Sembilan Desember, Ada Cinta!

Loading

Penulis : Melkianus Nino

Pagi meronda begitu cepat oleh kesibukan, yang tak bisa merasakan putaran lajunya. Ujung terang makin di tepian pandang mata. Senja menyapa, Selamat datang generasi.

Jingga itu, warna barat melukis perpisahan. Versa dan Matic Beat, Pop siap balik arah untuk kembali. Tinggalkan Kota Baru, dusun kecil di bagian barat yang jauh dari hiruk-pikuknya keramaian. Rutinitas mencari selogam-lembar dalam menafkahi keluarga dan seisinya.

“Maafkan teman, esok adalah hari penuh momen dalam penentuan suara demi Sang Cinta Kita. Oh iya, benar itu!” Lirih Rino.

Aku, Kenny dan Jack harus segera pulang sebelum senja tenggelam. Lewati jalanan berdulang-kubang, tampak dikepung daunan hijau pepohonan jati dan kayu putih.

Gerimis terus menyiram begitu tenang, Tangisannya cukup menghanyutkan juga tak memayungi diri dengan mantel. Kepasrahan sudah menjadi misteri. Kami berbadan basah kuyup oleh deraian yang mendayung, siraman gerimis hinggapi persimpangan jalan pertokoan Pelita.

Sahutan tembakan petir terus memacu, biar cepat tiba. Obat tak mempan untuk cepat melaju, dingin gemetar menghalang lajunya matic. Kami dihadang nyanyian hujan yang dahsyat, sepanjang menuju ke rumah.

Syukurlah, kami tiba dengan sambutan kangen walau tangisan mengguyuri.

*******

Rabu, 9 Desember 2020

Pagi itu, Aku sudah menyiapkan diri serta segalanya dan pergi dari kediaman. Keramaian jalanan umum berbeda dari biasanya. Tak cukup di situ, pemuda-pemuda dari tiap gang sudah mabuk kepayang menunggang roda dua melawan lalu-lalang pengguna jalan. Tiap insan dengan kebahagiaan tersendiri.

Area keramaian di tiap gang, benar tersentuh sepi. Jalur utama kota kasih, diramaikan bising kendaraan menuju bilik harapan.

Di balik momen penting itu, nuansa Natal bergaung di mana-mana. Lantunan sorai bernuansa kelahiran. Nada-nada histori lama, dibuka pada lembaran sebuah keberadaan tiap penghuni. Masa advent, membuat suasana hati berkiprah dalam renungan sembari menghayati kenangan setahun. Aku dalam bisu, namun banyak tidak membungkam diri. Mereka masih terus mengejar kenikmatan momen hari itu.

Hari istimewa yang mengasingkan juga mengasyikkan. Aku dan Sobat penyelenggara, harus menjalankan mandat di tiap titik  di seputar Kota Kasih. Arah terbaik kota ini, adalah Cinta.

Penanti bilik untuk menyatakan suara emas sudah menikmati breakfast ala kadarnya. Sembari menanti waktu yang tepat. Aku bergegas ke arah timur, berjarak 2 kilometer.

Setibanya, di rumah tenun Ibu-ibu hebat yang merangkai tenunan bermotif khas Timor. Momen hari itu, mereka harus mengosongkan demi suksesnya perhelatan.

Untuk menjaga hubungan baik, Aku harus sedikit berbahasa ibu, agar sedikit lebih akrab dengan kesembilan saudara-saudariku. Temasuk Hansip dan lain sebagai penyelenggara pemungutan.

Bondia (pagi)”. Sapaku.

Bondia maun (pagi kak). Tama maun (silakan masuk kak)” serentak menyapa balik.

Aku pun bergegas masuk, dengan keistimewaan yang ada. Sebuah kursi dan selembar taplak memberi kesan. Aku yakini, kalau sebentar ada Kopi asal Timor Leste. Ternyata keyakinanku, tak keluar dari konteks  pemikiran ini.

Maun, hemu cafe lai (kak, minum kopi dulu)” tutur Bapak Antoni.

Diak a’pa (baik bapa). Obrigado (Terima kasih)”. sambungku

Harum kopi pilihan yang alami, asal Timor Leste. Aroma menerawang dan cukup membius tarikan nafas.

“Waoow, terkesan nikmat”.

“Kopi Timor rasa sangat khas!” Sambung Bapak Duarte

“Benar sekali, beda rasa!” gumanku.

Dengan ruang waktu yang tersisa, menanti suara-suara emas perinsan. Tarikan teguk demi teguk membasahi bibir keruh. Terasa berbeda dari biasanya. Asap lintingan Surya 12, menghias wajah ceriaku. Tarikan terus mengulang, diiringi suasana cerah pagi itu.

Waktu juga masih sepi, sembari menunggu warga sekitar. Kami harus bersenda-gurau membuka tawa-ceria.

“Bagiku, saat yang istimewa harus dipoles dengan senyuman. Biarkan mereka memahami ciri khasku. Bahwa, Aku juga orang baik penuh Cinta”.

Senda-gurau berlalu dalam tempo yang singkat. Aku mengarah mata keluar ruangan.

“Pagi…”.

“Pagi…”.

“Pagi…”. Suara lantang ketiga orang yang berparas seram-buram memberi salam.

Dalam diam menyaksikan peran bapak duarte yang turut membalas salam. Ia lantas meminta rekan-rekan terbaiknya untuk berdiri. Dengan jemari tengah dan telunjuk diangkat sebagai simbol janji. Lantakan suara sumpah memecah langit ruang tenun. Satu-dua jepretan handphone Asus menjadikan file-file laporanku.

“Terima kasih untukku dan barisan pengucap sumpah, semoga menjadi awal yang hingga akhir penuh harapan”.

Dua ketukan terdengar di atas meja, menandakan permulaan bisa segera dimulai.

“Waktu diujung 08.20, kita bisa mengawalinya kepada para undangan”. papar Bapak Duarte.

Satu persatu mengikuti irama aturan protokol kesehatan. Masker harus dikenakan terpaut Pandemi Covid. Saatnya untuk mematuhi agar tidak menambah antrean pengidap wabah. Semeter jarak juga adalah satu harapan mengingatkan Cinta.

Langkah tua-muda menghampiri wadah untuk mencuci tangan. “sebelum masuk dan menentukan pilihan. Pilihan itu hati, suara emasmu, adalah suara cinta” papar bapak yang cukup makan garam.

Suasana makin damai, disusul putaran waktu di layar handphone. Jepretan terus mengambil momentum terindah, 5 tahun sekali, adalah Waktu. Jepretan terbaik, biar tidak banyak tanya.

Aku memandang situasi yang sangat berbeda semenjak pagi. Aku menoleh sekejap ke kanan, kalau ada wajah anggun berambut panjang menatap lalu menunduk sipu malu padaku.

“Apakah itu, juga Cinta?”.

Bagiku, Cinta datang dari ruang hati yang rupa-rua menarik simpatik. Entah apa maksud, itu penyembunyian yang tak kelihatan. Aku heran, mungkin kami telah mencederai pencitraan Cinta. Aku telah berdosa, mungkin dia juga merasa sama. Kedua kami telah melukai diri tentang pencitraan.

Tarian jemari di atas tuts-tuts handphone dan lembaran manual. Aku dihantar sebotol aqua buat penengah dahaga. ” Terima kasih banyak”. Sembari membuang senyum. Dia juga rekanan penyelenggara.

“Itu ada aqua,  silakan” tegur Bapak Duarte.

Siang makin sepi oleh kunjungan undangan. Sembari menunggu undangan tambahan yang belum hadir. Aku harus mengoreksi jepretan dan file terdahulu.

“Semua sudah usai di momen hari ini, sebentar masih juga perhitungan terbuka. Kita harus lunch  sebentar kebetulan belum pukul 01.00,” imbuhnya.

Sembari menikmati hidangan ala kadarnya yang telah disajikan oleh family Bapak Duarte. Denyutan lambung sudah melega. Bagi penikmat Nikotin, apalagi usai makan lauk pedas. Isi kemasan Surya 12, masih disesaki oleh saking sibukku.

“Karena sudah tepat waktu perhitungan terbuka ini. Saya minta semua untuk tenang, karena juga, siapa pun Dia nanti yang unggul, Dia milik Kita dan tentunya kita sama memilikinya,” tandasnya.

Suara teriakan yel-yel menyambut kegembiraan oleh antusiasme pendukung. Aku harus terus menjepret sebagai dokumen terbaik.

Perhitungan hampir selesai, semangat teriakan makin kosong. Warga sekitar pada bubar, tertinggal pemuda lain menyaksikan sekelompok THS-THM di halaman Gereja Stasi.

Suasana senja dekat gereja kecil makin rame. Aku dan rekanan penyelenggara harus menyelesaikan hasil dan dokumen penting lainnya. Kotak sudah terisi  dokumen-dokumen tadi, dan siap dikemas di hujung 04.00 sore.

Aku rasakan kerja sama yang baik dengan kedamaian. Aku harus kembali membuang senyuman sambil menegur wajah anggun tadi. Bagiku, semua hanya hiasan semata. Itulah misteri cinta, yang pernah kita alami. Bilamana juga di mana tempat dan waktunya, luka yang terpendam. Biarkan dikemas bersama dokumen penting, kerana satu tujuan yaitu Harapan dan Cinta.

“Selamat sore semuanya, Aku harus pergi sekarang karena banyak yang perlu diselesaikan. Masih ada kesempatan, bila waktu merestui di 5 tahun ke depan nantinya. Bapak Duarte dan rekanan semuanya, Aku pamit dan terima kasih ” sembari memberikan Salam Covid.(*)

Penulis merupakan Biro Garda Indonesia – TTU

(*/Cerpen ini digarap di tanggal 09 Desember kemarin, sewaktu penulis mengemban tugas sebagai PTPS)

Foto utama (*/istimewa)