Indikator Kependudukan Hasil LF SP2020 dan Potret Kesejahteraan Masyarakat NTT

Loading

Oleh: Yezua Abel, Statistisi BPS Provinsi NTT

Pada tahun 2022 tepatnya pada Juni, BPS melaksanakan Long Form Sensus Penduduk 2020 (LF SP2020). Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari SP2020 yang bertujuan memperkirakan jumlah, distribusi dan komposisi penduduk, memperoleh data untuk penghitungan parameter demografi serta memperbarui data yang akan digunakan dalam penghitungan proyeksi penduduk.

LF SP2020 merupakan survei dengan sampel terbesar sepanjang sejarah pelaksanaan survei di BPS. Survei ini penting dan strategis karena  menghasilkan berbagai indikator sebagai tolok ukur kondisi kependudukan di Indonesia. LF SP2020 juga memotret bagaimana kondisi kependudukan setelah melewati gelombang kedua pandemi Covid-19.

Jumlah penduduk NTT tahun 2020 hasil SP2020  meningkat menjadi 5,33 juta jiwa. Dalam periode 2010—2020 laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,25 persen per tahun atau mengalami perlambatan 0,82 persen poin dibanding periode 2000—2010 sebesar 2,07 persen. Komposisi penduduk sudah mengalami perubahan di mana kelompok umur muda 0—14 tahun mengalami penurunan, sementara kelompok umur produktif 15—64 tahun meningkat. Selain itu, proporsi penduduk lansia yang berumur 60 tahun ke atas juga ikut meningkat.

Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio) di NTT hasil LF SP2020 adalah 99,99 yang berarti jumlah laki-laki hampir sama banyak dengan perempuan. Angka  ketergantungan (dependency ratio) sebesar 55,05 persen yang berarti 100 penduduk usia produktif menanggung 55 penduduk usia nonproduktif; sementara itu proporsi penduduk lansia mencapai 9,36 persen.

Berikut disajikan beberapa indikator fertilitas, mortalitas, dan migrasi hasil LF SP2020 yang penting untuk diketahui.

Indikator Fertilitas

Angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) Provinsi NTT sebesar 2,79 yang berarti rata-rata jumlah anak yang dilahirkan hidup oleh seorang perempuan selama usia subur (15—49 tahun) sebanyak 3 orang. Angka ini sudah jauh menurun jika dibanding dengan TFR SP2010 sebesar 3,82. Target TFR dalam RPJMD Provinsi NTT tahun 2023 ditetapkan 2,60, karena itu masih perlu upaya untuk mencapai target pembangunan yang telah ditetapkan.

TFR Provinsi NTT merupakan yang tertinggi di Indonesia, sedangkan TFR Provinsi DKI Jakarta yang terendah sebesar 1,75. Pada tingkat kabupaten/kota di NTT, Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki TFR tertinggi sebesar 3,58 sedangkan Kabupaten Ende memiliki TFR terendah 2,14.

TFR Indonesia sebesar 2,18 sudah mendekati replacement level yang merupakan kondisi kependudukan dengan pertumbuhan seimbang atau stagnan di mana seorang wanita  digantikan oleh satu anak perempuannya demi menjaga kelangsungan pergantian generasi.

PBB (2007) menetapkan suatu negara akan mencapai replacement level apabila mencapai TFR 2,1.  Target TFR Indonesia dalam RPJMN tahun 2024 sebesar 2,1 akan segera tercapai bahkan terlampaui karena semakin banyak provinsi dengan TFR yang  melampaui level tersebut.

Angka kelahiran menurut kelompok umur tertentu (average specific fertility rate/ASFR) berada dibalik penurunan TFR.  ASFR adalah banyaknya kelahiran selama setahun per 1000 perempuan pada kelompok umur 15-49 tahun. Puncak ASFR berada pada kelompok umur 25-29 tahun sebesar 148,0  kemudian 30-34 tahun sebesar 143,2.  Pada kelompok umur 15-19 tahun terjadi penurunan yang cukup tajam dari 45 pada tahun 2010 menjadi 27,93.

Penurunan angka fertilitas remaja (ASFR umur 15–19) yang cukup cepat disebabkan oleh pendewasaan usia perkawinan perempuan 19 tahun ke atas yang mendorong penurunan total kelahiran. Partisipasi perempuan pada pendidikan menengah dan tinggi serta dalam dunia kerja juga meningkat.

Angka kelahiran kasar (crude birth rate/CBR) Provinsi NTT juga ikut menurun menjadi 22,02 yang berarti terdapat 22 kelahiran hidup di antara 1000 penduduk. Pada tahun 2010, CBR Provinsi NTT sebesar 22,3. Kabupaten dengan CBR terendah adalah Sikka sebesar 16,28 sedangkan yang tertinggi adalah Sumba Barat Daya sebesar 25,40.

Penurunan angka TFR tidak terlepas dari upaya pemerintah melalui program KB yang sudah dicanangkan sejak tahun 1970 yang didukung oleh peningkatan pelayanan kesehatan secara luas. Saat pandemi mulai merebak di tahun 2020, banyak pihak mengkhawatirkan akan terjadi ledakan penduduk karena menurunnya penggunaan alat kontrasepsi dan pelayanan kesehatan selama masa pandemi.

Hasil LF SP2020 menunjukkan bahwa Indonesia dan provinsinya sudah berhasil melewati gelombang kedua pandemi Covid-19 tanpa ledakan penduduk. Tampaknya banyak keluarga yang   menunda kehamilan akibat resesi ekonomi yang tidak mungkin terhindarkan. Namun setelah pandemi tetap perlu diwaspadai ledakan penduduk karena disparitas TFR yang cukup tinggi antarkabupaten/kota di NTT.

Indikator Mortalitas

Tren angka kematian bayi (infant mortality rate/IMR) di Provinsi NTT juga terus menurun dari 39 per 1.000 kelahiran hidup pada SP2010 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup pada LF SP2020. Di tingkat kabupaten/kota, IMR paling rendah di Kota Kupang sebesar 15,21 sedangkan IMR yang paling tinggi di Sabu Raijua sebesar 44,37. Penurunan IMR didukung oleh peningkatan persentase bayi yang mendapat imunisasi lengkap serta peningkatan rata-rata lama pemberian ASI yang membuat bayi semakin mampu bertahan hidup.

Angka kematian ibu (maternal mortality rate/MMR) di Provinsi NTT hasil LF SP2020 masih tinggi sebesar 316. Hal ini berarti terdapat 316 kematian perempuan pada saat hamil, saat melahirkan, atau  pada masa nifas per 100.000 kelahiran hidup.  MMR Provinsi NTT berada pada posisi ketiga tertinggi di bawah Papua dan Papua Barat yang masing-masing sebesar 565 dan 343.

Angka kematian anak 1—4 tahun (child mortality rate/CMR) di Provinsi NTT adalah 5,05 yang berarti terdapat sekitar 5 kematian anak berusia 1—4 tahun per 1000 anak 1—4 tahun. Angka kematian balita (under 5 mortality rate/U5MR) 30,72 yang berarti 30—31 anak balita tidak akan mencapai umur tepat 5 tahun per 1000 anak balita di NTT.

Kasus kematian ibu, bayi dan balita  menjadi masalah serius yang dihadapi Pemerintah Provinsi NTT. Untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi, maka setiap ibu harus mendapat akses  pelayanan kesehatan kehamilan yang berkualitas, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, perawatan khusus dan rujukan apabila terdapat komplikasi, serta pelayanan KB. Kematian bayi atau balita tidak terlepas dari status gizi buruk. Selain program pemberian makanan tambahan, Pemerintah Provinsi NTT juga telah berupaya mendorong konsumsi sejumlah pangan lokal seperti kelor yang kaya protein.

Migrasi

Proporsi penduduk berstatus migran seumur hidup hasil LF SP2020 sebesar 3,77 yang berarti sekitar 4 dari 100 penduduk NTT lahir di provinsi lain. Hal ini juga berarti penduduk di Provinsi NTT masih didominasi oleh suku asli atau nonmigran.

Angka migrasi neto seumur hidup antarkabupaten/kota adalah perbandingan selisih antara jumlah migran masuk seumur hidup antarkabupaten/kota dan  migran keluar seumur hidup antarkabupaten/kota per 100 penduduk yang berpeluang bermigrasi pada suatu kabupaten/kota.

