Tantangan dan Peluang Produksi Benih Jagung Hibrida di NTT

Loading

Oleh : Emmanuel Richardo, SP, Pengawas Benih Tanaman Muda Anggota Ikatan Pengawas Benih Tanaman Indonesia

Produktivitas pertanian khususnya jagung di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam satu dekade terakhir masih sangat rendah di kisaran 2,633 ton/ha jika dibandingkan dengan produksi nasional yaitu 5,241 ton/ha. Salah satu penyebab rendah produktivitas jagung tersebut adalah masih rendahnya penggunaan benih unggul bermutu bersertifikat.

Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam beberapa tahun terakhir mendatangkan sekitar 1.000 (seribu) ton benih jagung hibrida setiap tahun yang didukung pembiayaannya oleh dana APBN Kementrian Pertanian dan juga APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten dalam rangka mendukung peningkatan produksi jagung, di samping pengembangan jagung komposit yang umumnya didominasi oleh jagung varietas Lamuru termasuk didalamnya untuk mendukung Program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS).

Dengan menanam benih jagung hibrida yang mempunyai potensi produksi tinggi lebih kurang (7s/d 12)ton/ha diharapkan mampu meningkatkan produktivitas jagung di NTT. Kalau kita dikalkulasikan dari 1.000 ton benih jagung hibrida jika setiap hektar membutuhkan 20—25 kg/ha, maka akan diperoleh luas areal pertanaman sebesar 40.000 hingga 50.000 ha yang apabila rata-rata produksi 10 ton/ha jagung pipilan kering, maka kita akan memperoleh 400—500 ribu ton dalam 1 (satu) musim tanam; suatu angka yang cukup tinggi sekaligus dapat meningkatkan rata-rata produksi jagung di NTT.

Dari 1.000 ton benih jagung hibrida yang ditanam di NTT seluruhnya didatangkan dari luar NTT karena sampai saat ini NTT belum memproduksi benih jagung hibrida di mana harga benih jagung hibrida di pasaran terbilang tinggi di kisaran Rp.55.000/kg sampai dengan Rp.100.000/kg tergantung jenis dan varietasnya yang kalau diambil rata-rata Rp. 70.000/kg, maka sekitar Rp.70 miliar uang benih jagung hibrida tidak bisa kita tangkap karena harus membelanjakan benih jagung hibrida tersebut di luar NTT.

Memang sangat disayangkan apabila setiap tahun kita selalu membelanjakan puluhan miliar rupiah untuk benih jagung saja belum termasuk sarana produksi lainnya semisal pupuk dan obat-obatan, padahal sebenarnya baik regulasi maupun kesempatan terbuka lebar untuk dilakukannya produksi benih jagung hibrida di NTT minimal dari 70 miliar uang benih jagung, masyarakat petani khususnya penangkar benih di NTT bisa kecipratan dana tersebut karena menghasilkan benih jagung hibrida sekaligus meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang akan meningkatkan  pendapatan semua stakeholder yang terlibat dalam perbanyakan benih jagung hibrida yaitu Pemulia/Industri Benih, Pemerintah yang menyiapkan fasilitas processing dan peyimpanan benih juga Pengawas Benih Tanaman dan Para Petani Penangkar yang melakukan budi daya benih jagung hibrida.

Ada beberapa tantangan dalam mengembangkan benih jagung hibrida di NTT yang saya identifikasi sebagai berikut:

  • Kegiatan produksi benih ideal dilakukan di musim kemarau (April – Juni) di mana saat pembungaan dan penyerbukan tidak boleh ada hujan sehingga benih dapat dikeringkan secara optimal sampai kadar air (KA) 12% agar benih produksi dapat disimpan lama;
  • Industri benih yang menguasai induk atau tetua dari benih jagung hibrida sehingga kelompok tani penangkar  harus bermitra;
  • Butuh waktu untuk menguasai teknik produksi benih jagung hibrida seperti staggering, detasselling, supplementary pollination dan rogouing yang tidak ada dalam kegiatan budi daya jagung komposit;
  • Alih pengetahuan dan ketrampilan dari pemulia/ industri benih kepada petani penangkar dalam tenggat waktu yang terbatas;
  • Produksi benih jagung mayoritas dilakukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah;
  • Banyak benih jagung hibrida yang didatangkan dari Jawa tidak tepat waktu dan mengalami penurunan mutu benih akibat transportasi;
  • Pengawas Benih Tanaman di NTT yang belum memahami teknik perbanyakan benih dan cara pemeriksaan sejak pertanaman sampai processing benih jagung hibrida.

Dari beberapa tantangan di atas, itu juga menjadi peluang bagi perbanyakan benih jagung hibrida di NTT yang dapat didefinisikan sebagai berikut :

  • NTT merupakan daerah tropis dengan musim kemarau yang lebih panjang dari musim hujan;
  • Induk atau tetua benih jagung hibrida benih jagung hibrida yang dihasilkan oleh para pemulia di Badan Litbang Pertanian dapat bermitra dengan para penangkar di NTT;
  • Teknik produksi benih jagung hibrida dapat dikuasai oleh para penangkar di NTT;
  • Alih pengetahuan dan ketrampilan dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan penangkar di NTT;
  • Dapat dilakukan produksi benih jagung hibrida di NTT. Dengan melakukan produksi benih jagung hibrida di NTT dapat disalurkan ke masyarakat petani tepat waktu dan meminimalisir penurunan mutu karena tidak melalui transportasi yang panjang;
  • Perlu dilakukan Bimbingan Teknis perbanyakan benih jagung hibrida untuk para Pengawas Benih Tanaman.

Melihat tantangan dan peluang produksi benih jagung hibrida di NTT seperti yang saya uraikan di atas, maka sudah tidak bisa lagi ditawar saat ini Pemerintah NTT harus menggaet industri benih yang mayoritas berada di Jawa untuk mau bermitra dengan pemerintah dan penangkar benih di NTT dengan tentunya menyiapkan beberapa fasilitas pendukung misalnya unit pengolah benih dan gudang penyimpanan yang representatif sehingga produksi benih jagung hibrida dapat dilakukan di NTT dan pemerintah maupun penangkar mendapatkan nilai tambah.

Melalui kegiatan seperti Pengembangan Petani Produsen Benih Tanaman Pangan (P3BTP) Jagung Hibrida Berbasis Korporasi Petani Varietas Litbang Kementerian Pertanian dapat memberikan kontribusi benih jagung juga membantu para petani khususnya petani penangkar yang kesulitan dalam akses permodalan sehingga dapat membantu memfasilitasi para petani penangkar untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupannya.

Nilai tambah yang dimaksudkan adalah dengan adanya kemitraan dalam memproduksi benih jagung hibrida di NTT yang pasti para penangkar benih selain mendapat pengetahuan dan ketrampilan juga hasil produksi benih jagung hibrida akan dihargai dengan nilai jual yang lebih baik di kisaran Rp.4.000 hingga Rp.6.000 per kg tongkol tergantung dari jenis tetua atau induk yang ditanam.

Selain itu, para Pengawas Benih Tanaman di NTT harus terlebih dahulu menjalani bimtek produksi benih jagung hibrida agar dapat bersama-sama dengan industri benih mengawal dan mengawasi perbanyakan benih jagung hibrida sehingga dapat menghasilkan benih jagung hibrida yang bermutu dan bersertifikat di NTT.

Dengan  memproduksi benih jagung hibrida di NTT dapat mengurangi ketergantungan benih jagung dari luar dan pada saat yang sama para stakeholder perbenihan di NTT memperoleh berbagai keuntungan baik itu pengetahuan dan ketrampilan bagi para petani penangkar dan Pengawas Benih Tanaman juga peningkatan pendapatan baik itu bagi pemerintah yang menyiapkan fasilitas procsesing benih maupun para petani penangkar yang melakukan budi daya yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan di Nusa Tenggara Timur.

Semoga

Kupang, Medio Januari 2022