Manusia Punya Kehendak Berkuasa (Sebuah Refleksi Filosofis)

Loading

Oleh : Novilus Uropmabin

Dunia dewasa ini diwarnai dengan kemunafikan, hedonisme, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sesuatu hal yang lumrah bagi kehidupan manusia.

Bagi manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etis dianggap ketinggalan zaman,  masih berpikir primitif dan berbagai macam stigma lainnya. Membicarakan kehendak manusia untuk berkuasa bukanlah sesuatu yang rahasia lagi karena inilah realitas hidup sehari-hari.

Kekuasaan diselubungi oleh kemunafikan yang bermuara pada kehancuran kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga, komunitas, institusi, dan pada umumnya masyarakat modern.

Membicarakan manusia memiliki hasrat untuk berkuasa, kita bisa melihat fenomena politik di negara Republik Indonesia. Para elite politik mengumbar janji di mimbar kampanye guna mendapatkan suara dari rakyat. Namun setelah mereka duduk di kursi kekuasaan, mereka lupa diri dan melantarkan rakyatnya.

Tak hanya itu saja, ketika mereka menjabat, mereka melakukan korupsi atas uang rakyat demi memperkaya diri sendiri, menutup diri atas realitas kemiskinan, krisis kemanusiaan dan lain sebagainya.

Dalam majalah Gita Sang Surya madah persaudaraan semesta Abdul Moqsith Ghazali (Eras Baum,OFM) 2012. merefleksikan bahwa berada di titik seperti ini bisa dapat kita katakan seperti Thomas Hobbes (1588-1679) Homo homini lupus/manusia menjadi serigala bagi sesamanya.

Mengapa?

Karena pada dasarnya di dalam diri manusia berdiam hasrat untuk menindas, hasrat untuk berkuasa, memiliki hasrat untuk melihat orang lain sebagai yang asing, objek semata, sebagai ancaman, bukan manusia atau lebih rendah dari pada manusia. Dalam kenyataan hidup seperti ini, orang lain menjadi korban, ditelanjangi martabatnya sebagai manusia.

Sangatlah kejam kehidupan ini, meskipun dalam teori sosiologi mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak hidup hanya seorang diri tetapi ada bersama yang lain.

Konsep kehendak untuk berkuasa

Melihat kembali latar belakang kehidupan saat ini, kita sudah berada di zaman yang tidak memberikan kepastian hidup yang lebih harmonis, damai dan sejahtera. Karena banyak persoalan yang terjadi dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, kita berada dalam bayang-bayang kematian jika tidak merefleksikan diri atas realitas hidup saat ini.

Apabila kita tidak merancang suatu masa depan yang lebih baik dari kenyataan saat ini, maka otomatis kita akan terus menghadapi suatu krisis moral akibat dari oknum-oknum yang mengedepankan kepentingan pribadinya atau memiliki hasrat untuk berkuasa tanpa melihat penderitaan orang lain di sekitar.

Oleh sebab itu, dalam menyikapi fenomena atas kehendak untuk berkuasa oleh oknum-oknum tertentu di belakangan ini dapat dilihat dari sudut pandang pemikiran filosofis Friedrich Nietzsche, seorang Filsuf Jerman yang hidup di akhir abad ke-19.  Ia berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yaitu kehendak untuk berkuasa (the will to power). Konsep Nietzsche dalam kehendak untuk berkuasa lebih lanjut diuraikan oleh Reza Wattimena dalam buku filsafat anti-korupsi, membedah hasrat kuasa, pemburuan kenikmatan, dan sisi hewani manusia di balik korupsi (2012). Wattimena mengangkat situasi kehidupan politik dan korupsi di Indonesia untuk menyikapinya dengan konsep atau pemikiran Nietzsche adalah salah satu konsep yang menarik perhatian banyak orang pada zamannya. Melihat dari latarbelakang konsep ini bisa dapat dikategorikan sebagai pemikir naturalistis yakin melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiah atau mirip dengan hewan maupun makhluk hidup lainnya.

