Kenal Akrab E R Herewila, Tokoh Perintis Kemerdekaan Asal NTT

Loading

Pria kelahiran Pulau Sabu, saat Natal 25 Desember 1906 di wilayah paling selatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, bernama lengkap Elisa Rame Herewila. Ia mengecap pendidikan di HIS Seba-Sawu, Nusa Tenggara Timur (NTT), kemudian meneruskan pendidikannya hingga ke Makassar. Di sana, suami dari Juliana Dudu Hya ini pun ikut membentuk organisasi kebangsaan beranggotakan orang-orang dari wilayah Keresidenan Timor yakni Timorsch Verbond.

Timorsch Verbond adalah organisasi pergerakan sosial dan politik untuk kemerdekaan yang didirikan di Makassar oleh 2 (dua) tokoh politik asal Pulau Rote masing-masing D.S.Pella (seorang guru) dan J.W.Amalo (Klasi kapal, anak raja Rote-Tengah).

Lihai Berorganisasi via Timorsch Verbond

Melalui Timorsch Verbond yang dipimpin oleh E.R.Herewila dan J.W.Amalo di kemudian hari (tahun 1932) berkembang pesat dan mempunyai cabang di NTT. Hingga Belanda berusaha menghentikan sepak terjang Timorsch Verbond, maka tahun 1934 keluarlah Undang-Undang Pemerintah Hindia Belanda “Vergader Verbond” (larangan berapat) yang melumpuhkan seluruh kegiatan politik di kota maupun di desa-desa.

Pada tahun 1923, melalui organisasi Timorsch Verbond, terjadi kejadian penting yang melambungkan nama Timorsch Verbond, yaitu ketika Controleur Dannenberger di Karuni (Sumba) dan Gazeghebber Israil di Sabu “diseret ke hadapan pengadilan Justisi” di Makassar, karena dituduh menganiaya ratusan rakyat di Pulau Sumba dan di Sabu.

Kekejaman perbuatan kedua Pamong Praja Kolonial tersebut dibongkar oleh keberanian yang tak terhingga dari Ketua Cabang Timorsche Verbond di Sumba C. Piry dan Ketua Cabang Timorsche Verbond di Sabu Saul.W. Tanya. Bukan hal yang mudah bagi kedua tokoh ini untuk mengajukan dua orang pejabat pemerintah kolonial Belanda ke hadapan Pengadilan Justisi yang notabene milik pemerintah kolonial Belanda. Mereka harus dapat mengajukan tuntutan dengan bukti-bukti hukum yang benar-benar “legal dan akurat” serta dapat dibenarkan dan dibuktikan sesuai dengan norma hukum yang berlaku pada saat itu.

Dan kondisi tersebut dapat dilakukan oleh C.Piry dan Saul W.Tanya dengan baik, karena Pengadilan Justisi pada amar keputusannya memutuskan bahwa kedua pamong praja kolonial itu “bersalah” dan Pengadilan Justisi Makassar menjatuhkan hukuman: dipecat dari jabatan sebagai Controleur. Kejadian ini menjadi suatu “kejadian yang luar biasa”, di mana penguasa yang menindas rakyat kecil yang dijajah, dihukum oleh pengadilan si penjajah itu sendiri! Kejadian heroik terjadi 5 tahun mendahului kejadian “Soempah Pemoeda” tanggal 28 Oktober 1928.

“Controleur Dannenberger of Karuni, Sumba was accused by the local
Timorsch Verbond branch head, C. Piry, of ‘maltreating’ hundreds of local residents. Similar accusations were made against Gezaghebber Israil of Sabu by Verbond branch head S. W. Tanya. Both officials were sent for trial to Makassar, were found guilty and removed from their positions “…… ( Tercantum dalam tulisan FROM ‘TIMOR KOEPANG’ TO ‘TIMOR NTT’: A POLITICAL HISTORY OF WEST TIMOR, 1901-1967 (A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy Steven Glenn Farram-Charles Darwin University Australia).

Elisa Rame Herewila (kiri) berpose dengan Bung Nanggi Ang

Kejadian lainnya, pada tahun 1933, Timorche Verbond di bawah kepemimpinan E.R.Herewila berjuang membela masyarakat Della-Rote Barat Laut yang mana sebanyak 318 rakyat mengalami penyiksaan oleh Kontrouler Enklaar. Ketua Timorche Verbond E.R.Herewila meminta Ketua Pengadilan Belanda di Makassar Mr. Yonkman agar segera turun ke Rote guna melihat dan mencari data dan fakta kejadian “Della Affair”. Hal ini dilakukan oleh Mr. Yonkman dan hasil kunjungannya membuat Kontrouler Belanda di Rote dicopot dan tokoh pejuang Rote yakni Soleman Hangge dibatalkan hukuman matinya.

Sekali lagi, Timorche Verbond telah membela rakyat. Di bawah kepemimpinan E.R.Herewila, organisasi ini semakin berkembang, mempunyai cabang di berbagai daerah seperti di Rote, Timor, Sabu bahkan sampai di Flores. Kemudian pada tahun 1934, karena organisasi ini berkembang semakin besar, maka Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berorganisasi dan berapat melalui Undang-Undang Vergader Verbod yang melumpuhkan semua kegiatan organisasi Timorche Verbond.

Maka, perjalanan organisasi ini semakin suram, tetapi sebelum organisasi ini bubar Timorche Verbond masih sempat membela Rakyat Larantuka dari kekejaman pejabat Pemerintah Belanda yang menyiksa rakyat. Atas perjuangan Timorche Verbond di bawah kepemimpinan E.R.Herewila dan kawan-kawan, maka Pejabat Pemerintah Belanda dipecat dan dihukum oleh Pengadilan Yustisia di Makassar.

Kemudian, E.R.Herewila diangkat oleh Menteri Penerangan NIT I.H.Doko menjadi Kepala Kantor Jawatan Penerangan Karesidenan Timor (1945—1951), beliau tercatat sebagai Kepala Kantor Penerangan pertama NTT, mengingat saat itu, E.R.Herewila terkenal sebagai seorang Tokoh Nasionalis tulen serta Republiken sejati dari Partai Nasional Indonesia (PNI).

“Saking keras kepalanya, E.R.Herewila dijuluki Extreemis atau pengacau (julukan yang biasa ditujukan untuk tokoh pergerakan kebangsaan saat itu,” demikian ditulis dalam buku Autobiografi I.H.Doko), beliau adalah seorang Nasionalis yang karismatik, Herewila adalah bagian dari aksi gelombang pasang republik menuju kemerdekaan, ketika ia menjadi Kepala Kantor Jawatan Penerangan, beliau memerintahkan untuk memutar film-film propaganda serta film-film anti feodalisme maupun kolonialisme.

Ayah dari 4 (empat) orang anak di antaranya Ir. Kudji Rame Herewila, M.Si. Drs. Dammy Rame Herewila (Alm), Hagha Rame Herewila (Alm), dan Banni Rame Herewila ini pun merupakan seorang orator ulung, dia mampu berpidato lama dan berapi-api tanpa sedikit pun tensi suara menurun, namun para pendengarnya tidak bosan bahkan semakin terpaku dengan gaya berpidatonya, oleh sebab itu dia dijuluki “Soekarno kecil”.

Elisa Rame Herewila (duduk berkacamata) berpose bersama anak dan keluarga

Pada tahun 1945, orang tua kami, Titus Uly dan istrinya L.V.Uly-Tanya (Onie) sempat bertemu dengan E.R.Herewila di Jalan Gotong-Gotong Makassar, mama Onie juga menceritakan dengan bangganya bagaimana dia menyaksikan secara langsung tentang sepak terjang pamannya tersebut, mengingat ia adalah benar-benar pejuang yang memimpin anak buah melawan kekuasaan Belanda (agresi Belanda ) di Makassar bahkan termasuk dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh Kapten Westerling, pimpinan pasukan belanda di Makassar yang terkenal ganas dan sadis yang mana konon membunuh 10.000 rakyat Sulawesi Selatan ( Cek di tulisan  >> https://wordpress.com/post/nickywritehistory.wordpress.com/48

