“Petani kecil di Timor Barat adalah tulang punggung pangan lokal, namun mereka justru berdiri di garis paling rapuh dalam menghadapi krisis iklim dan ketimpangan pembangunan” Direktur CIRMA, John Mangu Ladjar.
Kupang | CIRMA (Centrum Inisiatif Rakyat Mandiri) sebuah private foundation sekaligus sebagai organisasi masyarakat sipil di level sub-nasional, didirikan pada 2018, didedikasikan untuk mengkatalisasi perubahan positif pada komunitas miskin dan miskin ekstrem melalui program berbasis komunitas di bidang sanitasi, akses air bersih, keadilan iklim, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pertanian cerdas iklim dan pemberdayaan ekonomi. Bervisi Small Initiative, Big Impact, CIRMA mengawali inisiatif pemberdayaan komunitas miskin melalui kemitraan global sejak tahun 2019—2024, yakni dengan VITAMIN ANGEL America, SELAVIP CHILE Amerika Latin, New Zealand Embassy, Japan Water Fund dengan lokus program di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Sejak Desember 2024, CIRMA memperluas skala jangkauan program lintas kabupaten dalam kemitraan global bersama CJRF (Climate Justice Resilience Fund) – Amerika Serikat, melalui Program Empowering West Timor: Advancing Climate Justice and Community Resilience for Rural Smallholder Farmers, berdurasi tiga tahun. Sekema program ini fokus penerima – fokus lokasi, yakni 6.000 petani kecil di 30 desa di 14 kecamatan di 6 kabupaten/kota di daratan Timor.
Direktur CIRMA, John Mangu Ladjar pada sesi workshop penyelerasan program Empowering West Timor (EWT) bersama stakeholder di Hotel Harper Kupang pada Selasa, 20 Mei 2025 pukul 10:00 Wita—selesai, membeberkan bahwa para petani marginal tersebut telah bekerja keras menjaga lahan, benih, dan tradisi bertani — namun sering kali tanpa perlindungan yang memadai dari perubahan iklim, tanpa akses yang adil terhadap layanan, informasi, maupun pasar.
“Karena itu, pertemuan hari ini bukan sekadar agenda teknis, melainkan ruang bersama untuk membangun arah baru yang mana pemerintah, masyarakat sipil, dan mitra pembangunan bergandengan tangan menghadirkan perubahan yang berkeadilan bagi petani kecil,” tekan John Mangu Ladjar.
Pada perhelatan workshop ini pun dilakukan penandatanganan kesepakatan komitmen bersama atau commitment agreement antara CIRMA dengan Pemerintah Provinsi NTT, Bupati Malaka, Bupati Belu, Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Bupati Kupang, dan Wali Kota Kupang
Dibeberkan, John Mangu Ladjar, sejak Desember 2024 hingga April 2025, CIRMA mengunjungi 30 desa dan menjumpai 3.248 petani kecil, tinggal di rumah petani kecil, sambil menyelami kehidupan mereka. Dalam semua perjumpaan dengan petani kecil, CIRMA memetakan 8 tantangan klasik yang terus berulang dan membelenggu kemajuan petani kecil.
Kedelapan tantangan ini bukan hanya soal teknis, melainkan gambaran dari ketimpangan struktural dan absennya keadilan iklim di akar rumput.
1. Air Bertani: krisis air sebagai krisis produksi. Petani bergantung pada langit. Di daratan Timor, air bukan hanya soal irigasi, tetapi menyangkut keberlangsungan hidup komunitas. Variabilitas iklim menyebabkan musim tanam tak menentu dan hujan tak bisa diprediksi. Banyak petani hanya bergantung pada hujan, dengan akses minim terhadap sumur bor, embung, atau teknologi panen air. Ini bukan sekadar soal infrastruktur, tapi soal keadilan iklim—karena mereka yang paling terdampak perubahan iklim justru tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi.
2. Alat dan mesin pertanian, ketimpangan teknologi dan tenaga. Petani kecil masih menggunakan alat tradisional, bahkan untuk membuka lahan atau mengolah tanah. Minimnya akses terhadap traktor, mesin pompa air, atau alat tanam modern menyebabkan efisiensi rendah, tenaga habis, hasil minim. Ini mencerminkan ketimpangan akses teknologi yang memperparah ketidakadilan ekonomi dan memperlambat regenerasi petani muda.
3. Ketersediaan lahan, sengketa, fragmentasi, dan ketidakpastian. Lahan pertanian makin sempit akibat warisan sistem pewarisan tradisional dan alih fungsi. Banyak petani tidak punya kepastian hukum atas lahan yang mereka garap, sementara akses ke lahan tidur milik pemerintah atau private sangat terbatas. Tanpa kepastian lahan, tidak ada keberanian berinvestasi jangka panjang dalam pertanian berkelanjutan.
