Oleh : Yucundianus Lepa
Sikap PKB di bawah kepemimpinan Dr.HA. Muhaimin Iskandar, M.Si. yang cenderung berkonfrontasi secara terbuka dengan PBNU, melahirkan keprihatinan banyak pihak. Tidak hanya kalangan NU, tetapi para jajaran kepemimpinan hingga simpatisan PKB, bahkan masyarakat luas.
Sejarah tidak akan pernah menafikan hubungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan NU. Semua mencatat itu sebagai hubungan historis. Bagi kalangan NU-PKB, hubungan demikian dapat ditambahkan lagi sebagai hubungan ideologis (amar ma’ruf nahi mungkar) yang menjadi unsur yang memberi warna dan mendasari spirit perjuangan PKB.
Hubungan historis itu dibangun dan dipandang untuk harus ada karena perlu ada kanal politik bagi kaum Nahdliyin untuk mengambil peran sejarah bangsa. NU yang telah ikut berperan membidani lahirnya bangsa dan Negara Indonesia, tidak boleh kehilangan tapak sejarah dan terus harus mendedikasikan diri bagi bangsa dan negara yang sedang tumbuh.
Lebih dari itu, Nahdatul Ulama (NU) dalam pemilu pertama tahun 1955 adalah partai politik peserta pemilu dengan dukungan mayoritas. Seiring dengan fenomena semakin bergesernya nilai hakiki ke-Islaman ke arah Islam sebagai identitas semata, maka ikhtiar untuk mencari wadah baru sebagai arena berekspresi dan berdedikasi dengan nilai-nilai Ke-Islaman yang lebih hakiki dan nilai kebangsaan yang terawat adalah sebuah keniscayaan.
Apakah pergulatan panjang dan penuh pengorbanan dari kaum Nahdliyin hingga terbentuknya PKB sebagai partai politik untuk menjadi wadah ekspresi pikiran dan tindakan kaum Nahdliyin cukup dimaknai sebagai hubungan historis ? Terlalu “sederhana” dan “dangkal”. Kalau NU dan PKB adalah dua entitas yang otonom : Yes. Tetapi PKB sebagai sebuah partai politik selayaknya menghadirkan sosok kepartaian dan memerankan diri sebagai miniatur Nahdatul Ulama (NU) di panggung politik nasional.
Mengapa demikian ? Karena NU adalah entitas yang sudah dan akan terus merajut nilai-nilai keagamaan (ketuhanan). kemanusiaan, memperjuangkan kesatuan dalam keberagaman berbangsa, nilai keadilan dan kedamaian untuk terus hidup dan berkembang. Ketika perpolitikan nasional tidak lagi memberi panggung bagi NU untuk memerankan diri secara penuh maka PKB harus mengambil utuh peran profetik itu pada gelanggang yang diberikan.
NU bukanlah sebuah entitas beku, mati, tanpa jiwa. NU memiliki spirit perjuangan yang terus hidup dan dihidupi. Visi kemanusiaan yang beradab akan menyuburkan solidaritas, toleransi, dan harmoni sosial dalam masyarakat. Dengan itu, kehidupan beragama kita akan jauh lebih konstruktif.
NU terus merajut nilai-nilai universal, yang mengarahkan implementasi sila ketuhanan yang memberi aksentuasi pada religiositas yang beradab, konstruktif, dan inklusif. Tak hanya itu, visi kemanusiaan juga menjadi kategori moral-etis yang mendasari nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Maka, penguatan nilai-nilai itu dalam praktik politik berbangsa mestinya menjadi prioritas, baik dalam berketuhanan (beragama), bernegara, berdemokrasi, maupun dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat ·
Itulah sebabnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kendaraan politik kaum Nahdliyin, digariskan oleh NU untuk mempedomani Mabda’ Siyasi sebagai aturan tertinggi. Hal ini didasari keyakinan kuat bahwa PKB nantinya tidak rapuh terbuai pragmatisme yang memabukkan. PKB sebagai representasi NU konsisten berpegang pada keyakinan atas Islam Aswaja an-Nahdliyyah serta nalar kritis yang dikembangkan secara kontekstual.
Konsep kekuasaan politik yang hendak ditenun melalui PKB bukanlah kekuasaan memabukkan dalam mengejar harta semata. Bagi NU dunia beserta dinamika bermasyarakat-bangsa, beragama, dan berorganisasi (berjamiyyah) baik terkait kekuasaan, jabatan, keuntungan, ketidakberuntungan, keberhasilan, ketidakberhasilan, kekayaan, dan lain sebagainya, hanyalah sebuah wasilah (sarana), bukan ghoyah (tujuan). Sementara tujuannya adalah kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan lahir-batin serta puncak tujuan adalah mencari ridla Allah SWT.
Memedomani Mabda’ Siyasi, menegaskan pula bahwa konsistensi NU pada tugas dan kewajiban ulama sebagai pewaris perjuangan Nabi SAW dengan selalu meneladani para salafussholihin dalam menjaga kedaulatan agama (Islam Aswaja) dan kebangsaan (NKRI). Semua kondisi itu dihadapi para ulama-kiai dan NU dengan keteguhan sikap, kecerdikan, dan nalar kritis, yang tidak berubah. Apakah PKB masih membawa misi suci ini dalam perjuangan politiknya ? Apakah para petinggi PKB masih memedomani nilai-nilai luhur yang dihidupi oleh NU dalam platform politik rahmatan lil alamin dan praktik kekuasaan ?