Tiga kabupaten/kota dengan angka migrasi neto seumur hidup antarkabupaten/kota tertinggi di NTT adalah Kota Kupang, Belu, dan Lembata yakni 33,80; 8,96; dan 1,57. Hal ini mengindikasikan bahwa migrasi berkontribusi positif terhadap pertumbuhan penduduk di ketiga kabupaten/kota tersebut. Migran yang masuk umumnya untuk melanjutkan pendidikan, bekerja untuk  memperbaiki taraf hidup di kota atau daerah tujuan migrasi.

Sementara Kabupaten Ende, Flores Timur, dan Sabu Raijua memiliki angka migrasi neto seumur hidup antarkabupaten/kota terendah di Nusa Tenggara Timur yakni -11,65; -17,87; dan -17,93.

Hal ini memperlihatkan bahwa lebih banyak migran seumur hidup yang berpindah keluar daripada yang masuk di ketiga kabupaten/kota tersebut. Faktor pendorong migran ke luar daerah umumnya karena sulitnya lapangan pekerjaan di daerah asal.

Proporsi penduduk berstatus migran risen antarkabupaten/kota adalah banyaknya penduduk 5 tahun ke atas di suatu kabupaten/kota yang lima tahun sebelumnya bertempat tinggal di kabupaten/kota lain per 1000 penduduk. Pada tahun 2022, sekitar 2 dari 100 penduduk Nusa Tenggara Timur yang berumur 5 tahun ke atas bertempat tinggal di provinsi lain 5 tahun sebelumnya.

Kabupaten Sikka, Flores Timur, dan Belu merupakan tiga kabupaten dengan angka migrasi neto risen antarkabupaten/kota tertinggi di Nusa Tenggara Timur. Dalam periode 2017—2022, terdapat penambahan 2—6 orang per 100 penduduk di ketiga kabupaten/kota tersebut karena migrasi masuk.

Kabupaten Sumba Barat, Malaka, dan Kupang merupakan tiga kabupaten dengan angka migrasi neto risen antarkabupaten/kota terendah di Nusa Tenggara Timur. Angka migrasi neto risen di ketiga kabupaten/kota tersebut bernilai negatif yang menunjukkan bahwa migran keluar lebih banyak dibandingkan migran yang masuk pada periode 2017—2022.

Potret Kesejahteraan Masyarakat NTT

Perekonomian NTT pascapandemi sudah mulai membaik dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 meningkat sebesar 3,05 dibanding tahun 2021 sebesar 2,52 persen. Namun belum sebaik sebelum pandemi yang mencapai 5,25 persen pada tahun 2019.

Pada tahun 2022 persentase penduduk miskin menjadi 20,05 persen lebih rendah dibanding tahun 2021 sebesar 20,99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengentasan kemiskinan sudah berjalan meskipun belum dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan.

Jumlah penduduk miskin di Provinsi NTT tahun 2022 berjumlah 1,149 juta orang, sedikit meningkat dibanding tahun 2021 sebanyak 1,146 juta.  Pada tahun 2017—2020  jumlah penduduk miskin berfluktuasi yakni masing-masing 1,134 juta; 1,142 juta; 1,129 juta; dan 1,174 juta. Jumlah penduduk miskin terkonsentrasi di perdesaan sekitar 88,5 persen sedangkan di perkotaan hanya 11,5 persen. Jadi sebagian masyarakat terutama di perdesaan masih belum sejahtera.

Tingkat kesejahteraan dan tingkat kelahiran serta kematian di suatu wilayah bisa sangat kompleks dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan kebijakan publik. Kesejahteraan masyarakat umumnya merujuk kepada kondisi dan kualitas hidup penduduk di suatu daerah. Ini mencakup akses terhadap berbagai layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pendapatan yang layak.

Tingkat kelahiran umumnya akan menurun apabila penduduk memiliki akses yang baik terhadap berbagai layanan dasar tersebut. Sedangkan tingkat kematian tinggi bisa disebabkan oleh akses terbatas terhadap layanan kesehatan, gizi yang buruk, sanitasi yang buruk, dan kondisi lingkungan yang berbahaya.

Data dan indikator kependudukan hasil LF SP2020 sangat berguna bagi Pemerintah untuk merancang program dan kebijakan serta monitoring dan evaluasi pencapaian program di bidang kependudukan untuk peningkatan dan kualitas hidup penduduk. Selain itu diperlukan program pemerataan pembangunan wilayah termasuk pembangunan infrastruktur yang terintegrasi untuk mengurangi disparitas antarwilayah.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *