Warga Lokal Komplain Prosedur Rekrutmen Buruh Bangunan RS Marianum Kimbana

Loading

Belu–NTT, Garda Indonesia | Puluhan warga lokal mengomplain prosedur rekrutmen tenaga buruh pembangunan gedung mega Rumah Sakit Katolik Marianum Kimbana, Desa Bakustulama, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Senin pagi, 18 Oktober 2021 pukul 10.00 WITA.

Disaksikan Garda Indonesia, puluhan warga Kimbana dan sekitarnya yang berada di lokasi sedang memprotes kebijakan pimpinan proyek (pimpro) selaku penanggung jawab, Frederikus Bele.

“Proyek ini lokasinya di Kimbana. Rekrut awal, kami yang orang asli diterima dan sudah mulai bekerja selama 2 minggu sejak tanggal 4 Oktober dengan upah harian 50 ribu per orang, sudah termasuk biaya makan minum. Sementara mereka yang dari luar Kimbana diperlakukan lebih istimewa, makan minum ditanggung sendiri, tapi dibayar 70 ribu per orang. Padahal, jenis pekerjaan sama dengan yang kami lakukan,” cerita seorang pekerja lokal.

Selain itu, warga lokal Kimbana mengeluh soal pengurangan tenaga kerja. Sejak awal, puluhan warga lokal yang ikut melamar, diizinkan masuk bekerja. Tetapi, akhirnya sebagian besar pekerja diberhentikan hingga tersisa 25 orang, dengan alasan tidak memiliki keterampilan cukup, volume pekerjaan masih rendah dan terbatasnya anggaran.

“Selama ini kami kerja angkat batu, pasir, besi, campuran dan ikat besi. Ini ‘kan kerja biasa! Terus, keahlian model apa yang mereka minta? Ini yang bikin kami tidak puas,” kata buruh lokal lainnya.

Penanggung Jawab: Kita Butuh Tenaga Terampil dan Pengalaman

Terkait informasi ini, pimpro Frederikus Bele menjelaskan, bahwa pekerjaan pembangunan gedung mega RS Marianum berstandar proyek swasta swakelola, dikelola sendiri oleh kongregasi SSpS Timor dan menggunakan tenaga terampil dan berpengalaman.

“Kita punya kriteria standar rekrutmen. Semua yang mau masuk kerja harus membuat lamaran dengan pengalaman minimal 2 tahun dan  pekerjaan minimal 3 lantai. Teman– teman semua ini tidak ada pengalaman itu. Tetapi karena mereka komplain, kita tetap terima dan fasilitasi. Dua minggu lalu, saya berhentikan 181 orang. Hari ini, yang kerja, dari luar 25 orang dan yang lokal 40 orang. Kita ada bukti, minggu lalu kita bayar mereka. Dalam perkembangan, jumlah bertambah terus. Mereka datang banyak orang karena katanya dari suster SSpS yang suruh. Tadi dalam brifing, ternyata mereka tidak bisa buktikan siapa yang suruh,” urai Fred Bele.

Situasi pengembalian syarat administratif bagi pekerja lokal yang diberhentikan

Saking banyaknya jumlah orang, lanjut Fred, pihaknya membagi para pekerja menjadi 2 kelompok, dengan rotasi masing–masing kelompok setiap 2 minggu.

Fred Bele menuturkan, bahwa sampai saat ini, tenaga dari Jawa baru 8 orang. Pekerja yang tidak berpengalaman, tetap diberikan kesempatan untuk dididik, tetapi tidak untuk 100 lebih orang sekaligus. Ketersediaan anggaran dari SSps untuk membayar pun jumlahnya terbatas. Jumlah pekerja disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Ketika volume pekerjaan bertambah, tentu orang yang dibutuhkan akan lebih banyak. Proses pekerjaannya pun dikawal dan diamankan oleh satuan Brimob Polda NTT.

Berhubungan dengan jumlah anggaran pembangunan, Fred Bele mengutarakan bahwa pekerjaan tersebut bukan proyek pemerintah, sehingga nilainya pun tidak perlu disebutkan. Dananya, murni dari SSpS Timor, bukan dana pemerintah.

Penanggung jawab Fred Bele juga mengungkapkan bahwa untuk membendung tenaga kerja lokal yang datang terlampau banyak, pihaknya berkomitmen mengeluarkan kebijakan dengan membuka nilai upah harian 50 ribu per hari tanpa makan dan minum. Sedangkan, bagi mereka yang sudah berpengalaman bertahun – tahun, diupah dengan 70 ribu per hari tanpa makan dan minum. “Ini proyek besar, kita tidak bisa main–main. Dan kami punya komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi SSpS Timor, khususnya komunitas SSpS Belu dan sekitarnya,” tandasnya.

Tenaga kerja lokal yang seharusnya dibutuhkan, imbuh Fred, hanya 25 orang. Tetapi, untuk mengakomodasi tuntutan warga lokal, maka ditambahkan menjadi 53 orang dengan ketentuan khusus. Ketika dalam proses, jikalau terdapat pekerja yang dinilai tidak bertanggung jawab dengan pekerjaan, tentu akan dilepas. Sedangkan tenaga dari luar Kimbana sebanyak 25 orang.

“Kalau kita mau ikut aturan, mereka yang tidak ada pengalaman cukup, kita tidak bisa terima. Kira – kira dengan berbuat seperti ini, SSpS punya kurang baiknya di mana? Bagi mereka 53 orang yang sudah dikasih kesempatan, bekerja harus ikut aturan dan disiplin waktu, tidak bisa seenaknya,” tegasnya.

Kepala Provinsial SSps Timor, Sr. Aloisia Teti, SSpS menambahkan, bahwa spirit SSpS adalah pemberdayaan penduduk lokal. Namun, dalam konteks penerimaan tenaga buruh lokal dalam proyek mega berlantai 3 tersebut, tetap disesuaikan dengan kebutuhan.

“Kami sudah brifing tanggal 4 Oktober 2021 tentang tata tertib, salah satunya yang saya anggap cukup menantang adalah keadaan alam dan keterampilan para pekerja. Kami beberkan bahwa kalau mau bekerja, maka upahnya 50 ribu per hari tanpa makan dan minum. Setelah seminggu bekerja, kami ambil keputusan untuk membatasi jumlah buruh karena yang kami butuh tidak bisa sampai 100 lebih orang dengan volume pekerjaan rendah. Hal yang sangat tidak masuk akal, kalau kami harus mengakomodasi semua orang yang datang. Ini, proyek SSpS, karena itu harus taat tata tertib SSpS,” papar Sr. Aloisia.

Untuk waktu pekerjaan, enam hari dalam seminggu, mulai pukul 08.00–17.00 WITA. Jam istirahat, pukul 12.00–13.00 WITA. (*)

Penulis + foto: (*/Herminus Halek)