Saraswati: Pemerkosaan dalam Pacaran Kerap Terjadi dan Bukan Salah Korban

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Belakangan ini, ramai diperbincangkan sebuah kasus pemerkosaan dan pelacuran yang terjadi di Bekasi. Diberitakan bahwa tersangka pelaku, AT (usia 21 tahun) telah berpacaran dengan PU (usia 15 tahun) selama 9 bulan, namun sayangnya hubungan tersebut penuh dengan kekerasan yang dialami oleh korban.

Saat keluarga korban membawanya ke Kepolisian untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya terungkaplah berbagai kekejaman yang diduga dilakukan oleh pelaku terhadap korban, mulai dari pemerkosaan sampai dengan pemaksaan pelacuran.

Pendiri Yayasan Parinama Astha (ParTha), Rahayu Saraswati Djojohadikusumo pada Sabtu, 29 Mei 2021 mengungkapkan dari informasi yang diperoleh, dampak yang dialami oleh korban adalah secara mental, fisik dan seksual, di mana sang korban pun harus melalui tindakan medis.

Yang sangat memprihatinkan, namun tidak mengagetkan, imbuh Rahayu Saraswati adalah upaya pelaku untuk berdamai dengan cara menikahi korban. Kata-kata ‘bertanggung-jawab’ dalam hal ini menurut saya adalah topeng untuk menutupi keinginan sang pelaku untuk menghindari hukuman.

“Kenapa tidak mengagetkan?” tanya Rahayu Saraswati, karena hal seperti ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Teralu sering, sebagai aktivis anti perdagangan orang, kami mendengar kesaksian para pendamping korban pemerkosaan di daerah-daerah yang harus berhadapan dengan pihak keluarga dan bahkan aparat penegak hukum yang justru mendorong agar pelaku dan korban menikah, semata-mata agar terhindar dari stigma dan aib, dan juga menghindar adanya tuntutan hukum dan prosesnya yang bisa berkepanjangan. Pandangan dan sikap seperti ini harus disudahi!

Pemerkosaan di dalam hubungan berpacaran, urai Saraswati kerap terjadi, namun di negara seperti Indonesia, pembuktian masih sangat berat karena beban ditekankan kepada korban untuk membuktikan bahwa kekerasan seksual itu betul terjadi. Kekerasan seksual ini bisa terjadi saat ada intimidasi dan pemaksaan dari pihak pelaku, bahkan sering kali tidak terlepas dari kekerasan fisik.

Rayuan seperti: “Kalau kamu sayang sama aku, kamu harusnya mau berhubungan intim denganku” bukan hal yang aneh lagi. Belum lagi jika setelah kejadian, pelaku mengintimidasi sang korban dengan “revenge porn” di mana pelaku mengancam korban bahwa jika dia tidak mau melayaninya lagi atau jika dia memberitahukan kepada orang lain, maka foto atau video yang diambilnya akan disebar luaskan. Karena terlepas dari adanya penegakan hukum bagi pelaku sebagai penyebar konten pornografi maupun kondisi mental korban saat kejadian, sang korban pasti tetap akan terkena dampak sosial.

Dalam kasus AT dan PU, berdasarkan bukti psikologis dan fisik, serta kesaksian korban, tegas Saraswati seharusnya sudah cukup untuk mendorong aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan dengan menggunakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

“Saya beserta Yayasan Parinama Astha mendukung adanya penjatuhan hukuman yang seberat-beratnya kepada tersangka pelaku AT. Namun, jangan dilupakan bahwa ada pelaku-pelaku lain yang masih lepas dari jerat hukum, yaitu mereka yang melakukan pemerkosaan terhadap PU selama dirinya mengalami pemaksaan pelacuran oleh pelaku,” tegas Rahayu Saraswati yang konsisten berjibaku sebagai aktivis perempuan dan anak.

Setiap dari mereka berdasarkan undang-undang yang disebut telah melakukan hubungan intim dengan anak usia di bawah 18 tahun dan tentunya melakukannya dalam konteks pelacuran dan eksploitasi seksual sehingga masuk dalam kategori pelaku perdagangan anak. “Kami meminta agar pihak aparat penegak hukum juga menggunakan kekuatan Cyber Crime Unit untuk mengejar para pengguna jasa dan klien perdagangan anak,” pintanya.

Terakhir, tak kalah pentingnya adalah proses pemulihan dan hak restitusi bagi korban. Sebaiknya pihak kepolisian dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diamanatkan oleh UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan keadilan dan pemenuhan hak bagi korban dan keluarganya.

“Yayasan Parinama Astha yang fokus bergerak dalam perlawanan perdagangan orang akan terus mengawal prosesnya kasus ini sampai tuntas,” tandas Rahayu Saraswati. (*)

Sumber berita dan foto (*/tim)

Editor (+roni banase)