Perjalanan Panjang Sang Jenderal

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Sebuah video berisi percakapan telepon diunggah oleh calon presiden Prabowo Subianto di akun Instagram-nya. Telepon itu berasal dari sobat karibnya nun jauh di sana; Abdullah II. Dia adalah Raja Yordania yang naik takhta sejak 9 Juni 1999 silam, yang juga dikenal dekat dengan Menteri Pertahanan RI itu.

“Selamat, saudaraku,” sapa Abdullah melalui speaker telepon genggam yang di tangan Prabowo.

“Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menelepon Anda dalam beberapa pekan ke depan jika memungkinkan,” jawab capres terpilih itu.

Ahlan wa sahlan, (silakan),” timpal Abdullah dengan ramah. “Bahkan jika waktunya memungkinkan, aku akan datang menemuimu dan mengucapkan selamat secara langsung. Negaramu membutuhkanmu. Aku kenal dirimu sejak lama dan sangat bangga padamu,” kata-kata Abdullah mengalir lancar penuh sanjungan.

“Terima kasih, Yang Mulia. Saya sangat menghargai persahabatan Anda. Saya harap bisa segera bertemu Anda secepat mungkin. Saya punya banyak kenangan indah di Amman,” Prabowo tak mau kalah.

“Silakan, kapan saja. Aku juga punya banyak kenangan denganmu,” balas Abdullah.

“Sampaikan salam hormat saya untuk Yang Mulia Ratu, untuk Pangeran Faisal, dan Pangeran Ghazi. Saya ingin bertemu mereka kembali…” tutup Prabowo.

Cuplikan video hubungan telepon itu pun viral di media sosial. Tak mengherankan memang, jika Raja Yordania menelepon mantan Danjen Kopassus itu. Catatan sejarah hidup Sang Jenderal memang tak lepas dari negeri Abdullah.

Prahara 1998 memaksa menantu Presiden Soeharto itu untuk melakoni hidup di Jazirah Arabia. Dan Abdullah menerimanya dengan tangan terbuka, menjadikannya sahabat karib. Prabowo yang baru saja kehilangan jabatan di dunia militer, meninggalkan Indonesia di akhir tahun 1998.

Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang memeriksa kasus penculikan 9 (sembilan) aktivis prodemokrasi, mematahkan tongkat komando yang ia genggam. Ia tak lagi menggenggam kuasa di lingkaran elite Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) akibat tindakan penculikan tersebut.

Sebelum bermukim di Yordania, Prabowo menginjakkan kaki di Amerika Serikat dan tinggal di Negeri Paman Sam selama beberapa waktu. Ia juga sempat melanglang buana di sejumlah negara Eropa.

Di Yordania, Prabowo menjalankan bisnis yang dikelola adiknya, Hashim Djojohadikusumo. Kabarnya, ia juga ditawari menjadi penasihat militer kerajaan. Selama berada di Yordania, Prabowo ditawari untuk tinggal di salah satu istana kerajaan. Namun, ia menolak. Dia lebih memilih tinggal di apartemen biasa bersama ajudannya di pusat Kota Amman.

Pada tahun 2000, Prabowo sempat kembali menginjakkan kaki di Tanah Air untuk menjenguk ayahnya yang sakit. Namun, keberadaannya di Indonesia tak berlangsung lama. Ia mesti kembali ke Amman dan tinggal di sana hingga beberapa bulan kemudian.

Masa-masa ini bisa dianggap sebagai saat di mana Sang Jenderal terpuruk di titik nadir. Ia tak ubahnya ‘manusia tanpa negara’ (stateless) yang ‘terkucilkan’.

Indonesia Tanah Air Beta

Kabar baik datang dari Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI. Sebagai seorang sahabat, Megawati marah saat mengetahui status Prabowo yang tanpa kewarganegaraan. Ia juga mengaku geram pada Menteri Luar Negeri dan Panglima TNI saat itu.

“Dulu saya ngambil beliau keleleran (telantar. Betul nggak, Mas? Saya marah sebagai Presiden. Siapa yang membuang Beliau sebagai stateless? Ini saya bukan cari nama. Tanya kepada Beliau (Prabowo),” kata Megawati saat memberikan sambutan dalam ‘Presedential Lecture’ Internalisasi dan Pembumian Pancasila’, di Istana Negara pada 2019 lalu.

“Saya marah pada Menlu, saya marah pada panglima. Apa pun juga, Beliau manusia Indonesia. Pulang!” tegas Presiden RI ke-5 itu. Dan kelak di tahun 2009, Megawati menggandeng Prabowo sebagai cawapresnya saat berkontestasi di pemilihan presiden (pilpres).

Akhirnya, di awal tahun 2001, Prabowo pulang ke Tanah Air dan kembali ‘menjadi’ orang Indonesia. Bersama adiknya, ia menggeluti dunia bisnis dan membangun sejumlah perusahaan.

Selain itu, ia juga aktif di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), sebuah organisasi sosial berskala nasional di bidang agrikultur. Bahkan, pada Musyawarah Nasional (Munas) HKTI Ke-6, Prabowo Subianto berhasil menjadi ketua umum periode 2004—2009.

Tak hanya mengurusi kaum tani, pada periode yang sama, Prabowo juga terlibat aktif di Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Bersamaan dengan lakon yang ia jalani di HKTI dan APPSI, Prabowo mulai muncul ke permukaan. Menyeruak di belantara pemberitaan media.

Bahkan, ia kerap membagi aktivitasnya di 2 (dua) organisasi itu dalam bentuk iklan di layar kaca maupun media massa nasional kala itu. Orang pun seolah lupa pada peristiwa 1998, dengan segala sisi kelamnya.

Kini, di Indonesia telah muncul seorang tokoh; Prabowo yang baru. Mantan jenderal yang telah ‘fully civilized’ dan bersih dari anasir-anasir militeristik. Dukungan masyarakat padanya pun mulai tumbuh dan berkecambah. Bintang terang yang dulu redup ditiup prahara, kini mulai menampakkan sekelumit cahaya harapan.

Tak lama lagi, Sang Jenderal kemungkinan akan mendirikan partai politik untuk meraih kembali kuasa yang sempat hilang.

Empat pertarungan

Awal tahun 2008, Prabowo dan adiknya (Hashim) akhirnya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Selain itu, terdapat sejumlah nama yang turut serta dalam pendirian parpol baru ini. Di antaranya mantan aktivis mahasiswa, Fadli Zon, dan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Bidang Penggalangan, Muchdi Purwoprandjono, serta sejumlah nama lain.

Seiring dengan kelahiran Gerindra, kemunculan Prabowo di layar kaca dan iklan media lainnya pun kian marak. Kampanye iklan Gerindra yang masif pada jam-jam prime time, tak lepas dari dukungan finansial nan gigantik.

Di lain pihak, partai ini juga aktif membentuk cabang di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, sempat ada klaim bahwa saat itu anggota Partai Gerindra mencapai 15 juta orang. Dengan pendukung terbanyak di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.

Tak sia-sia memang, kampanye nan masif itu pun berbuah manis. Gerindra meraup 4,46 persen suara dalam Pemilu Legislatif 2009, dan mengamankan 26 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebuah pencapaian luar biasa bagi partai yang baru seumur jagung.

Saat itu, Partai Demokrat besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang jadi jawara dengan perolehan suara sebesar 20,85 persen. Partai berlogo Mercy itu mengamankan 148 kursi di Senayan.

Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 pula, Prabowo berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri yang jadi calon presiden. Berkontestasi dengan pasangan SBY-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto. Dalam pertarungan itu, pasangan Megawati-Prabowo yang dikenal dengan sebutan ‘Mega-Pro’ kalah oleh pasangan SBY-Boediono, dengan margin yang cukup lebar; 60,80 persen versus 26,79 persen. Sementara pasangan JK-Wiranto berada di urutan buncit dengan raihan suara 12,41 persen.

Kekalahan ini tak menyurutkan semangat Sang Jenderal untuk bertarung kembali di pilpres selanjutnya. Pilpres 2014 dihelat pada tanggal 9 Juli. Kali ini hanya ada terdapat 2 (dua) paslon; Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Lagi-lagi, Prabowo yang kali ini jadi capres kalah bersaing dengan pasangan Jokowi-JK yang mendapatkan 53,15 persen suara rakyat. Prabowo-Hatta meraup 46,85 persen suara.

Ini adalah kekalahan perdana Prabowo berhadapan dengan Jokowi, mantan Gubernur DKI Jakarta yang juga bekas Wali Kota Solo. Sang tukang mebel itu berhasil mengalahkan Sang Jenderal dengan margin tujuh poin.

Pada 22 Juli 2014, di hari pengumuman hasil resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prabowo menyatakan menarik diri dari proses pemilu. Ia tak dapat menerima kekalahan, dan menuding telah terjadi kecurangan yang masif dan sistematis. Kecurangan ini, kata dia, membuat rakyat Indonesia kehilangan ‘kehilangan hak-hak demokrasi’. Ia lantas menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun tetap gagal jua.

Lima tahun kemudian, lagi-lagi Prabowo mencoba peruntungan dengan mencalonkan diri sebagai capres. Ia berpasangan dengan Sandiaga Uno. Kali ini berhadapan kembali dengan Jokowi, namun dengan pasangan yang berbeda. Jokowi berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin.

Hasilnya masih sama; Prabowo kalah lagi. Pasangan Jokowi-Ma’ruf mendapatkan 55,50 persen suara, Prabowo-Sandi di bawahnya, sebanyak 44,50 persen. Raihan suaranya kali ini malah turun 2,35 persen dibanding 2014 silam. Ini adalah kekalahan ketiga Prabowo dalam kontestasi pilpres di Indonesia.

Pada 2024 kali ini, Dewi Fortuna akhirnya berpihak pada Prabowo. Ambisinya untuk menjadi Presiden terwujud setelah menang melawan dua paslon lain; Anies Baswedan-Muhamin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Ia yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka yang notabene putra Presiden Jokowi, berhasil menang telak dalam satu putaran. Prabowo-Gibran meraih suara 58,58 persen, Anies-Imin mendapat 24,95 persen, dan Ganjar-Mahfud meraup 16,47 persen suara.

Terlepas dari sengketa yang masih membayangi proses pemilu kali ini, Prabowo-Gibran bakal tetap menduduki Istana. Cita-cita besar Sang Jenderal untuk berkuasa tak mungkin terbendung lagi. Sosok yang dulu ‘terkucilkan’ hingga sempat disebut stateless itu kini bisa melenggang dengan jemawa.

Kemenangan yang diraihnya, entah imbas Jokowi Effect atau Gibran Effect pun bakal menguap dari perbincangan publik. Ia telah menunjukkan sebuah pembelajaran; cita-cita itu harus diraih dengan perjuangan panjang dan pengorbanan yang tak murah.(*)

Sumber (*/Total Politik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *