Keponakan Jusuf Kalla Jadi Tersangka, Ada Apa di Balik Prahara Bukopin-Bosowa?

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas, MM., MBA

Punya bank dalam kelompok konglomerasinya sendiri itu seperti punya “Kasir Besar”. Kasir Besar ini “bertugas” menerima duit, maupun mengeluarkan duit. Menerima duit dalam bentuk modal, pinjaman, tabungan atau deposito maupun dari tagihan (receivables).

Juga mengeluarkan duit dalam bentuk pembayaran (payables), termasuk bayar bunga (interest), maupun meminjamkan atau bentuk penyertaan (investment).

Tentu, itu semua dengan segala variasinya.

Dulu ada aturan ‘triple-L’: Legal Lending Limit. Intinya, ada batasan untuk menyalurkan kredit kepada anggota kelompoknya atau yang terafiliasi dengannya. Namun, yang namanya pengusaha, kalau tak punya etika bisnis, tentu bisa saja mengakalinya dengan seribu satu macam akal bulus.

Perusahaan-perusahan proxy dengan mudah bisa dibentuknya, dengan lokasi di mana pun, serta pengurus (direksi) perusahaan serta pengawas (komisaris) cabutan yang bisa dijadikan wayang orang. Yang pasti, aktor intelektualnya ya dia-dia juga.

Sang aktor intelektual – secara dokumentasi legal perseroan terbatas – senantiasa bisa lolos dari jerat hukum. Ia tak tercatat sebagai direksi maupun komisaris perusahaan itu.

Mungkin terkecuali bila ada pengakuan atau kesaksian dari para ‘justice-collaborators’, atau ada “pemantauan” (penyadapan) yang sahih dari pihak berwenang.

Baru saja kita mendengar bahwa Sadikin Aksa, mantan Direktur Utama PT Bosowa Corporindo ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri.

Apa pasal?

Melawan hukum. Hukum apa yang dilawan? Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah memberi surat perintah kepada Dirut PT Bosowa Corporindo, tapi tidak ditaati. Apa isi surat perintah OJK itu?

Isinya, perintah tertulis pemberian kuasa khusus kepada Tim Technical Assistance (Tim TA) dari PT BRI agar dapat menghadiri dan menggunakan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bank Bukopin Tbk.

Dalam perintah tertulis itu juga tertera batas waktu pemberian kuasa dan penyampaian laporan pemberian surat kuasa kepada OJK paling lambat 31 Juli 2020.

Tapi kabarnya Sadikin Aksa tidak mengindahkannya. Dan ini jelas melanggar hukum. Saat itu memang PT Bosowa Corporindo adalah masih sebagai pemegang saham pengendali (PSP) dari Bank Bukopin sebelum beralih ke Kookmin Bank.

Namun yang jadi pertanyaan publik tentunya adalah: Mengapa OJK sampai memerintahkan PT Bosowa Corporindo memberi kuasa khusus kepada Tim Technical Assistance (Tim TA) dari PT BRI agar mereka dapat menghadiri dan menggunakan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)nya?

Ada apa?

Gejala permukaannya adalah tentu saja morat-maritnya kinerja keuangan Bank Bukopin itu sendiri. Secara sederhana saja (supaya tidak terlalu teknis), sejak bulan Mei 2018, PT Bank Bukopin Tbk telah berstatus bank dalam pengawasan intensif oleh OJK. Alasan diawasi adalah lantaran tekanan likuiditas.

Kondisinya makin memburuk sejak Januari hingga Juli 2020. Maka, demi menyelamatkannya, OJK akhirnya mengeluarkan kebijakan, di antaranya adalah menyampaikan perintah tertulis kepada Dirut PT Bosowa Corporindo, yakni Sadikin Aksa lewat surat OJK nomor: SR-28/D.03/2020, yang terbit 9 Juli 2020 lalu.

Namun faktanya, usai surat dari OJK diterbitkan, Sadikin Aksa mengundurkan diri sebagai Dirut PT Bosowa Corporindo pada 23 Juli 2020.

Namun, Bareskrim Polri punya bukti bahwa Sadikin Aksa ternyata masih aktif dalam kegiatan bersama pemegang saham PT Bank Bukopin Tbk serta pertemuan bersama OJK pada 24 Juli 2020.

Ada juga bukti di mana Sadikin Aksa mengirimkan foto surat kuasa kepada Dirut PT Bank Bukopin Tbk dengan mencantumkan jabatannya sebagai Dirut PT Bosowa Corporindo via WhatsApp pada 27 Juli 2020.

Nah, atas perbuatannya ini, Sadikin Aksa dijerat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pidananya adalah penjara paling singkat 2 tahun dan denda paling sedikit Rp.5 miliar, atau pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda paling banyak Rp.15 miliar.

Belum jelas bagaimana sampai ada silang sengkarut yang menyebabkan Bank Bukopin berantakan manajemennya. Sampai akhirnya diambil alih dan berubah jadi Kookmin Bank. Hanya saja kita mengharapkan jangan sampai ada dana masyarakat umum yang jadi korban. Lalu tidak ada pula dana negara yang ikut-ikutan raib.

Praktik bank yang ada dalam “kendali” suatu kelompok usaha tertentu memang riskan, rentan untuk dijadikan kasir besar belaka.

Praktik kolusi pihak bank dalam operasi ‘side-streaming’, ‘money-laundering’ sampai ‘accounting-fraud’ kerap terjadi. Dan itu semua pada ujungnya memang bakal mengacaukan operasional perbankan yang profesional. Ini model bancakan ‘kerah putih’ (white-collar crime).

Terlalu banyak kongkalikong di dalamnya, kebohongan yang mesti ditutupi dengan kebohongan lainnya lagi. Sampai titik tertentu gelembung tipu-tipu itu meletus. Dan manakala itu terjadi, sang direksi wayang orang itulah yang tercokok. Sementara sang aktor intelektual masih bebas berkeliaran.

Things gained through unjust fraud are never secure.” – Sophocles.

Kamis, 11 Maret 2021

Penulis merupakan Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB)

Foto utama oleh pixabay