Palestina—Israel ‘Two-State Solution’ or ‘One-State Solution’

Loading

Oleh: Josef Herman Wenas

Akhir-akhir ini di dunia maya mendadak muncul banyak “ahli” soal kisruh Israel-Palestina yang berbicara tentang “two-state solution.” Tetapi saya tidak melihat satu pun mereka yang bisa menjelaskan dengan fakta-fakta kenapa solusi ini gagal sejak Resolusi DK PBB No. 242 dikeluarkan pada 22 November 1967.

Ada kesan kuat para “ahli” di dunia maya itu juga tidak sungguh memahami apa kaitan Resolusi 242 dengan “British Mandate of Palestine,” yang di tahun 1937 menugaskan William Robert L. Peel (akrabnya dipanggil Lord Peel)— oleh karena itu disebut Peel Commission— to investigate the causes of unrest di wilayah Palestina yang saat itu berada di bawah administrasi Inggris.

Malahan banyak yang mengira ini soal otoritas Inggris atas jajahannya di Palestina, sebab namanya saja “Mandat Inggris”. Ini salah kaprah. “British Mandate of Palestine” itu dalam konteks Liga Bangsa-Bangsa (LBB), saat itu PBB belum ada dan LBB ini cikal-bakalnya. Ini suatu mandat dari LBB yang diberikan kepada Inggris untuk mengadministrasikan wilayah Palestina. Jadi, Inggris bertindak atas nama LBB, bukan atas nama negaranya sendiri.

Lord Peel inilah yang kemudian mengusulkan suatu rencana membagi wilayah di Palestina, satu untuk orang-orang Yahudi, satunya lagi untuk orang-orang Arab.

Setelah PBB lahir Oktober 1945, muncul apa yang dikenal sebagai “1947 UN Partition Plan,” yang diinspirasikan dari hasil kerja Komisi Peel hampir sepuluh tahun sebelumnya. Usulan rencana partisi wilayahnya sama, hanya saja khusus Yerusalem dikecualikan, diletakkan di bawah otoritas internasional.

Jadi, “two-state solution” itu bukan ide baru, itu pada prinsipnya partisi wilayah. Tapi sampai hari ini kenapa terus saja gagal jadi solusi?

What’s really happening on the ground, ini yang ingin saya bagikan.

****

Luas West Bank sedikit lebih kecil dari Jabodetabek. West Bank itu sekitar 5600 sqm (560.000 hektar); Jabodetabek sekitar 6400 sqm (640.00 hektar).

Sekarang Anda perhatikan peta West Bank di bawah, yang saya zoom-in di sekitar Yerusalem Timur dan Ramallah, sekadar untuk contoh saja. Yang di bawah kontrol Palestinian Authority adalah Area A (hijau) dan B (merah). Yang di bawah kontrol Israel,  Area C (pink) dan Yerusalem Timur.

Peta West Bank

Perhatikan beberapa crossing lines kuning yang saya tandai di peta itu (sekali lagi itu untuk contoh saja). Crossing lines itu mau menggambarkan mobilitas sosial orang Palestina dari wilayah tinggalnya menuju ke wilayah Palestina lainnya untuk berbagai urusan— tempat kerja, pasar, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya—namun harus melewati wilayah Israel. Jadi dari Area B ke Area B lainnya via Area C.

Selanjutnya ada dua foto. Foto pertama menggambarkan orang-orang Palestina harus bongkar barang dagangan mereka, oleh karena diterapkan roadblock oleh Israel, di mana mereka tidak boleh menggunakan kendaraan, harus berjalan kaki atau on foot, untuk menyeberangkan dan memuatkan barang-barang itu pada truk lain yang telah menunggu di seberang. Foto kedua, menggambarkan orang-orang Palestina harus melewati checkpoints (gardu pemeriksaan) untuk melintas di wilayah Israel, padahal mereka mau ke wilayah Palestina lainnya.

Warga Palestina melalui check points

Bayangkan begini. Anda di Jakarta, sehari-hari bekerja di bilangan Sudirman-Thamrin (anggap Area B ), tinggalnya di Cinere (Area B juga), tetapi setiap melintasi Kebayoran Baru (Area C), Anda harus lewat checkpoints dua kali sehari, pergi dan pulangnya.

Itu baru soal mobilitas sosial sehari-hari.