NU Sebagai Peneguhan Nasionalisme
Sebagai seorang pemeluk iman Kristiani, politik bagi kami adalah sebuah bentuk kerasulan. Sama seperti NU menjadikan politik dan kekuasaan hanya sebagai sarana untuk menciptakan kemaslahatan bersama. Kami memilih bergabung dengan PKB karena universalitas, kesemestaan nilai yang dirawat oleh NU kami percaya ada juga pada PKB.
Jujur kami akui bahwa NU adalah sebuah organisasi keagamaan terbesar dan tertua di Indonesia, yang telah begitu lama menenun kebinekaan Indonesia dalam mozaik nasionalisme bercorak keberagaman. Lebih dari itu, kami akui pula bahwa sebagai bagian elemen sosial yang sering disebut sebagai kelompok minoritas, secara intuitif kami benar merasakan bahwa NU telah memperteguh kepercayaan kami (kelompok minoritas) pada nasionalisme, kebersamaan, pada toleransi, kegotongroyongan dan sikap saling menghargai.
Bersama NU, kata-kata tersebut menjadi nyata, bertenaga dan hidup dalam berperilaku dan dalam pergaulan sosial. Oleh karena itu sikap berbangsa yang terus dihidupi NU, adalah komitmen luhur sekaligus butir-butir perjuangan yang terus mewujud. Bagi kami, komitmen kemanusiaan dan kebangsaan yang dirajut NU adalah tekad yang menguatkan keyakinan sekaligus kiblat yang memberi orientasi.
Bagi saya pribadi dan juga umat beragama yang lain, konsistensi dan nalar kritis yang disikapi sebagai karakter-mental dan sikap hidup kaum Nahdliyyin ini telah melahirkan kelegaan dan sikap moral berbangsa. Bahwa Indonesia sebagai Negara kesatuan dengan keberagaman yang ada di dalamnya adalah final. Sama dengan nilai Islam, Ahlusunnah waljama’ah. Bersama NU kita semaikan bersama kasih sayang semesta dalam tubuh bangsa maupun dunia. Bagi kami, tanpa NU kami bukan apa-apa jika PKB tidak lagi menjadi miniatur NU dalam panggung politik nasional.
Layak menjadi catatan bahwa dukungan PKB yang terus menguat di wilayah Timur Indonesia tidak bisa dilepaskan dari inklusifitas, pluralitas, dan konsistensi PKB dalam membumikan spiritualisme, nasionalisme religius NU dan ketokohan Gus Dur Setiap kealpaan politik yang mengabaikan eksistensi nasionalisme religius dengan pluralitas, berpotensi mencederai nurani pendukung setia PKB maupun masyarakat luas.
Keprihatinan Bersama
Sikap arogan, sikap angkuh dan menggurui, yang ditunjukkan segelintir petinggi PKB telah melahirkan keprihatinan yang meluas. Seperti itukah pemahaman para petinggi PKB terhadap hubungan kesejarahan dan ideologis dengan NU sebagai entitas yang membidani kehadirannya ?
Kekuasaan politik yang dipraktikkan PKB saat ini adalah kekuasaan memabukkan. Jabatan politik yang begitu lama digenggam hanya oleh satu atau segelintir orang, telah mengubah hakikat kekuasaan bukan lagi sebagai sarana untuk melayani tetapi menjadi sarana dalam mengejar harta semata. Kekuasaan bukan lagi sebuah wasilah (sarana), tetapi telah menjadi ghoyah (tujuan). Padahal PKB dibidani kelahirannya oleh NU untuk mewujudkan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan lahir-batin serta puncak tujuan adalah mencari ridho Allah SWT.
Laporan terhadap Saudara Lukman Edy karena kritik yang dilontarkan atas kepemimpinan Saudara Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB adalah sebuah tindakan ahistoris, tidak terpuji, arogan, dan menutup diri. Setiap penyimpangan, kelemahan, ketidakjujuran, yang merupakan nilai-nilai minus dalam kepemimpinan publik, harus dikritik secara terbuka, agar ada perbaikan. Sikap anti-kritik, dan arogan demikian harus ditertibkan, agar PKB tidak digiring lebih jauh dan menihilkan peran NU dalam sejarah kehidupan PKB.
Jabatan politik dalam tubuh PKB saat ini sangat sentralistis. Praktik kekuasaan demikian telah melahirkan “mentalitas tuan-hamba”. Para pemimpin bermental feodal dan pengikut bermental budak dan bukan kader pemimpin yang kritis dan dapat menakhodai sejarah bangsa. Masalah pengelolaan keuangan yang tidak transparan, terkooptasinya fungsi organisasi di satu tangan, dan kebobrokan lainnya, tidak terungkap ke permukaan. Para pengikut hidup dalam tekanan, hilang kemerdekaan untuk berkata jujur dan pasrah menerima keadaan. Adalah menjadi tanggung jawab NU dan tokoh-tokoh bangsa yang kritis untuk menyudahi fenomena kepemimpinan ini agar tidak menjadi sampah sejarah.
Kami percaya bahwa keprihatinan ini adalah beban sejarah. Sekecil apa pun pengaruhnya, ia tetaplah faktor penghalang yang patut disudahi. Secara historis, PKB adalah mimpi, pikiran, dan tindakan politik Nahdatul Ulama (NU). Seperti apa PKB saat ini, penyakit kekuasaan apa yang menggerogoti para elite PKB, hanya NU yang bisa menyelesaikan segalanya.(*)
Kupang, 17 Agustus 2024