4. Ketersediaan bibit, ketergantungan dan ketidaksesuaian. Petani kecil menghadapi dua masalah sekaligus: sulit mendapatkan bibit unggul dan sering kali bibit yang tersedia tidak cocok dengan kondisi lokal atau iklim yang berubah. Ketergantungan pada distributor luar dan minimnya dukungan pengembangan benih lokal memperlemah ketahanan benih komunitas.

5. Ketersediaan pupuk, harga mahal, pasokan tak menentu. Pupuk subsidi sulit diakses secara merata. Petani kecil sering kali membeli pupuk non-subsidi dengan harga tinggi atau terpaksa menggunakan alternatif yang tidak sesuai. Ketergantungan ini membuat petani rentan pada gejolak pasar dan melemahkan kemandirian produksi.
6. Pengetahuan bertani cerdas, disparitas antara ilmu dan praktik. Sebagian besar petani masih mengandalkan pengetahuan turun-temurun yang belum sepenuhnya adaptif terhadap perubahan iklim. Akses ke informasi cuaca, prakiraan musim, dan teknik pertanian adaptif masih terbatas. Tanpa akses pada sekolah lapang iklim atau pelatihan pertanian berkelanjutan, petani akan terus tertinggal dalam era perubahan iklim.
7. Disfungsi kelompok tani sebagai lembaga kolektif. Kelompok Tani seharusnya menjadi support system terdekat dan paling relevan bagi petani kecil di desa—sebuah wadah kolektif yang menghubungkan mereka dengan akses terhadap sumber daya, pengetahuan, program pemerintah, dan kekuatan negosiasi bersama. Namun, temuan CIRMA di 30 desa menunjukkan kenyataan yang jauh dari ideal: lebih dari 90% dari 570 kelompok tani tidak berfungsi secara optimal, bahkan sebagian besar hanya hidup sebagai nama di atas kertas meskipun secara legal formal terregistrasi. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki struktur pengurus yang aktif, tidak ada pertemuan berkala, tidak menjalankan fungsi layanan apa pun, dan hanya diaktifkan ketika ada pembagian bantuan—yang sering kali tidak merata dan tidak transparan.
Dalam banyak kasus, petani kecil merasa tidak memiliki hubungan nyata dengan kelompok tani yang ada. Beberapa bahkan menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam aktivitas atau keputusan kelompok, meskipun namanya tercatat sebagai anggota. Akibatnya, kelompok tani gagal menjadi instrumen kolektif yang mampu memperkuat posisi petani kecil dalam menghadapi tantangan iklim, ketidakpastian pasar, dan keterbatasan akses.
Ketiadaan kelompok tani yang fungsional telah menjauhkan petani kecil dari peluang perubahan, menutup akses mereka terhadap informasi, inovasi, dan perlindungan sosial-ekonomi. Padahal, dalam konteks krisis iklim dan transformasi pertanian, keberadaan lembaga kolektif yang hidup dan melayani menjadi sangat urgen.
8. Pendampingan berkelanjutan, tantangan konsistensi dan sinergi. Banyak program datang dan pergi, tanpa kesinambungan. Petani membutuhkan pendampingan yang konsisten, kolaboratif, dan partisipatif, bukan sekadar pelatihan satu kali. Tanpa mekanisme pendampingan berkelanjutan, inovasi tidak akan melembaga di tingkat komunitas, dan semangat petani bisa luntur.
Sementara, Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina Kludolfus Tuames menekankan empat faktor penting untuk peningkatan kinerja petani NTT terutama di Pulau Timor.
Dolfus membeberkan produktivitas, kesinambungan (kontinuitas), kestabilan, dan otonom yang perlu diperjuangkan bagi peningkatan kesejahteraan para petani. “Keberlanjutan atau kontinuitas, jumlah petani semakin sedikit karena air tak tersedia saat musim kemarau. Sementara tercapai otonomi petani hanya pada daerah yang tersedia air saat musim kemarau,” bebernya.
Guna menyiasati kondisi ini, imbuh Dolfus, perlu diciptakan komponen penyangga produksi air berupa tanaman-tanaman keras. “Saya telah berbincang informal dengan CIRMA untuk melakukan scale up pembibitan tanaman keras dan CIRMA melakukan perawatan,” ungkapnya.
Harapan kita, tandas, Dolfus Tuames, langkah kecil bersama CIRMA ini bisa menjadi role model bagi semangat kolaboratif membangun pertanian di NTT.
Penulis (+roni banase)