Yang terkait aquifiers juga masalah. 40% dari kebutuhan air Israel sekarang ini disuplai dari West Bank. Perjanjian Oslo II tahun 1995 rumit mengatur soal ini. Ada tiga aquifiers utama di West Bank: Yarkon-Taninim Aquifer, Gilboa-Bet She’an Aquifer, dan East Aquifier. Dua yang pertama flowing underground, yang terakhir melalui mata air (spring water)

Pengaturan soal jatah air bersih ini juga masalah yang harus diperjuangkan kesepakatannya. Alam di Palestina tidak seperti di Indonesia yang “kolam susu” kata Koes Plus, tinggal coblos hampir pasti keluar airnya. Dalam Perjanjian Oslo II di atas, Israel dapat jatah air empat kali lipat daripada jatah air Palestina, atau 80% dari joint-aquifer resources (total). Namun, 94% dari kedua aquafiers yang di sebelah barat itu, dialokasikan untuk Israel sepenuhnya.

Masalah lain soal energi listrik. Israel Electric Corporation (IEC) menyuplai 95% kebutuhan listrik di West Bank, hanya sekitar 5% saja yang disuplai oleh Jordan Electric Power Company (JEPCO), itu pun hanya ke Yerikho.  Palestinian Electricity Transmission Company (PETL) sekarang menjadi menjadi “sole buyer” listrik dari IEC dan mendistribusikannya ke wilayah-wilayah Palestina.

Listriknya masih pakai bahan bakar fosil, impornya dikuasai siapa? Masuknya melalui pelabuhan milik siapa? Jaringan distribusinya pasti melintasi Area C, bagaimana kesepakatannya?

Infrastruktur distribusi air dan listrik lintas antar wilayah di sisi Palestina ini yang membuat posisi negosiasi Israel menjadi lebih kuat (lihat crossing points kuning tadi). Kalau Anda jeli melihat peta West Bank keseluruhan, Area C (Israel) itu bisa ke mana saja, sekalipun harus memutar, tanpa harus melalui Area A dan B (Palestina). Tetapi tidak begitu sebaliknya bagi Palestina.

Orang-orang Palestina harus bongkar barang dagangan mereka, oleh karena diterapkan roadblock oleh Israel

The devil is in the details. Jangan cepat-cepat menyimpulkan salah satu pihak tidak setuju dengan “two-state solution.” Faktanya kedua pihak setuju, sekaligus setuju untuk tidak setuju. Urusan yang mana dulu?

****

Itulah mengapa saya katakan peta West Bank “bopengan mengerikan” dalam tulisan lalu. Mengerikan karena persoalannya pelik betul, time and again baliknya ke isu perbatasan lagi. Terutama bagi Palestina, sialnya mereka memiliki “non-contiguous territory.” Wilayah otoritasnya terpisah-pisah tidak karuan membentuk islands.

Baca : http://gardaindonesia.id/2021/05/17/ambiguitas-jokowi-retno-di-palestina/

Kalau petanya “contiguous,” bisa dipastikan persoalannya jadi jauh lebih mudah bagi formula “two-state solution.” Kenyataannya perundingan untuk mewujudan formula ini sudah sejak Camp David Accords (1978), dan berlanjut terus— mohon bersabar ini ujian— ke: Madrid Conference (1991), Oslo Accords (1993/95), Hebron Protocol (1997), Wye River Memorandum (1998), Sharm el-Sheikh, Memorandum (1999), Camp David Summit (2000), The Clinton Parameters (2000), Taba Summit (2001), Road Map (2003), Agreement on Movement and Access (2005), Annapolis Conference (2007), Mitchell-led talks (2010–11), Kerry-led talks (2013–2014)

Anda masih percaya “two-state solution”?  Itu sebabnya belakangan ini mulai dipikirkan alternatif lain yang disebut “one-state solution.”

Prinsip dasarnya sama seperti “two-state solution”, yaitu mengakui eksistensi identitas (sejarah, politik dan budaya) kedua pihak yang berseteru, bedanya hasil akhirnya bukan “dua negara, dua identitas” tetapi “satu negara, dua identitas.” Ini yang disebut konsepsi “bi-national state.

Dalam “bi-national state” itu diakui dwi-kewarganegaraan, maka implikasinya juga mengakui hak-hak warga negara terkait yang sama di mata hukum, yang diharapkan dapat menghilangkan “lagu lama” soal perbatasan, soal sumber daya alam, termasuk soal kepemilikan.

Formula ini masih spekulatif sifatnya, juga belum resmi diakomodasi oleh The Quartet (PBB, AS, Uni Eropa dan Rusia). Tetapi beberapa pemegang kepentingan di sisi Israel dan Palestina mulai melihatnya sebagai suatu kemungkinan yang menarik.

Saya akan bahas tentang hal ini pada tulisan lain. (*)

Yogyakarta 20 Mei 2021

Foto (*/istimewa)