Sengketa 20 Tahun, Gedung DPRD Nagekeo Akhirnya Lanjut Dibangun

Loading

Mbay | Penjabat Bupati Nagekeo, Raimudus Nggajo menoreh sejarah. Karena baru menjabat lebih kurang 6 (enam) bulan, ia sukses menyelesaikan satu persoalan besar yang mana dianggap tak mampu diselesaikan oleh 3 (tiga) bupati selama kurun waktu 20 tahun.

Persoalan yang sukses diatasi pria kelahiran Kekakodo, Bengga, Keo Tengah tersebut adalah penyerahan lahan milik Remi Konradus dari suku Lape di Pomamela , Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa, Nagekeo. Pada lahan tersebut sudah dibangun gedung DPRD Nagekeo yang mangkrak sejak tahun 2007 akibat sengketa hukum antara keluarga Remi Konradus dan Pemda Nagekeo.

Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia Kalake turut menghadiri penyerahan lahan pembangunan gedung DPRD Kabupaten Nagekeo bertempat di kantor Bupati Nagekeo pada Sabtu, 8 Juni 2024. Turut hadir mendampingi Staf Khusus Pj. Gubernur NTT Bidang Pertanian, Peternakan dan Perikanan Dede Herawan.

Ody Kalake (sapaan akrabnya Pj Gubernur NTT) menyampaikan apresiasi kepada semua pihak atas segala usaha dan kontribusinya dalam proses pembangunan gedung DPRD Kabupaten Nagekeo yang sempat tertunda.

“Pemerintah menaruh apresiasi dan menyambut baik sikap tulus dari saudara Remi Konradus sebagai pemilik tanah dan menyatakan sikap untuk mendukung lanjutan rencana pembangunan Gedung DPRD Kabupaten Nagekeo, sambil tetap membuka ruang kesepakatan untuk tetap diikuti dengan proses perhitungan harga tanah oleh pihak appraisal sesuai ketentuan aturan yang berlaku,” ucap Ody Kalake.

Kronologi sengketa lahan

Kronologi perkara sengketa lahan DPRD Nagekeo seluas 15.000 m2 (1,5 ha) sudah berlangsung lama (dilansir NTTOnlinenow.com). Pada awal 2008, Efraim Fao tiba-tiba menguasai lahan seluas 1,5 ha milik Remi Konradus di Pomamela , Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa, Nagekeo. Lahan tersebut dimiliki Remi Konradus atas pemberian Tetua Adat Kelurahan Lape , Kecamatan Aesesa, Nagekeo.

Efraim Fao lalu menjualnya kepada Pemkab Nagekeo. Mengetahui itu, Remi Konradus bersama kuasa hukumnya mendatangi Elias Djo sebagai bupati di kantornya untuk memberitahukan, bahwa lahan yang dijual Efraim Fao dengan surat perjanjian jual beli tertanggal 28 April 2008 itu adalah miliknya (Remi Konradus).

Namun, Bupati Djo seolah tak menggubrisnya, malah ia menyerahkan lahan itu ke pihak DPRD Nagekeo, dan oleh pihak DPRD Nagekeo kemudian membangun gedung DPRD yang sampai sekarang gedung itu tidak bisa digunakan.

Gedung DPRD Nagakeo yang dibangun di atas lahan Masyarakat Adat Lape, mandek pembangunannya. Foto : istimewa

Lalu, pada tahun 2009, Remi Konradus mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Bajawa dengan nomor Perkara Perdata No. 2/Pdt.G/2009/PN. BJW. Dalam gugatannya, penggugat menempatkan Efraim Fao sebagai tergugat I, Bupati Nagekeo Elias Djo sebagai tergugat II, dan Ketua DPRD Nagekeo waktu itu sebagai tergugat III.

Atas gugatan penggugat ini, Majelis Hakim PN Bajawa, pada 4 September 2009 dalam putusannya menerima gugatan penggugat dengan amar putusan (1) mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. (2) menyatakan tanah yang terletak di Kelurahan Lape, seluas 1,5 ha adalah tanah milik penggugat yang diperoleh atas penyerahan Ketua Lembaga Adat dan Ketua-ketua Suku dalam persekutuan Adat Lape. Selanjutnya, majelis hakim mengatakan, ditarik masuk dan didudukkannya Efraim Fao sebagai tergugat I, Pemerintah atau Bupati kabupaten Nagekeo sebagai tergugat II, Ketua DPRD Nagekeo sebagai tergugat III, adalah sah dan beralasan menurut hukum

Menurut majelis hakim, perbuatan Efraim Fao menyerahkan tanah milik penggugat seluruhnya maupun sebagiannya kepada tergugat II pada 28 April 2008 adalah benar-benar perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, perbuatan tergugat II (Bupati Nagekeo) menerima penyerahan tanah milik penggugat dari tergugat I (Efraim Fao) adalah benar -benar perbuatan melawan hukum pula. Karena perbuatan tergugat I dan II tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, maka perbuatan tergugat III yang membangun gedung DPRD Nagekeo atau membangun apa saja di atas tanah tersebut adalah benar-benar perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya ditegaskan, surat penyerahan tanah antara tergugat I sebagai penyerah dan Bupati Nagekeo (sebagai penerima) pada 28 April 2008 adalah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kedua pihak tergugat tidak menerima putusan PN Bajawa tersebut. Karena itu para tergugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, dengan nomor perkara 21/ PDT/2010. Pada 12 Juli 2010, PT Kupang memutus perkara tersebut dan menolak permohonan banding para tergugat.

Para tergugat tidak menerima putusan banding tersebut. Karena itu, selanjutnya para tergugat mengajukan kasasi dengan nomor perkara kasasi 1302 K/PDT/2011. Pada 6 Desember 2011, majelis kasasi memutus perkara itu dengan amar putusan menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi.

Selanjutnya para terggugat mengajukan PK, namun PK mereka juga ditolak. Diduga ada dua kerugian negara dalam kasus tersebut, yaitu pertama, Pemkab Nagekeo mengeluarkan uang untuk membeli lahan tersebut sebesar Rp 350 juta untuk lahan seluas 1,5 hektare itu. Kedua, DPRD Nagekeo membangun gedung DPRD dengan menelan biaya Rp10,3 miliar, namun sampai saat ini tidak bisa digunakan berdasarkan audit BPK.

Inti persoalan yang menyebabkan sengketa tersebut tidak pernah terselesaikan adalah sikap Pemda yang kokoh merujuk pada pernyataan Bupati Nagekeo, Elias Djo yang selalu mengatakan bahwa sesuai perhitungan dari lembaga apraisal, harga yang layak untuk tanah di Gedung DPRD Nagekeo senilai Rp 2,5 miliar. Namun pihak penggugat, kata Elias, menuntut Rp 20 miliar. (*)

Sumber (*/Indonesiasatu + sumber lain)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *