Kumham & Dekranasda NTT Diseminasi MPIG Tenun Tradisional Sumba Barat Daya

Loading

Sumba Barat Daya, Garda Indonesia | Kolaborasi dan sinergi Dekranasda Provinsi NTT dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kumham) melakukan diseminasi dan memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual komunal (KIK) di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur.

Kakanwil Kumham NTT, Marciana Dominika Jone mendukung penuh upaya pemerintah daerah dengan hadir sebagai narasumber dalam Sosialisasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) dan Pembentukan Kelompok MPIG Tenun Tradisional di Kabupaten Sumba Barat Daya, pada Selasa, 12 Oktober 2021 di aula Kantor Bupati Sumba Barat Daya.

Hadir pada kesempatan itu Aparatur Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya, LSM, para Ketua Sanggar dan Pengrajin Tenun.

Wakil Bupati Sumba Barat Daya, Marthen Christian Taka mengucapkan terima kasih kepada Kanwil Kemenkumham NTT bersama Dekranasda Provinsi NTT atas upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan kekayaan intelektual khususnya pembentukan MPIG Tenun Tradisional.

Salah satu yang menjadi fokus pemerintah saat ini adalah perlindungan terhadap setiap hasil tenun. “Kalau diilhami secara budaya, melalui tenun ikat sebenarnya kita diajarkan sejarah, dilihat dari karakteristik motif tenunan menggambarkan mengenai siapa kami sebenarnya,” ujar Marthen

Setiap tenunan yang dihasilkan, imbuh Marthen, merupakan buah tangan para penenun yang luar biasa yang menuangkan ide kreatifnya tanpa meninggalkan unsur budaya di dalamnya. “Ibarat penenun itu seperti seniman yang menjaga kualitas karya ciptaannya,” alasnya.

Untuk itu, tekan Wabup Sumba Barat Daya ini, tenun ikat perlu dilindungi dengan dilakukan pendaftaran. Selain memberikan legitimasi secara hukum, tujuan perlindungan IG tenun ikat akan memberikan peningkatan ekonomi dan pariwisata budaya Kabupaten Sumba Barat Daya.

Pembentukan MPIG, tandas Wabup SBD, adalah langka awal untuk memberikan manfaat dan pengembangan potensi produk IG yang ada dan menegaskan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten SBD akan berkomitmen untuk mendukung perlindungan kekayaan intelektual.

“Untuk itu diharapkan kelompok MPIG yang akan dibentuk dapat bekerja secara baik,” tutup Wabup Marthen Christian Taka.

Kakanwil Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone saat mengawali materinya menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi NTT, Ketua dan Wakil Ketua Dekranasda Provinsi NTT yang sangat peduli akan perlindungan KIK di Provinsi NTT.

Wujud dari kepedulian tersebut, lanjut Merci Jone sapaan akrabnya, Dekranasda Provinsi NTT menginisiasi pembentukan MPIG Tenun Tradisional Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT. Merci juga menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten SBD dan Dekranasda Kabupaten SBD yang memfasilitasi kegiatan tersebut.

Suasana Sosialisasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) dan Pembentukan Kelompok MPIG Tenun Tradisional di Kabupaten Sumba Barat Daya, pada Selasa, 12 Oktober 2021 di aula Kantor Bupati Sumba Barat Daya

Merci Jone menjelaskan pengenalan kekayaan intelektual baik personal maupun komunal. Kabupaten SBD memiliki banyak potensi KIK misalnya Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), Pengetahuan Tradisional (PT), dan Indikasi Geografis, serta Tenun Ikat yang memiliki motif yang indah.

Menurut pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, jelas Merci Jone, Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Ia mengatakan, Indonesia secara umum memiliki kekayaan Indikasi yang sangat besar. Lebih dari 200 potensi Indikasi Geografis di Indonesia, namun baru sedikit yang telah terdaftar. Khusus di NTT, terdapat 9 Indikasi Geografis yang sudah mendapat sertifikat IG dan 8 lainnya dalam proses pendaftaran, dan untuk Kabupaten SBD memiliki banyak sekali potensi kekayaan intelektual khususnya Kekayaan Intelektual Komunal yang harus dilindungi.

“Tujuan utama dari perlindungan Indikasi Geografis adalah melindungi produsen dan konsumen dari pemalsuan produk khas wilayah, menjaga kelestarian budaya, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pelaku usaha produk khas daerah,” jelas Merci Jone.

Menurutnya, indikasi geografis perlu dilindungi karena merupakan tanda pengenal dan sebagai indikator kualitas produk yang dihasilkan dari suatu lokasi tertentu dengan karakteristik tertentu yang terus dipertahankan reputasinya. Indikasi Geografis juga memberikan nilai tambah komersial terhadap produk karena keorisinalitasannya dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain. Serta IG merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang hak kepemilikannya dapat dipertahankan dari segala tindakan melawan hukum dan persaingan curang.

Merci Jone juga menjelaskan, dalam permohonan IG hanya dapat dimohonkan oleh pemerintah daerah dan kelembagaan masyarakat yang pada umunya dikenal dengan masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis. Kelembagaan Masyarakat ini dibentuk atas dasar Surat Keputusan Kepala Daerah dan bertugas untuk mengembangkan dan membina kegiatan anggota, menjalin kerja sama dengan instansi terkait, membuat program kerja, memfasilitasi anggotanya untuk mendapatkan akses permodalan, memberikan advokasi bagi anggota MPIG serta mengawasi proses produksi dan peredaran produk IG.

Salah satu syarat utama untuk mendapatkan pengakuan Indikasi Geografis tersebut adalah terbentuknya Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG). MPIG tersebut akan berperan untuk mengembangkan dan membina kegiatan anggota MPIG, menjalin kerja sama dengan instansi dan stakeholder terkait, memberikan advokasi bagi anggota MPIG, membuat program kerja, administrasi kelembagaan dan keuangan yang teratur, memfasilitasi anggota MPIG untuk mendapatkan akses permodalan, serta mengawasi proses produksi dan peredaran produk IG.

Adapun persyaratan yang perlu dipersiapkan oleh pemohon untuk pengajuan permohonan IG, jelas Merci, berupa softcopy dokumen deskripsi, surat rekomendasi dan peta wilayah yang sudah disahkan oleh Pemerintah Daerah.

Selain itu, abstrak/ringkasan terkait produk IG yang dimohonkan, label/logo indikasi geografis, bukti pembayaran tarif melalui Simpaki Rp.500.000 sesuai dengan PP PNBP yang berlaku (PP No. 28 Tahun 2019).

“Bagi pemerintah daerah, pendaftaran IG memberikan peningkatan ekonomi, melindungi nama-nama produk lokal yang unik dari pelanggaran, meningkatkan harga produk di pasaran, meningkatkan citra daerah, serta membuka lapangan kerja, agrowisata, dan pelestarian tanah,” jelas Merci Jone.

Keberlanjutan MPIG sangat membutuhkan peran pemerintah daerah. Di antaranya memfasilitasi pembentukan peraturan daerah, pemenuhan sarana prasarana, dan peningkatan SDM bagi anggota MPIG. Oleh karena itu, Merci Jone sangat mengharapkan pemerintah daerah dan DPRD menginisiasi kebijakan dalam bentuk peraturan daerah tentang “Penyelenggaraan Kekayaan Intelektual”. (*)

Sumber dan foto (*/Humas Kumham NTT)

Editor (+roni banase)