Lebih lanjut, Wattimena mengutip sebagaimana dicatat oleh Porter, yakni 3 (tiga) poin penting yang menjadi pengertian tentang kehendak untuk berkuasa dalam mewarnai pemikiran Nietzsche adalah sebagai berikut: 1. Kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas. 2. Sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas. 3. Sebagai realitas itu sendiri apa adanya.

Ketiga makna di atas dapat disingkat menurut bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim” kekuasaan yang paling tirani tak punya pertimbangan dan tak dapat dihancurkan dalam diri manusia. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa.

Konsep kehendak untuk berkuasa menurut hemat saya adalah dilihat sebagai simbol dari kritik terhadap masyarakat modernitas yang memasung manusia menjadi objek semata. Jadi dengan konsep kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar rahasia terdalam kemunafikan manusia modern yang berpura-pura menaati hukum dan moral tetapi di sisi lain menjadi gelap untuk berkuasa bagi orang lain.

Maka siapa yang bertarung dengan monster? Harus melihat bahwa ia sendiri tidak menjadi monster. Dan ketika kamu melihat dalam waktu lama ke dalam jurang yang kosong, jurang tersebut melihat kembali kepadamu, demikianlah tulisan Nietzsche.

Inilah gambaran orang-orang munafik yang ingin berkehendak untuk berkuasa, yang berkuasa atas nama moralitas atau nilai-nilai kebaikan. Karena itu berbicara tentang sisi gelap manusia, kehendak untuk berkuasa memang bisa langsung diacu, tetapi dengan kata lain akar dari sisi gelap manusia yang bersifat subyektif adalah merusak. Dalam hal ini, menurut Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa yang ada di dalam diri setiap manusia, sekaligus merupakan daya gerak dari dunia dan kehidupan itu sendiri.

Apa yang kita lakukan sebagai manusia?

Berhadapan dengan semuanya itu, yang perlu kita lakukan adalah mengenali sisi gelap dan menerima kehendak untuk berkuasa sebagai bagian dari diri kita dalam kehidupan ini. Sebab menyangkal adalah hanya berbuah pada ketakutan dan kemunafikan, kemudian nantinya bermuara pada kejahatan.

Jadi dalam tafsirnya Nietzsche kehendak untuk berkuasa bukan untuk diingkari, melainkan untuk diraih, dirayakan, dan digunakan untuk mencipta, bukan untuk bertindak mengobjekkan orang lain. Dengan kata lain kehendak untuk berkuasa adalah energi yang mendorong manusia untuk menciptakan peradaban baru selesai dengan kontekstual atau berkuasa untuk menciptakan sesuatu yang berdaya guna untuk semua orang bukan untuk diri sendiri.

Jadi, kehendak untuk berkuasa merupakan akar dari destruksi dan kreasi demi kehidupan bersama, karena hidup yang dirayakan bersama orang lain adalah tidak akan pernah jatuh ke dalam pemutlakan nilai-nilai kejahatan tetapi nilai kebaikan itu sendiri. Oleh karena itu, kehendak untuk berkuasa harus ditafsirkan secara humanistis dan diterapkan secara indah. Artinya penerapan kehendak untuk berkuasa di dalam kehidupan harus memiliki aspek estetika yang tepat dan mendalam. Agar keindahan itu mencakup semua aspek kehidupan manusia termasuk rencana, tata kelola, evaluasi, sampai pada ciri fisik sampai dengan fungsi kontrol yang ada di dalam kekuasaan itu sendiri. Supaya tanpa meniadakan yang lain sekaligus tidak menyangkal sisi gelap terdalam manusia, tetapi menerima itu sebagai bagian dari diri sendiri dan alam semesta untuk terus merajut hidup serta merayakan kehidupan bersama orang lain di tengah-tengah dunia ini.(*)

*/Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura Jayapura Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *