Atikoh Wae, Ibu Negarane

Loading

Oleh : Rika Sudjiman

Kita kerap mendengar di belakang laki-laki hebat, ada perempuan yang hebat pula. Kali ini saya menentang, karena keberadaan perempuan hebat itu ada di sisi samping laki-laki. Dia menemani dalam setiap langkah laki-lakinya, dia juga yang merangkul memberi kekuatan sekaligus menenangkan dalam setiap sikon. Keduanya saling bergandengan, susah dan senang bersama.

Para perempuan punya peran penting, bukan hanya dalam organisasi terkecil yakni dalam keluarga tapi juga terhadap peradaban di dunia ini. Dari mereka lahir seorang pemimpin. Dalam meniti kehidupan, para pemimpin tidak hanya lahir dari seorang ibu. Tapi dirawat dan dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu hingga membina hubungan dengan seorang perempuan yang mampu menyempurnakan imannya.

Saya ambil contohnya dari seorang Ganjar Pranowo, yang kini menjabat sebagai calon presiden RI tahun 2024 nanti. Keberadaan istri ini memang berada di sisi laki-lakinya, tapi apakah mereka memaksimalkan usaha untuk menyeimbangkan pasangannya itu? Takarannya berbeda-beda. Yang saya lihat pada seorang Ning Atikoh Ganjar Pranowo ini beda dari yang lain.

Dia punya power sendiri untuk mendukung suaminya. Ganjar dan Atikoh punya bentuk sendiri-sendiri dalam perannya sebagai support system. Kalau Ganjar yang mendukung Atikoh dalam menuntut ilmu tanpa batas waktu, berkarir, hingga melakukan apa yang disebut dengan “love your self”, kini Atikoh juga sedang mencurahkan power-nya untuk bergotong-royong bersama dalam menyampaikan niat baik Ganjar ke masyarakat di setiap daerah.

Dia perempuan yang tangguh dan energik, bersilaturahmi ke sana-kemari untuk menyuntikkan semangat dan menyalurkan kekuatan demi berjuang meraih kemenangan yang insya Allah bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bergeraknya Atikoh di setiap daerah, selalu membuat siapa pun takjub. Bagaimana tidak, kalau setiap berkunjung ke daerah-daerah, sambutan yang meriah turut menemani kedatangannya. Momen itu tercipta dalam kunjungannya, ketika bersilaturahmi ke Panti Asuhan Santa Maria Ganjuran, Bantul, Yogyakarta.

Dia adalah cucu ulama besar Nahdlatul Ulama, tapi sangat menghormati sebuah perbedaan khususnya dalam hal keyakinan. Suster Magdelin Sri Winarti CB menggandeng Atikoh seorang layaknya bestie, untuk berkeliling menyapa warga panti asuhan. Bertegur sapa hingga bertukar cerita, membuat suster tahu betul sifat ning Atikoh, ramah dan penuh kasih sayang.

Maka tak ragu jika kenyamanan dalam hati muncul saat berada di dekatnya, hingga pelukan hangat diberikan sang suster kepada Atikoh. Penuh makna, Atikoh mengartikan bahwa perjumpaan mereka yang berakhir dengan pelukan hangat itu, adalah tanda cinta.

Ada nasehat besar yang dia dapat dalam pelukan hangat sang suster, berbeda dalam iman, bersatu dalam kemanusiaan. Mungkin pengamalan Pancasila yang menjadi ideologi bangsa ini terimplementasi secara penuh dalam pertemuan mereka. Ya berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Potret lain, saat dia pulang kampung di tanah Jawa Tengah, masyarakat menyambutnya dengan penuh kehangatan. Bahkan dia berhasil melakukan konsolidasi di Solo dengan 10.000 kader perempuan, yang merefleksikan kongres perempuan 1928.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *