Berjualan Saat Covid-19, Pedagang Takjil Minta Kebijakan Pemerintah

Loading

Kota Kupang, Garda Indonesia | Kudapan Takjil Ramadan di daerah Bonipoi, telah ada dan menjadi budaya kuliner sejak 15 tahun lalu, selalu di setiap Ramadan, bakal berjejer para pedagang yang menjajakan takjil (jajanan aneka ragam kue, kolak, dan es buah) menu berbuka puasa bagi umat Muslim di Kota Kupang. Tak ketinggalan, warga Non Muslim pun berburu aneka takjil tersebut yang digelar di trotoar Jalan Urip Sumoharjo, persis di depan Kantor Bank Mandiri.

Namun, suasana saat ini berbeda dengan Ramadan sebelumnya. Di Ramadan 1441H, dampak Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) membatasi ruang gerak interaksi sosial (social distancing) dan interaksi fisik antar sesama atau physical distancing.

Terkait peraturan yang diterapkan secara nasional maupun internasional tersebut, menyebabkan kondisi berjualan para pedagang takjil Ramadan di sekitar Bonipoi tersebut dibatasi bahkan dilarang berjualan di depan Bank Mandiri Urip Sumoharjo yang terletak di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara (NTT).

Terpisah, Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore kepada Garda Indonesia, usai menerima secara simbolis bantuan APD Standar Covid-19 dari Wahana Visi Indonesia (WVI) pada Rabu, 29 April 2020 di Dinas Kesehatan Kota Kupang, mengatakan akan menggelar rapat koordinasi terkait kondisi tersebut.

“Kita sekarang mau rapat koordinasi untuk mencari jalan keluar karena bagaimana pun mereka juga perlu dibantu tetapi dengan protokol yang harus kita ikuti. Sehingga sebentar kita akan mencari solusi bersama dengan pak Kapolres, pak Dandim dan semua jajarannya. Sekarang kami mau pertemuan di ruang pak Kapolres. Imbauan diberikan setelah diadakan rapat koordinasi,” ungkapnya.

Apa alasan pedagang takjil Ramadan di Bonipoi masih tetap berjualan, meski telah diimbau bahkan dilarang oleh Satpol PP?

Ibu Ida (berkerudung hijau), Pedagang Takjil Kampung Solor saat berjualan di depan Bank Mandiri Urip Sumoharjo

Simak petikan wawancara antara Garda Indonesia dengan pedagang takjil Ramadan (Ibu Astrid dan Ibu Ida) pada Rabu siang, 29 April 2020 di bawah ini:

Garda Indonesia, Saya sudah wawancara dengan Wali Kota menyangkut berjualan di tempat ini, apakah sudah ada imbauan dari pemerintah untuk tidak berjualan di sini? Kenapa memutuskan untuk masih berjualan di sini?

Ibu Astrid: Saya juga kurang tahu soalnya kakak saya masih rapat di atas, kami hanya berharap agar dapat izin karena ini satu tahun satu kali. Kami juga mencari uang untuk lebaran. Jadi mohon perhatian diizinkan untuk berjualan. Kami orang susah dan hanya berharap di bulan suci Ramadan saja. Kami berharap agar pak Wali Kota berbesar hati untuk mendengar kami rakyat miskin ini yang berjualan setahun sekali. Mohon diberi izin supaya kami semua bisa berjualan. Kalaupun tidak diizinkan, saya minta keadilan supaya semua tidak berjualan. Kalau kami di kampung Solor tidak boleh berjualan mestinya adil, baik itu yang di Airmata, Kuanino, bahkan pasar pun harus tutup kalau kami diwajibkan untuk tutup.

Garda Indonesia, Apakah semalam pihak berwajib datang kesini untuk melarang berjualan?

Ibu Astrid : Mereka melarang untuk tidak boleh berjualan!

Garda Indonesia: Apakah mereka mengatakan berjualan tetapi membuat jarak?

Ibu Astrid : Ada, kami diberi imbauan untuk atur jarak, memakai masker, sarung tangan dan menyediakan air cuci tangan. Semua itu sudah kami lakukan tetapi tetap salah. Maksudnya kami sudah lakukan semua imbauan dan aturan tersebut tetapi tetap dilarang untuk tidak berjualan.

Ibu Ida: Kenapa dari awal bulan puasa kami tidak dilarang untuk berjualan? Kami sudah terlanjur belanja untuk berjualan.

Garda Indonesia: Saya peroleh informasi bahwa pedagang melakukan pinjaman di koperasi untuk berjualan?

Ibu Ida: Iya, memang. Kami semua mengambil modal dari yang punya modal. Kalau kami disuruh tutup bagaimana dengan pengembalian modal kami.

Wawancara Garda Indonesia dengan Ketua Koordinator Pedagang Takjil Ramadan Bonipoi :

Garda Indonesia, Apakah kemarin sudah ada koordinasi dengan pihak Pemkot terkait penjualan di sini seperti apa, mungkin ada imbauan dari mereka?

Faizah Shayril: Dari Pemkot belum ada, kalau dari provinsi ada, itu dari pak Kasat Pol PP Provinsi bersama rombongan dengan Kadis Perdagangan, Pak Nasir Abdullah. Mereka datang dan bernegosiasi dengan kita di sini, warga Kampung Solor khususnya karena semua yang berdagang di sini warga Kampung Solor. Jadi ada kesepakatan. Semua yang dianjurkan oleh pemerintah sudah kami ikuti mulai dari cuci tangan, masker, kaus tangan, dan jaga jarak juga sudah kami jalankan.

Biasanya kan padat tapi ini mulai berkurang, masih terlihat padat karena satu rumah dua orang berarti dua meja karena tergantung dari mereka. Ada yang pinjam modal untuk usaha ya usaha. Jadi untuk poin yang diwacanakan oleh pemerintah kan harus stop, kita bisa stop, hari ini pun bisa, cuma apakah pemerintah bisa menjamin apa tidak?. Menjamin dalam arti ada saudara kita yang pinjam dana untuk modal dari gadai emas, gadai motor, gadai BPKB, sampai pinjam koperasi harian bahkan ada yang pinjamannya sampai 10 juta.

Koordinator Pedagang Takjil Ramadan, Faizal Sahyril (berbaju kaos kuning dan bermasker)

Apakah semua itu pemerintah bisa realisasi atau tidak?. Tadi malam kami sudah bicara dengan Kapolresta juga, kami taat akan hukum, tapi apakah pemerintah bisa maklum keadaan kami atau tidak? Jadi kalau kami warga disuruh berhenti bisa, jangankan besok, hari ini pun bisa, tapi apakah bisa datanya kita diminta hari ini selesai atau besok jangan hanya bicara bilang bisa. Hasil akhirnya tidak ada dan kalau berhenti kami cukup aman di sini karena tidak ada yang duduk makan semua bungkus bawa pulang.

Ini bukan prioritas umat muslim saja tetapi untuk semua kalangan membeli setiap tahunnya. Kami sudah 15 tahun berjualan di sini. Kalau mau ditutup, semua ditutup baik itu pedagang yang berjualan pagi, siang, maupun malam semua harus ditutup. Interaksi yang paling fatal adalah pasar karena semua bahan mentah dan bahan jadi dijual di sana. Kalau mau ditutup sekalian semua ditutup, tapi sekali lagi apakah pemerintah bisa menjamin warga Kampung Solor atau tidak?

Cuma yang penting semua itu direalisasikan dengan tuntutan kita, karena tuntutan kita tidak banyak, apa bisa melunasi hutang kita? terus keuntungan kita sehari berapa kalau disuruh berhenti, tidak sudah muluk-muluk keuntungan cukup modal saja dibayar seperti koperasi harian yang sehari 50 ribu, 30 ribu, 60 ribu yang memiliki banyak varian.

Apakah itu semua bisa dilakukan pemerintah kalau menyuruh kami berhenti?. Kalau tidak bisa diizinkan, kami satu bulan saja, apa yang pemerintah anjurkan sudah kami ikuti. Sudah 15 tahun kami berjualan di sini tidak ada pembeli yang duduk makan ataupun nongkrong, yang berbuka puasa juga tidak kecuali sebelum Taman Sonbai ini jadi. Setelah ada taman ini dari tahun kemarin setelah Pak Jeriko mulai aktif tata kota, tidak ada lagi yang duduk atau nongkrong makan di sini.

Di sini, kami semua sepakat untuk melarang jangan sampai ada kemacetan, menjaga kebersihan, jangan terlalu semerawut pokoknya kita juga membantu petugas dari kepolisian. Kita arahkan kendaraan untuk parkir di samping katedral atau sebelah kanan jalan supaya membantu pihak kepolisian agar tidak terganggu untuk mengurus kemacetan di sini.

Garda Indonesia, Apakah Pak ditunjuk oleh Satpol PP untuk mengoordinasikan pedagang takjil di sini?

Faizah Shayril : saya ditunjuk oleh Kasat Pol PP Provinsi karena mewakili dari awal. Ibu saya berjualan di sini bersama adik iparnya. Kebetulan saya ada kemarin malam sehingga ditunjuk sebagai koordinator untuk bertanggung jawab mengatur sesuai arahan bapak-bapak pemerintahan pusat, tapi kalau dari kota tadi belum kesini. Adik sepupu saya mengatakan bahwa pihak dari pemerintah kota datang lagi dengan alasan kenyamanan pejalan kaki atau penggunaan trotoar.

Garda Indonesia, Apakah mereka menegur dan melarang berjualan di sini?

Faizah Shayril : Kenapa baru tahun ini ditegur sedangkan dari tahun-tahun sebelumnya tidak dilakukan. Kami bukan bandel tapi ini berdasarkan realitas, selama 14 tahun sebelumnya kami berjualan di trotoar, di depan kantor bupati lama, di aspal, tapi kenapa kami yang harus disoroti. Itulah yang membuat kami tidak menghargai penyampaian dari pihak pemkot tadi, jadi mereka bilang akan balik. Kami berdagangan dua kali dalam satu minggu, kalau mau larang berjualan terus barang mentah yang sudah kami beli seperti minyak goreng, tepung, telur, pisang mau dibawa ke mana?

Penulis, editor dan foto (+rony banase)