Sudah Saatnya Gus Mus Turun Gunung

Loading

Oleh : Ahmad Sururi

Melihat Gus Yahya membawa NU ke dalam pusaran politik membuat kita, nahdliyin akar rumput ini mengelus dada. Bukan bermaksud su’ul adab atau kumeruah. Tapi manuver politik Gus Yahya memang membahayakan NU. Dengan asas kecintaan inilah, semoga saja pendapat dari orang daif ini tak salah dipahami.

Saya Ahmad Sururi, bukan ulama kondang atau tokoh besar dalam struktur NU. Hanya orang kecil, ilmunya sedikit. Satu kalimat saja ndak penuh.

Kegelisahan saya ini adalah juga kegelisahan orang banyak. Mereka yang tumbuh dan hidup dalam napas ke-NU-an. Tidak mencari hidup dari NU. Tapi berupaya sebisa mungkin menghidupkan NU.

Orang-orang kecil yang memiliki daya upaya kecil. Modalnya ikhlas dan telaten.

Melihat NU hari ini, saya sampai malu dan terpaksa menyebutnya sudah seperti perusahaannya Jokowi. Gus Yahya menjadi CEO dan Jokowi menjadi komisarisnya.

Apa pun perintah komisaris, CEO harus patuh. Karena komisaris punya saham cukup besar. Dia bisa melengserkan CEO dengan hanya bersiul kecil. Setidaknya sampai Oktober 2024.

Jokowi memang punya andil besar menempatkan Gus Yahya sebagai Ketum PBNU. Tapi yang harus disadari, NU itu bukan lagi partai politik. Tidak pantas ikut bermain politik dagang sapi.

NU ya jam’iyyah. Tugasnya menjadi jembatan antara pemerintah dan umat. Bukan menjadi perpanjangan tangan penguasa. Atau amit-amit, malah jadi pesuruhnya penguasa.

Ada banyak kabar yang masuk ke telinga saya. Tentang mobilisasi struktural NU. Ada nama Khofifah disebut. Dasarnya, dia diancam dengan kasus hukum. Khofifah tinggal dorong sedikit sudah pasti masuk.

Maka dia terpaksa bergerak. Tapi itu kan urusan pribadi. Jangan bawa-bawa NU. Salah sendiri terperosok.

Kalau Gus Ipul dasarnya kesepakatan dengan komisaris tadi. Makanya suara Gus Ipul keras sekali kampanyenya. Kalau tidak membawa nama NU ndak masalah. Tapi “nyales” begitu pakai embel-embel NU kok ya ndak pantes rasanya.

Memang sudah dibantah PBNU, katanya itu pernyataan pribadi. Lah kok bisa? Bagaimana bedainnya? Wong dia ndak cuti kok dari struktur.

Kecuali mau non-aktif dulu sebelum ngomong begitu ya monggo.

Orang-orang ini harus diingatkan. Jangan nyari makan dari NU. Karena malati. Mbebayani. Apalagi sampai merugikan NU. Ini soalnya doa wali Mbah Kholil Bangkalan, “ya Jabbar, ya Qohhar…”

Belakangan memang, beberapa orang non-aktif dari NU. Tapi itu dilakukan sesudah kegelisahan orang memuncak. Sesudah ada banyak protes. Sesudah memobilisasi massa.

Lah kok enak banget?

Kondisi inilah yang harus segera dihentikan. Gus Yahya harus diingatkan, langkah politiknya berbahaya. Sebesar apa pun jasa Jokowi, dia tidak pantas menyetir NU.

Dan menurut hemat saya, dalam hal ini hanya Gus Mus yang bisa memberikan nasehat. Karena yang lain mungkin ndak bakal didengar.

Sampai hari ini saya menganggap Gus Mus salah satu pasak bumi Indonesia yang masih tersisa.

Contoh dari Gus Mus terang dan patut ditiru. Ketika beliau menolak jabatan Rois Aam NU. Bukan karena tak pantas, tapi karena akhlak beliau yang luhur, seperti yang dicontohkan gurunya, Kyai Ali Maksum. Meskipun akhirnya Kyai Ali akhirnya dipaksa oleh banyak ulama dan menerimanya.

Ulama dulu begitu tinggi akhlaknya. Mereka menolak jabatan, karena tanggung jawabnya berat. Bukan seperti ulama sekarang yang berebut jabatan. Bahkan sampai-sampai disponsori penguasa. Dan memakai politik uang.

Itu aib. Tapi dilakukan dengan tanpa merasa berdosa. Maka ketika menjabat, perintah pemodal jadi agenda utama. Padahal NU bukan perusahaan.

Gus Mus, Panjenengan harus turun gunung. Situasinya sudah gawat. Jewer kupingnya Gus Yahya. NU lebih penting untuk diselamatkan. Jangan mengekor perintahnya Jokowi.

Mohon ingatkan Gus Yahya terhadap wejangan Gus Dur, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.”

Kalau nanti Gus Yahya melawan perintah Jokowi dan dilengserkan, ya ndak apa-apa. Daripada kualat sama NU.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *