Selamat Jalan Papa (Bagian 1)

Humaniora0 Dilihat

Loading

Oleh: Roni Banase

Tak mudah memulai dan menorehkan tulisan menyangkut kepulangan Papa tercinta ke ribaan Sang Pencipta. Butuh beberapa waktu sejak meninggalnya Papa Paulus Banase pada Minggu pagi, 19 Februari 2023, usai memuji dan memuliakan Tuhan di Kapela Naiola, Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Sebelumnya, menurut penuturan adik, Papa sempat menghubungi setiap anak hasil perkawinannya dengan istri tercinta, Lintje Mooy, seorang perempuan hebat asal Pulau Rote pada Desember 1974 silam dan pada Minggu, 19 Februari 2023 sekitar pukul 11.13 WITA, Mama Mooy (sebutan sayang dari anak-anak untuk Mama), mengedor pintu rumah tua di Jalan Nangka Gang Tanjakan RT 05 RW Kelurahan Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang.

“Halo, halo. Ini orang dong pasti masih tidur,” sebut Mama Mooy. Terdengar sayup dari kamar tempatku tidur. 3 (tiga) hari sebelumnya, saya pun sempat sakit dan susah tidur. Entah mengapa? Memperoleh mimpi buruk hingga lolongan Covid (anjing peliharaan) pada sekitar pukul 3—4 subuh.

Dengan tergopoh-gopoh dan sempoyongan, saya membuka pintu lalu disambut suara sendu Mama Mooy. “Kalian, anak-anak jangan menangis ya!” serunya. Ada apa gerangan? Masih dalam keadaan mengantuk, saya berupaya menebak, namun tak sempat menggapainya, Mama Mooy pun melanjutkan, “Bapa sudah meninggal!”

Bagaikan antara percaya dan tak yakin, saya terduduk lemas di kursi ruang tamu sembari berupaya menahan tangis. Kepergian Papa secara tiba-tiba ibarat mendapatkan kabar hoaks. 2 (dua) minggu sebelumnya, Papa sempat meminta untuk menjual Covid dengan alasan hendak membersihkan areal fondasi rencana pembangunan rumah mazbah penyembahan kami kepada-Nya. Namun, tak saya indahkan.

Sejurus kemudian, benak ini melalang buana ke beberapa panggilan telepon dari Papa saat saya sementara bertugas di luar kota. Entah itu di Bali, Jakarta, Medan, Semarang dan di Labuan Bajo. Sosok pria yang menggapai usia 75 tahun itu selalu setia menelepon dan sekadar menanyakan progres pekerjaan hingga organisasi IMO Indonesia dan Pemerhati Jurnalis Siber (PJS), tempat saya mengembangkan karakter kepemimpinan.

Lalu dijeda oleh Mama Mooy, dengan berkata, “Roni siap diri sudah ya, kita segera berangkat ke Kefa!” Papa, sebelum meninggal, selalu mengingatkan kami agar saat beliau meninggal, dapat dikebumikan di desa tempatnya dibesarkan, desa yang dialiri oleh sungai Noemuti dan merupakan salah satu penghasil galian C terbesar di Kabupaten TTU.

Dan ironisnya, kepergian Papa bersamaan momentum dengan fenomena “Gunung Pindah” longsor bukit di Takari, Kabupaten Kupang (perbatasan Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS]) pada Jumat, 17 Februari 2023. Kondisi tersebut, melumpuhkan sementara arus lalu lintas. Kami sekeluarga pun terdampak, tak bisa membawa beberapa mobil untuk mobilisasi saat di Desa Naiola.

Terpaksa, kami (Mama Mooy, kakak-adik, menantu dan cucu) memakai bus Pemprov NTT hingga ke Takari, kemudian estafet memakai bus ke Kefa. Kondisi di Takari pada 19 Februari 2023 sekitar pukul 16.25 WITA, sementara  crowded, berseliweran sekitar 5 (lima) eksavator berupaya menggali dan memindahkan gundukan tanah hingga membuka akses jalan. Kami pun harus berjalan kaki sekitar 1,2 km seraya menggendong barang bawaan.

Tiba di SoE, ibu kota kabupaten TTS, bus yang kami tumpangi sejenak menepi mengisi solar kemudian serempak kami pun mampir ke Alfamart untuk sejenak mengisi lambung dengan mengonsumsi mie gelas, sereal, atau meneguk teh atau kopi. Dan saat, saya meng-update perkembangan longsor Takari pada grup Forum Pengurangan Risiko Bencana. Dikabarkan, akses jalan sementara dibuka dengan sistem buka tutup. Puji Tuhan!

Namun, saya pun terkesiap. Ada apa? Kalau saja kami sekeluarga dari Kupang sekitar pukul 18.00 WITA, maka dapat membawa mobil sendiri dan dapat melintas di Takari pada sekitar pukul 20.45 WITA. Ini pertanda bahwa Papa hendak menunjukkan kepada kami bagaimana beliau selalu menggunakan bus dari Kefa—Kupang pergi pulang. Perjalanan sekitar 4 (empat) jam baginya hal lumrah.

“Papa sonde capek ko?,” tanyaku dengan aksen Melayu Kupang kepadanya. “Papa bikin Kefa—Kupang kayak Kupang—Oesao,” tekanku kepadanya saat dirinya berkunjung sembari menanyakan progres penulisan buku “Agustinus Jatmiko—Jalan Terang Menuju NTT Sejahtera” (buku kisah perjalanan dan pengabdian General Manager PLN UIW NTT periode 2020—2022).

Ya, beliau memang sigap dan gesit pada umur begitu. Masih kuat berjalan kaki hingga berkilo-kilo, ke sawah berjalan kaki, dan selalu bangun pagi pada sekitar pukul 05.00 setiap hari..

Kembali kepada perjalanan kami ke rumah duka, tiba pada sekitar pukul 22.18 WITA, tampak telah terpasang tenda duka dan begitu banyak orang memadati areal halaman rumah tua kedua di Desa Naiola.

Kami pun bergegas berhamburan ke dalam rumah duka, dan satu per satu mulai menjerit dan menangis dengan berbagai ritme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar