Oleh : Rika Sudjiman
Dalam perjalanan panjang di masa pemerintahannya, Jokowi memang awalnya dikenal sebagai presiden yang merakyat, dan dianggap sebagai presiden yang cukup dekat dengan rakyatnya.
Terbukti setiap kali dia melakukan kunjungan ke daerah-daerah saat meresmikan proyek atau melakukan groundbreaking proyek baru, hampir kita temui banyaknya sambutan masyarakat yang berdiri di pinggir jalan.
Namun, cerita manis itu banyak berubah di ujung masa pemerintahan dia sebagai presiden saat ini. Sambutan masyarakat dipinggir jalan sudah tidak lagi besar dan masyarakat tidak lagi antusias menyambutnya.
Mungkin jika terlihat ramai, itu pun saat pertemuan di satu titik saja. Dan bisa jadi itu juga bagian dari mobilisasi yang sudah diatur oleh tim kepresidenan.
Contoh terbarunya bisa kita lihat saat kunjungan dia ke Papua dan terakhir NTT. Bisa jadi semua ini disebabkan oleh sikap politik yang dia ambil sendiri.
Di saat mayoritas pendukung yang dulu sudah berkeringat mendukungnya justru malah kenyataannya dia tinggal, dan lebih memilih berpindah ke pihak lain. Apalagi saat ini pihak-pihak itu adalah lawan politiknya dulu.
Lalu ditambah dengan sikapnya yang tidak punya etika, yang begitu saja meninggalkan PDIP, bahkan partai yang sudah membesarkannya. Sehingga di mata masyarakat Jokowi dianggap sebagai pengkhianat, dan sikapnya sangat tidak baik.
Belum lagi drama MK yang memaksakan diri anaknya menjadi cawapres. Semua itu terjadi justru di ujung masa pemerintahannya.
Terbukti dari apa yang sudah dilakukan Jokowi jelas membuat mayoritas masyarakat Indonesia kecewa. Bisa jadi kekecewaan ini bukan akhir, tapi masih akan banyak respons lain yang lebih besar.
Mungkin Jokowi sendiri saat ini percaya diri dengan hasil survei soal kepuasan dirinya yang masih tinggi.
Tapi yang tidak pernah dia perkirakan adalah fakta pada masyarakat kita di lapangan sangat berbeda dari gambaran hasil survei.(*)