Melawan Kolonial di Kupang

Dalam suatu rapat raksasa bersejarah di Lapangan Airnona yang dihadiri lebih kurang 6.000 orang (masih menurut buku Autobiografi I.H.Doko), pada kesempatan tersebut tampil para pembicara antara lain Th.Messakh dan E.R.Herewila yang inti pidatonya “mengecam keras aksi militer Belanda pada tanggal 19 Desember 1948”, akibatnya militer Belanda harus membubarkan paksa rapat raksasa tersebut dan kemudian dikeluarkan Surat Perintah penangkapan terhadap pejuang E.R.Herewila dan kawan-kawan, namun rakyat mengancam apabila E.R.Herewila dan kawan-kawannya tersebut ditangkap, maka rakyat akan melakukan aksi besar-besaran secara serentak. Ancaman rakyat ini menyebabkan pembatalan pelaksanaan perintah penangkapan terhadap E.R.Herewila dan kawan-kawan.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Daerah Timor dan Kepulauannya, pada tanggal 29 April 1949 dilakukan pemilihan anggota DPRD pada Oktober dan November 1949. Hasilnya terpilih 28 orang Anggota DPRD Timor dengan E. R. Herewila ditetapkan sebagai Ketua DPRD dan Th. Messakh sebagai Wakil Ketua. Sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan atas nama Rakyat , E.R.Herewila membuat Resolusi Rakyat Timor dan Kepulauannya yang isinya antara lain “Mendesak Pemerintah untuk menghapus NIT dengan UU Darurat dan meleburnya ke dalam Republik Indonesia serta daerah Timor dan Kepulauannya dijadikan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia” (23 Maret 1950).

Lalu pada tahun 1958, E.R. Herewila dipilih sebagai Anggota DPR-Peralihan mewakili Partai PNI tapi kemudian oleh Presiden Soekarno DPR-Peralihan ini dibubarkan melalui Tap Presiden No. 3 tahun 1960 tanggal 5 Maret 1960.

Herewila pun pernah terpilih menjadi anggota MPRS pertama (1960—1965), dan ikut bersama-sama membuat 2 (dua) Tap keputusan MPRS penting yakni TAP MPRS No.1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik dan TAP MPRS No.2/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap tahun 1961—1969.

Pasca-Kemerdekaan, Herewila juga mengikuti Konferensi Asia Afrika (KAA) pertama di Bandung (18—25 April 1955) dan di Jakarta yang dihadiri 29 Negara.

Pada 5 April 1961, Herewila menjabat sebagai Anggota Front Nasional, lalu tahun 1964, diangkat sebagai Ketua Konsolidasi Partai-partai Politik di NTT, kemudian diangkat sebagai Penasihat Persatuan Inteligensia Kristen Cabang Kupang, dan pada tahun 1965 diangkat menjadi Penasihat Kesatuan Buruh Marhaenis.

Ditetapkan sebagai Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia

Masa Perjuangan Herewila berlangsung mulai dari Perjuangan Revolusi Fisik sejak Pra-Kemerdekaan sampai dengan perjuangan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memakan waktu lebih kurang 40 (empat puluh) tahun (1930—1969).

Di kemudian hari atas jasa-jasa kepahlawanannya, Pemerintah menetapkan E.R.Herewila menjadi Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia berdasarkan SKEP No. Pol.105/63/PK.

Elisa Rame Herewila meninggal dunia dalam usia 63 tahun pada 21 Desember 1969 di Kupang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Dharma Loka Kota Kupang.(*)

Sumber data : Buku Pahlawan Nasional I.H.Doko Berjuang Hingga Akhir, Ensiklopedia NTT serta catatan tentang E.R.Herewila di Google.

Penulis: Nicky Uly

Editor (+roni banase)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *