Labirin Polkam

Loading

Oleh : Dahlan Iskan

Perjalanan kebenaran begitu panjang. Khususnya dalam hal peristiwa Duren Tiga, Jakarta. Bahkan jalan panjang itu awalnya seperti tanpa ujung. Akhirnya ujung jalan itu terlihat:  ada di Menko Polhukam. Ada sinar terang di ujung jalan itu. Mahfud MD telah menjadi sinar itu. Tanpa ia terlihat menyala-nyalakan dirinya.

Ketika saya coba memujinya Mahfud merendah. “Ini karena Bapak Presiden tegas sekali. Dan Kapolri juga bertindak cepat,” ujar Mahfud kemarin menjelang subuh.

Awalnya jalan kebenaran itu tidak hanya terlihat panjang. Nyaris seperti tiada ujung. Bahkan akhirnya harus dicarikan jalan pintas: lewat ”bedol desa”.

”Bedol” artinya ”mencerabut pohon sampai ke akar-akarnya”. Istilah ”bedol desa” itu pertama dipakai di program transmigrasi. Seluruh penduduk desa dipindahkan. Tidak ada yang tersisa.

Dengan demikian tidak ada perasaan pilih-kasih. Itu pula yang dilakukan di Lumajang. Di lereng Semeru. Seluruh penduduk desa yang terkena bencana gunung meletus dipindahkan. Pun di tempat baru itu tetangga lama tetap menjadi tetangga lama di tempat baru.

Pun dalam peristiwa Duren Tiga. Ternyata juga harus dilakukan “bedol desa”. “Itu kuncinya,” ujar Mahfud. Mereka yang terkait ditransmigrasikan total ke Markas Komando Brimob di Depok. Termasuk yang berbintang satu dan dua. Apalagi yang pangkatnya di bawah itu.

Di situ mereka diisolasi. Diperiksa. Satu per satu tersangkanya bisa  ditetapkan. Diumumkan.

Awalnya hanya satu tersangka ditetapkan: Bharada E. Pangkatnya begitu rendah. Sempat muncul sangkaan orang kecil selalu dijadikan tumbal. Ternyata bisa diumumkan lagi tersangka baru. Tidak tanggung-tanggung: jenderal bintang dua. Si pemilik rumah Duren Tiga: Irjen Pol Ferdy Sambo.

Setelah itu satu tersangka lagi disusulkan: sopir Ny Sambo. Masih akan terus bertambah. “Selasa hari ini akan ditetapkan 3 tersangka baru lagi. Termasuk bintang satu dan bintang dua,” ujar Mahfud kemarin. “Tapi biar Kapolri sendiri yang mengumumkan,” tambahnya.

Bedol desa Duren Tiga ternyata menjadi jurus ampuh menerobos labirin pengungkapan peristiwa besar ini.

Bharada E sempat masuk ke labirin itu: ia mengaku yang menembak Brigadir J, tapi sebagai bela diri. Ia mengaku ditembak duluan oleh J. Labirin pertama ini berliku dan panjang: waktu itu ia berada di lantai atas. Ia mendengar teriakan Ny Sambo yang lagi dilecehkan secara seksual oleh Brigadir J. Ketika E masih di tangga Brigadir J keluar dari kamar Ny Sambo. J menembak E. Meleset. Dibalas. Kena. J menembak lagi. Meleset  lagi. E membalas nembak lagi. Kena lagi. J menembak lagi. Tidak kena lagi. Dan seterusnya itu. Anda sudah sangat hafal cerita itu.

Baru setelah dilakukan bedol desa, Bharada E mencoba keluar dari labirin. Ia mengaku belum pernah menembak orang sebelum itu. Ia tidak membunuh Brigadir J.

Perubahan begitu cepat.

Ketika Irjen Pol Sambo sudah dinyatakan sebagai tersangka, Bharada E mencoba keluar lebih jauh lagi dari labirin: ia pergi ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Di LPSK, pengacaranya memang mengaku E  telah menembak J. Tapi sebatas hanya untuk melumpuhkan J. Tidak membunuhnya. Itu pun karena disuruh. Ditekan. Dipaksa.

Bharada E memenuhi apa yang disyaratkan untuk bisa menjadi pasien LPSK: harus mau menjadi justice collaborator. Harus bisa menjadi penegak kebenaran.

Ia sudah menyatakan bersedia. Berarti Bharada E akan menjelaskan secara rinci. Apa saja yang terjadi di rumah itu sore itu. Baik setelah Brigadir J tersungkur maupun sebelumnya.

Berarti akan terungkap siapa yang sebenarnya meledakkan DOR, DOR, DOR ke belakang kepala Brigadir J. Sampai tewas. Siapa pula yang menghajar J sebelum dilumpuhkan. Apakah J sempat melawan hingga harus dilumpuhkan.

Pengakuan E sebagai justice collaborator tentu akan dibandingkan dengan kesaksian banyak orang di rumah itu.

Pintu labirin hampir dekat. Penegakan kebenaran kelihatannya bisa diupayakan di Duren Tiga. Tapi begitu banyak polisi yang kini terjebak di dalam labirin. Semua ingin keluar dari labirin. Desak-mendesak. Di lorong kecil. Di pintu gelap.

Bisa-bisa labirin itu sendiri yang meledak: saking kuatnya desak-desakan di dalamnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *