Jokowi Takutlah Kutukan Rakyat

Loading

Oleh : Septian Raharjo

Menyimak keributan soal pernyataan Jokowi, bahwa presiden boleh kampanye dan memihak. Banyak orang kecewa. Unfollow akun Jokowi dilakukan besar-besaran. Jumlahnya sampai jutaan.

Orang-orang baru paham, oh ternyata Jokowi memang sebar-bar itu. Pengkultusan yang dilakukan selama sepuluh tahun, roboh sudah.

Orang-orang baru mengerti, ternyata inilah sosok Jokowi yang sebenarnya. Berita miring yang dulu ditutup-tutupi, terbuka sudah.

Memang ada banyak sanggahan, baik dari istana atau dari PSI. Tapi semua itu tidak cukup. Mereka tak bisa mengobati kekecewaan publik.

Alasan bahwa Jokowi melaksanakan Undang-Undang itu klise. Dan jelas itu melanggar etika. Karena maksud dari Undang-Undang Pemilu No. 7 tahun 2017 sebenarnya bukan begitu.

Kalau Jokowi seorang petahana, kemudian kampanye untuk dirinya dan partainya, itu boleh. Itu yang dimaksud undang-undang. Karena dia terpaksa melakukannya.

Tapi ketika Jokowi sudah dua periode kemudian kampanye untuk anaknya, itu namanya amoral. Itu namanya aji mumpung.

Mungkin itu tidak melanggar undang-undang, tapi itu tidak pantas dan memalukan.

Presiden punya menteri, punya tentara, punya polisi, punya kejaksaan, punya BUMN, semua itu akan bergerak terang-terangan kalau presiden memihak pada orang selain dirinya.

Tanpa diperintah pun mereka akan begitu. Karena itu tabiat bobrok birokrasi kita. Mereka tidak memikirkan rakyat, tapi sibuk menafsirkan maksud Pak Lurah.

Maka kalau presiden gak maju lagi, ya jangan kampanye dan memihak. Jadilah negarawan. Berikan dukungan dengan porsi yang seimbang. Atau jauh-jauh dan mengawasi dari belakang.

Sampai segitu kah syahwat ingin berkuasa lagi?

Kemudian persoalan yang kedua, presiden harus cuti kalau kampanye. Masalahnya, mekanismenya bagaimana? Presiden harus izin pada dirinya sendiri? Terus cutinya sampai berapa lama? Negara mengalami kekosongan kekuasaan dong?

Kalau memang cutinya hanya saat kampanye, memangnya Paspampres itu tidak dibiayai negara? Memangnya kendaraan dan logistiknya tidak ditanggung negara? Memangnya Presiden mau naik bajai dan ongkos sendiri?

Jadi, memahami undang-undang itu memang harus pakai akal sehat. Pakai nurani. Jangan pakai syahwat politik.

Itu kan semacam diskresi. Presiden dan menteri diberikan sedikit kelonggaran untuk kampanye, kalau itu berkaitan dengan dirinya atau partainya.

Tapi kalau presiden dan menteri kampanye untuk orang lain, otaknya di mana? Sudah sesakit itukah Indonesia?

Kelonggaran itu jangan dijadikan pembenaran dari nafsu politik. Ngurus negara jauh lebih penting dari kampanye.

Sebisa mungkin itu harus dihindari.

Ini kan enggak. Presiden koar-koar bahwa dia dan menterinya boleh kampanye dan memihak. Kan giblik bingit.

Lagi pula, Jokowi udah dukung anaknya habis-habisan. Pakai BLT dan bansos. Mengerahkan aparat dan BUMN. Sudah begitu tak bermoral, masih kurang ya? Mau dilakukan terang-terangan ya?

Persoalan kampanye dan pemihakan presiden itu kan sebenarnya sederhana. Gak perlu pakai alasan klise menaati undang-undang. Berpikir saja secara rasional, pantas gak itu dilakukan?

Kalau bilang pantas, berarti kadar etikanya dipertanyakan. Moralnya pasti minim. Biasanya begitulah prinsip seorang oportunis dan berjiwa korup. Etika bukan sesuatu yang penting. Apalagi rakyat.

Ingat pesan Gus Dur, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.”

Sehebat-hebatnya Soeharto, usia juga yang membatasi kediktatorannya. Jokowi mau ikut-ikutan menghalalkan segala cara?

Tiga periode, gagal. Perpanjangan masa jabatan, gagal. Sekarang mau kembali berkuasa lewat Gibran?

Takutlah kutukan rakyat. Kekuasaan itu bisa membuat kualat. Bahkan ketika sudah mati, namamu akan dicaci dan dihujat.

Astha Yudhana. (*)

*/Disadur dari akun Twitter @Gus_Raharjo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *