Pesan di Balik Tarian Hodi Deket, Tarian Sambut Pj Gubernur NTT

Loading

Oleh : Karolus Kopong Medan

Tarian Hodi Deket ditampilkan Sanggar Sole Oha di bawah pimpinan Daniel Lebu Raya pada penjemputan Penjabat Gubernur Provinsi NTT, Ayodhia Gehak Lakunamang Kalake pada Jumat, 8 September 2023 di aula El Tari Kupang.

Lantas, apa makna dari Tarian Hodi Deket?

Video : Tarian Hodi Deket, tarian penyambutan Penjabat Gubernur NTT Ayodhia Kalake

https://vt.tiktok.com/ZSLwd8yWh/

Tarian Hodi Deket merupakan perpaduan antara dua jenis tarian tradisi Lamaholot, yaitu tarian Hedung (tarian perang) dan tarian kolosal Sole Oha yang melibatkan sekelompok orang baik laki-laki dan perempuan sebagai pemain. Mereka sambil berpegangan tangan dan menghentakkan kaki diiringi bunyi giring-giring (bolong) dan lantunan syair-syair adat oleh beberapa penutur yang memiliki keahlian khusus.

Perpaduan kedua tarian tradisi Lamaholot tersebut dimaksudkan untuk memberikan pesan kepada khalayak dan terkhusus kepada tokoh yang dijemput, dalam hal ini Penjabat Gubernur NTT Odhi Kalake yang dipersonifikasikan sebagai seorang deket (pemimpin hebat, pemberani), yang setidak-tidaknya memiliki jiwa kesatria dan terus berupaya menanamkan nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan dan kekompakan dengan berbagai elemen masyarakat dalam membangun daerah.

Oleh karena pesan yang ingin diwartakan seperti itu, maka Daniel Lebu Raya selaku pimpinan Sanggar Sole Oha dan sekaligus sebagai kreator Tarian Hodi Deket berusaha memadukan tarian Hedung dan tarian kolosal Sole Oha.

Tarian Hedung dimaksudkan untuk menampilkan pesan keberanian atau ksatria, sedangkan tarian kolosal Sole Oha lebih menonjolkan semangat kekompakan, kebersamaan dan persaudaraan.

Tarian Hodi Deket yang ditampilkan oleh Sanggar Sole Oha itu merupakan sebuah hasil kemasan baru. Selama ini, dalam event-event seperti ini lebih banyak ditampilkan aspek heroiknya melalui tarian Hedung (tarian perang). Padahal ada sisi lain yang terkadang diabaikan yaitu nilai-nilai persaudaraan, kekompakan dan kebersamaan yang juga sangat penting sebagai modal sosial dalam membangun negeri.

Tarian Hodi Deket kemasan baru yang ditampilkan ini sekaligus mau mengubah persepsi orang luar tentang watak orang-orang Lamaholot, terkhusus orang Adonara yang cenderung keras, suka berkonflik, dan bahkan berperang tanding saling membunuh.

Orang Lamaholot sesungguhnya juga memiliki watak yang sangat humanis dan selalu mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, kekompakan dan persaudaraan dalam berbagai situasi, baik situasi suka maupun situasi duka.

Tatanan Tarian Hodi Deket

Dalam tarian Hodi Deket biasanya diawali dengan sejumlah seremoni adat, seperti behin-baun (menyuguhkan minuman tuak), golo tutun (memberi lintingan rokok dari daun lontar), ore wua warak (menyuguhkan siri pinang), dan seremoni loge boren (penyematan sarung tenunan Lamaholot).

Seremoni adat behin baun tuak (menyuguhkan minuman tuak), dalam wujud yang nyata merupakan salah satu bentuk ekspresi dari nilai persaudaraan, kebersamaan dan kekompakan. Dengan meminum tuak dari sumber yang sama dan dari cawan yang sama, maka “Sang Tokoh” diajak untuk terus memupuk nilai-nilai utama tersebut dalam memimpin dan membangun negeri (daerah).

Selain itu, seremoni adat behin baun tuak ini juga mengandung nilai sakral ala Lamaholot untuk menghadirkan dan mengikutsertakan Tuhan (Dewa Rerawulan Tanaekan) dan Leluhur (Koda Kewokot) dalam berbagai aktivitas, termasuk dalam mengawali kepemimpinan “Sang Tokoh”. Simbol kehadiran dan keikutsertaan Tuhan dan Leluhur itu ditandai dengan penuangan sedikit minuman ke tanah sebelum meminumnya.

Seremoni adat golo tutun (memberi lintingan rokok dari daun lontar) dan ore wua warak (menyuguhkan siri pinang) lebih sebagai simbol penyatuan, menyatukan berbagai hal yang berbeda seperti suku, agama dan ras. Termasuk juga menyatukan dan menyelaraskan sikap tindak dan pola pikir agar seirama, sehati dan sesuara (one tou kirin ehan) dalam membangun negeri.

Pola pikir dan pemahaman orang Lamaholot yang demikian itu dapatlah dimengerti, karena sadar atau tidak, tembakau (kebako) dan irisan daun lontar (koli) yang disatukan membentuk lintingan rokok, ketika dibakar dan dihisap hanya mengeluarkan asap dengan warna yang sama. Demikian pula siri (malu), pinang (wua), kapur (apu), gambir (gabe), dan tembakau (kebako) dengan warna yang berbeda-beda tetapi ketika disatukan dan dikunyah dalam mulut akan menghasilkan satu wara, yaitu merah maron.

Seremoni adat loge boren dengan menyematkan sarung tenunan Lamaholot ke pundak Sang Tokoh atau pemimpin yang dijemput bukan hanya sekedar pemberian hadiah, melainkan sebagai simbol yang memberi pesan kepada sang pemimpin harus bisa mendengarkan dan merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Sang pemimpin juga harus bisa merasakan hangat tidaknya balutan sarung yang sama seperti yang dimiliki oleh masyarakat.

Seremoni ini pun mau mengingatkan kepada Sang Pemimpin untuk selalu mendengar dengan sungguh-sungguh cermat beban penderitaan, keluh-kesah, keinginan dan harapan dari warga masyarakat yang dipimpinnya.(*)

Penulis merupakan salah satu personil Sanggar Sole Oha dan Peneliti Budaya Lamaholot

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *