Kontestasi dalam Pemungutan Suara Ulang di Sabu Raijua

Loading

Oleh : David B.W.Pandie

Pilkada 2020 di Sabu-Raijua berbuntut panjang setelah Mahkamah Konstitusi (MK)  dalam amar putusannya Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021 yang dibacakan pada Kamis, 15 April 2021 di Ruang Sidang Pleno MK menganulir hasil pemilu. Inti keputusan itu adalah mendiskualifikasi pasangan calon (Paslon) nomor urut 2, Orient Patriot Riwu Kore dan Thobias Uly sebagai peserta dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2020.

Putusan ini sekaligus membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sabu Raijua Nomor 25/HK/03.1-Kpt/5420/KPU-Kab/2021 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua Tahun 2020, tanggal 23 Januari 2021.

Selanjutnya, MK memerintahkan KPU Sabu Raijua untuk segera melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2021 yang hanya diikuti dua paslon, yakni pasangan nomor urut 1 dan 3, masing-masing Nikodemus Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale serta Taken Radja Pono dan Herman Hegi Radja Haba.

MK juga memberi tenggat waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan bagi KPU untuk menyelenggarakan PSU. Menindaklanjuti keputusan MK di atas, KPU Sabu Raijua telah menetapkan tanggal 7 Juli 2021  sebagai hari pemungutan suara.

Dengan demikian, panggung politik kembali menghangat.

Kontestasi di antara kedua paslon kini berulang kembali dengan bermodalkan perolehan suara sebelumnya sebagai patokan dalam mengukur kapasitas, popularitas  dan elektabilitas.

Pasangan  Nikodemus Rihi Heke-Yohanis Uly Kale, dalam Pilkada kemarin meraih  13.292 suara atau 30,1 persen. Sementara itu, Takem Irianto Radja Pono-Herman Hegi Radja meraup 9.569 suara atau 21,6 persen.

Secara kasar, kedua pasangan ini akan memperebutkan 21.359 suara atau 48,3 persen dari pasangan nomor urut 2 yang telah dibatalkan, dengan asumsi bahwa suara yang mereka raih kemarin  tidak berubah. Kesimpulannya, kontestasi dalam PSU Sabu Raijua mudah dipetakan untuk menyasar 48,3 persen suara paslon yang telah tereliminasi oleh MK.

Peluang kedua pasangan calon relatif sama, sebab siapa yang berhasil membangun lobi dan komunikasi politik yang efektif dengan paslon nomor urut 2 beserta partai pendukung serta masyarakat pemilihnya, mereka dipastikan punya peluang memenangkan kontestasi..

Harus diakui bahwa meskipun telah didiskualifikasi, namun Orient dan Thoby masih punya pengaruh riil pada basis kemenangannya. Dalam politik, daya pengaruh tidak serta-merta sirna begitu saja tatkala kemenangan sang calon dibatalkan.

Apalagi kultur politik kita masih sangat kuat berakar pada pola paternalistik, di mana para pemilih  memiliki loyalitas yang  kuat terhadap pilihannya dan suara mereka tidak mudah mencair untuk dialihkan ke pasangan lain yang sebelumnya tidak masuk dalam radar pertimbangannya.

Bola tetap bulat

Dalam strategi pemasaran politik, kontestasi atau kompetisi ini akan bertumpu pada kemampuan mengadu program dan kecerdasan mengemas komunikasi interpersonal di level elite dan massa untuk membangun kesamaan visi dan narasi membangun masa depan Sabu Raijua.

Ceruk suara 48,3 persen sangat signifikan dalam menentukan neraca politik, sehingga paslon yang berhasil membangun lobi, pengaruh dan daya tarik politik dengan segala konsesi dan konsekuensinya, ia  dipastikan akan mendulang kemenangan. Dalam hal ini, Orient dan Toby pasti punya obsesi dan harapan untuk maju kembali dalam Pilkada 2024 tiga tahun mendatang, sehingga mereka tentu punya kalkulasi tersendiri untuk mengarahkan ke mana arah dukungan politiknya.

Secara matematik, pasangan nomor urut satu sebagai incumbent hanya membutuhkan sekitar 21 persen suara untuk bisa memenangkan suara mayoritas. Sementara pasangan nomor urut tiga harus bekerja lebih keras untuk memperoleh dukungan sekitar 30 persen suara.

Sekali lagi, hitungan ini dibangun dengan asumsi suara sebelumnya konstan. Dalam analisis peluang, bola tetap bulat, karena masing-masing dapat mengkatalisasi energi politiknya, baik kekuatan partai, kekuatan personal, kekuatan kultural, kekuatan dana dan kekuatan lain yang sah untuk mendongkrak elektabilitasnya dalam waktu singkat.

Strategi quick win yang efisien menjadi penentu.

PR bagi KPU, PSU secara total merupakan pengalaman pertama di NTT dan KPU punya waktu yang amat terbatas untuk mempersiapkan pelaksanaan tahapan pilkada. Selain itu, lingkungan politik dalam PSU telah berubah karena berbagai pengaruh.

Pertama, masyarakat pemilih yang telah mengikuti Pilkada sebelumnya harus diyakinkan untuk mau mengikuti PSU dengan bergairah. Mungkin saja ada  pemilih yang tidak lagi tertarik dan apatis terhadap PSU karena calon yang diunggulkannya telah didiskualifikasi dan mereka enggan memberi suara ulang.

Dalam konteks ini, KPU harus bekerja keras meyakinkan pemilih bahwa PSU ini bernilai paralel dengan Pilkada normal sebagai simpul kritis membentuk pemerintahan demi melanjutkan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Sabu Raijua.

Pendidikan politik dan pendidikan pemilih harus didesain sungguh-sungguh dengan memperhitungkan orientasi psikologi pemilih, perubahan lingkungan dan terutama mempersuasi pemilih yang fanatik terhadap pilihan sebelumnya agar mereka terhindar dari pilihan golput.

Para tokoh masyarakat dan tokoh agama mesti dilibatkan membantu KPU mencerahkan masyarakat tentang urgensi PSU sebagai mekanisme demokrasi formal yang memuliakan kedaulatan rakyat.

Kedua, selain masalah di atas, bencana Badai Seroja pada awal April 2021 patut diduga turut mewarnai dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.

Saat ini, masyarakat masih repot dan fokus pada rehabilitasi dan rekonstruksi rumah, usaha dan lingkungan yang porak-poranda akibat hantaman badai. Masyarakat yang lagi sibuk berbenah pasca-bencana bisa jadi melihat PSU sebagai hal yang kurang prioritas dan malah dianggap merepotkan.

Tentu psikologi massa ini tak mudah diurai  begitu saja, karena badai besar ini membawa kejutan bagi mereka dan PSU dianggap sebagai “badai politik” yang membebani mereka. Di sini, ujian berat bagi KPU dalam meyakinkan masyarakat agar berani menggunakan hak politiknya tanpa ragu.

Masyarakat harus diajak keluar  dari jebakan pengalaman traumatis masa lalu dengan membuktikan kesejatian dirinya sebagai insan demokrasi.

Ketiga, KPU dapat mengedukasi melalui alur narasi logis yang mudah dicerna semua kalangan masyarakat tentang hakikat nilai utama di balik  Keputusan MK yang mendiskualifikasi Orient dan Thoby.

Masyarakat pendukung  boleh jadi  masih terpukul karena jago mereka yang paling layak menang Pilkada atas signifikansi perolehan suara, namun kalah di atas meja hijau. Meskipun pertimbangan dan keputusan MK itu menurut hukum final dan mengikat dengan solusi PSU, namun bagi masyarakat, keputusan itu belum tentu mencerminkan rasa keadilan.

Analisis sosiologis untuk membangun opini dan persepsi positif publik terhadap putusan MK dalam berbagai forum pencerahan akan sangat bermanfaat  mendorong masyarakat pergi ke TPS untuk sekali lagi menggunakan hak suaranya  yang dijamin konstitusi.

Keempat, atau PR terakhir. Bagaimanapun PSU mencitrakan adanya tidak akuratnya dalam prosedur pembuatan keputusan oleh KPU. Pilkada yang telah terselenggara dengan biaya besar, akhirnya dimentahkan karena cacat prosedur.

Dari perspektif opportunity cost, pelaksanaan PSU dengan ongkos mahal seharusnya dialokasi untuk membantu masyarakat dalam pemulihan sosial dan ekonomi akibat bencana atau membiaya program untuk mereduksi kemiskinan yang masih melilit mereka.

Rendahnya kepercayaan publik terhadap semua penyelenggara pemilu menjadi alat kontrol agar pelaksanaan PSU lebih hati-hati dan jujur dengan mengindahkan prinsip zero defect atau nihil kesalahan.

PSU tidak boleh lagi menyisakan ekor masalah yang membebani pemerintah dan masyarakat. Inilah pekerjaan rumah (PR) bagi KPU dan seluruh komponen yang terlibat dalam PSU dalam usaha menegakkan demokrasi sebagai alat kedaulatan rakyat di Sabu Raijua.

Sekarang terbuka kesempatan emas bagi KPU mengukir kinerjanya untuk mengembalikan marwah sebagai penyelenggara pemilu yang konsisten dengan visinya, yaitu “Menjadi penyelenggara pemilu yang mandiri, profesional, dan berintegritas untuk terwujudnya pemilu yang LUBER dan JURDIL”. (*)

Penulis merupakan Dosen Fisip dan Pascasarjana Undana

Foto utama oleh jambi.co