Kantor Bahasa NTT : Perlu Perda Untuk Melestarikan Bahasa Daerah

Loading

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Kantor Bahasa NTT, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghelat Seminar Internasional Linguistik dan Sastra Austronesia-Melanesia pada 22—23 Oktober 2019 di Hotel Aston Kupang; sebagai seminar internasional pertama yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa NTT

Diharapkan seminar ini dapat menjadi awal dari seminar ilmiah rutin yang akan diselenggarakan di tahun-tahun mendatang. Seminar ini dibuka oleh Asisten II Gubernur Nusa Tenggara Timur, Ir. Samuel Rebo yang bertindak mewakili Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Seminar ini menghadirkan pemakalah dari dalam dan luar negeri, seperti Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum. (Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan), Prof. Dr. Charles E. Grimes, Ph.D. (Australian National University), Stefan Danerek, Ph.D. (Lund University), Prof. Dr. Mahsun, M.S. (Universitas Negeri Mataram), Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. (Universitas Negeri Yogyakarta), Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. (Universitas Sanata Dharma), Asst. Prof. Dr. Phaosan Jehwae (Fatoni University), dan Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. (Universitas Negeri Malang).

Pemukulan gong tanda dibukanya Seminar Internasional Linguistik dan Sastra Austronesia-Melanesia

Kantor Bahasa NTT, Valentina Lovina Tanate, S.Pd. disela-sela kegiatan Seminar Internasional Linguistik Sastra Austronesia – Melanesia menyampaikan bahwa Nusa Tenggara Timur merupakan perjumpaan dari dua rumpun bahasa besar yakni sastra Austronesia dan Melanesia.

Menurutnya, dua rumpun besar bahasa tersebut bisa dilihat pada bahasa daerah di daerah Alor dan juga Belu, yang merupakan turunan dari rumpun bahasa Melanesia yang berasal dari Papua.

“Mungkin masyarakat NTT sendiri tidak tahu bahwa di NTT itu ada pertemuan dua rumpun besar bahasa yakni Austronesia dan Melanesia yang sebagian di Alor dan sebagian di Kabupaten Belu,” jelas Valentina.

Valentina juga menjelaskan bahwa seminar tersebut sebagai upaya perlindungan terhadap bahasa dengan menghadirkan para mahasiswa, guru besar bahasa dan juga para peneliti dalam seminar perdana bertaraf internasional.

Kepala Kantor Bahasa NTT, Valentina Lovina Tanate, S.Pd.

“Bahasa bukan saja di dunia pendidikan, tetapi juga bagi penelitian. (Sebagai) upaya pelindungan, wajib bagi kami untuk memberikan satu pendidikan (tentang bahasa) bagi anak-anak mahasiswa,” ujarnya.

Tidak berhenti pada titik tersebut, sebagai upaya dalam melindungi bahasa daerah dari kepunahan, pihaknya meminta kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk segera menertibkan perda tentang bahasa daerah, sebagai langkah konkret dalam menjaga dan melestarikan bahasa daerah sesuai Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009.

“Kami akan bekerja sama dengan Pemda, khususnya kami mendorong Pemda mengeluarkan regulasi terkait pelestarian dan perlindungan bahasa daerah,” tuturnya.

Sementara itu, guru besar bahasa pada Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Prof. Simon Sabon Ola, S. Pd., M. Hum. kepada media ini menyampaikan bahwa Tri Gatra Bahasa yaitu ‘Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing’, itu sudah disampaikan pada 23 tahun lalu, dan sampai saat ini masih dibicarakan lagi.

“23 tahun lalu saya sudah bicara soal Bahasa Indonesia nomor 1, Bahasa Daerah nomor 2 dan Bahasa Asing nomor 3, itu sudah 23 tahun lalu orang bicara dan hari ini dibicarakan lagi. Aksinya yang kita butuhkan,” jelasnya.

Ola menilai bahwa semua yang dilakukan saat ini masih merupakan retorika. Sehingga dibutuhkan langkah-langkah konkret, kebijakan-kebijakan nyata yang dapat menjamin penerapan bahasa di Indonesia.

“Semua orang mengatakan sikap kita harus positif terhadap bahasa. Mempertahankan bahasa daerah, perlu belajar bahasa asing. Dari dulu (orang sudah bicara). Bagaimana mempertahankan bahasa daerah? Apa langkah-langkah konkretnya, itu yang kita butuhkan,” ujar mantan Wakil Rektor 3 Undana itu.

Dirinya menyebutkan bahwa dari 548 Provinsi, Kabupaten dan Kota, hanya ada 23 Perda tentang pelestarian bahasa daerah. Hal tersebut dinilai perlu dilakukan oleh pemerintah sehingga upaya dalam melestarikan bahasa daerah bisa diimplementasikan dengan baik.

“Keberpihakan pemerintah belum ada, kalau dilihat dari kuantitas perda yang mengatur tentang penggunaan bahasa daerah. Berarti ada sekitar lima ratusan pemda tidak punya perda. Terus mau harapkan apa? ” pungkas Ola. (*)

Penulis (*/Joe Tkikhau + Kantor Bahasa NTT)
Editor (+rony banase)