembicaraan Viktor.
Yang dia hadapi adalah tuan tanah dengan gelar Umbu Maramba. Dalam struktur masyarakat setempat, gelar tersebut masuk dalam golongan ningrat, apalagi sudah sepuh. Namun, hal tersebut sama sekali tidak masuk dalam hitungan Viktor. Dia justru mengancam untuk memenjarakan.
Apakah benar, Gubernur adalah pejabat negara yang bisa seenaknya memenjarakan warga yang bertanya atas hak milik mereka? Umbu pun menyatakan siap mati demi mendapatkan kembali tanahnya.
Sangat keliru jika Viktor menilai sikap warga tersebut sebagai upaya menghalang-halangi atau menolak kemauan baiknya untuk menyejahterakan mereka dengan proyek sapi itu. Rakyat yang sama justru sudah merelakan begitu banyak bidang tanah mereka yang lain kepada Pemerintah untuk mendukung maksud baik Pemerintah “menyejahterakan rakyat” itu.
“Apa lagi yang saya tidak baik ini? Itu (tanah yang sudah dia serahkan) untuk negara ini, untuk Gubernur,” ungkap Umbu tentang tanah yang telah ia serahkan, seperti tertangkap dalam video yang beredar luas itu.
Gaya Komunikasi Buruk
Dengan perasaan sebagai orang besar yang harus dihormati, Viktor menghadapi rakyat dengan kasar. Dia tidak menunjukkan sikap rendah hati di hadapan rakyat yang telah memilihnya, yang ketika kampanye dia mohon-mohon dukungan dengan berbagai janji.
Bukan sekali ini saja Viktor merendahkan rakyatnya sendiri. Dia sering kali menyebut rakyatnya bodoh, miskin dan sebagainya. Ini adalah kata-kata yang mematikan. Benar bahwa mereka bodoh, tapi apakah kebodohan yang mereka sendiri tidak kehendaki itu yang harus ditonjol-tonjolkan? Tidak adakah sisi baik lain yang bisa diangkat untuk mendongkrak semangat dan rasa percaya diri mereka agar bangkit dari kemiskinan dan kebodohan?
Mestinya, Viktor perlu berkaca diri dan mengajukan pertanyaan amat tajam kepada dirinya sendiri: apa yang mesti saya lakukan dan bagaimana melakukan untuk membuat mereka tidak bodoh dan miskin lagi? Apa yang telah kuperbuat untuk rakyat? Sebentar lagi periode kepemimpinannya akan berakhir. Apakah lima tahun akan berlalu begitu saja, bahkan menyimpan luka?
Bukankah ketika kampanye dia telah menghambur-hamburkan janji bahwa “kepulangannya” ke NTT adalah untuk membangun dan menolong rakyat NTT keluar dari kemiskinan dan kebodohan? Mestinya, dia menjadi teman satu perjalanan rakyat secara menyenangkan dalam menjemput perbaikan hidup yang dia janjikan.
Senjata “panggilan mengabdi rakyat” telah ampuh mengantar Viktor ke “singgasana”, tetapi singgasana itu dia pakai untuk memaki dan merendahkan rakyatnya.
Kalau Viktor paham etika berkomunikasi dan mau menekan arogansinya, serta paham perasaan sosiologis masyarakat, bukan begitu cara berkomunikasi dengan rakyat.
Etnis Kambera di Sumba Timur terkenal sangat patuh terhadap pemimpin. Apa kata raja mereka, itulah yang mereka ikuti. Dalam struktur kepemimpinan modern, mereka akan tunduk pada kata Gubernur. Dengan demikian, menjadi pertanyaan, mengapa sampai terjadi perlawanan sengit semacam ini? Sangat mungkin karena telah terjadi pengabaian dan semena-mena terhadap mereka. Karenanya mereka pertanyakan.
Andai Gubernur menghadapi rakyat tersebut dengan elegan dan menjawab pertanyaan mereka dengan tenang tanpa meledak-ledak dan arogan, tidak terjadi cekcok yang melukai dengan parah perasaan dan martabat kemanusiaan.
Sayangnya, oleh karena merasa sebagai orang besar dari singgasana yang “maha”, Viktor terlebih dahulu memandang rakyat di kampung sebagai tidak berharga, bodoh, miskin dan harus ikut saja apa maunya, tanpa boleh bertanya sedikit pun.
Sekali lagi, kalau paham adat dan perasaan sosio kultural setempat, Viktor tidak akan lekas marah-marah. Dia justru akan merangkul, menepuk bahu, ajak makan sirih pinang di atas tikar. Atau malah secara spontan menyatakan kesediaan mengunjungi kampung rakyat yang menghadapnya. Saat itu juga. Di sana justru dia akan diterima dengan sangat terhormat, lalu kesempatan itu bisa dia manfaatkan untuk bicara dari hati ke hati tentang banyak hal sebagai anak dan bapak.
Dengan begitu, status tanah bisa dibicarakan baik-baik dan proyek tersebut akan berjalan mulus. “Kemauan baik” untuk mengurus rakyat pun mencapai titik sukses. Sayangnya, Viktor justru memproklamirkan diri sebagai pejabat yang akan mengangkut dan memasukkan rakyat ke dalam penjara. Sungguh menyedihkan! (*)
Foto utama (*/koleksi Garda Indonesia)
Komentar ditutup.