Selayang Pandang Biboki—Nekaf Mese Ansaof Mese

Loading

Oleh : RD. Mikhael Valens Boy

Pengenalan akan adat istiadat dan kebudayaan ‘purba’ dari sebuah masyarakat tradisional membantu masyarakat modern menemukan dan mengenal ‘akar-akar’ filosofi hidupnya sendiri. Toh, manusia zaman dahululah yang ‘melahirkan’ manusia zaman sekarang.

Ada banyak pola berpikir dan bertindak manusia modern yang sesungguhnya berakar pada budaya dan peradaban yang telah dihayati oleh leluhur-leluhurnya dari ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Ada satu fenomena sosial-politik yang cukup menarik dari masyarakat Biboki di Timor Tengah Utara.

Dalam setiap Pilkada di mana orangnya dilibatkan, fenomena “nekaf mese, ansaof mese”, yaitu fenomena persatuan dan persaudaraan yang iklas serta kebulatan tekad untuk memenangkan orangnya sangat tinggi pada semua lapisan dan strata masyarakat Biboki. Mengapa? Untuk menjawab fenomena ini, izinkan saya melakukan satu tinjauan akan ‘masa lampau’ Biboki yang tetap terpelihara sebagai ‘api kehidupan’ bagi kebanyakan masyarakatnya hingga hari ini. Saya ingin menghadirkan kembali ‘roh dan jiwa’ masyarakat tradisional Biboki, yang menjadi ‘prinsip dan kekuatan’ manusia Biboki zaman sekarang.

Analisis ini juga didasarkan pada Skripsi Sarjana Muda saya di STF/TK Ledalero, Flores pada 1983 berjudul: “Sistem Politik Orang Biboki-Timor”. Skripsi saya ini diinspirasikan pula oleh karya H.G. Schulte Nordholt, yang berjudul, ‘The Political System Of Atoni Of Timor’, atau dalam bahasa aslinya, Belanda: ‘Het Politieke Systeem Van de Atoni Van Timor’ (1966).

Biboki Nekaf Mese Ansaof Mese

Ada istilah adat masyarakat tradisional Biboki yang berbunyi: “Nekaf Mese, Ansaof Mese – Tah Hunaka Mese”, Tiun Oemata Mese’. Istilah ini saya terjemahkan secara harafiah, ‘satu hati, satu dada – makan dari rumpun rumput yang satu, minum dari mataair yang satu /sama’. Inilah salah satu filosofi masyarakat tradisional Biboki, yang membuat masyarakat Biboki mempunyai “naluri dan jiwa” untuk “bersatu dan bersaudara” khususnya di antara mereka, dan serentak juga memampukan mereka untuk “bersatu dan bersaudara” dengan semua orang, baik dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan maupun dalam  konteks kehidupan menggereja.

Masyarakat Biboki sekarang ini terhimpun dalam 6 (enam) kecamatan. Dahulu hanya dua: Kecamatan Biboki Utara dengan ibukotanya Manumean, yang kemudian dipindahkan ke Lurasik, dan Kecamatan Biboki Selatan dengan ibukotanya Manufui. Sebelumnya, ketika Kabupaten Timor Tengah Utara masih dalam pola Swapraja, seluruh teritorial Kerajaan Biboki merupakan hanya satu Swapraja yaitu Swapraja Biboki dengan ibukotanya Manufui. Sekarang ini sudah ada enam Kecamatan di Biboki. Kecamatan Biboki Utara dimekarkan menjadi tiga, yaitu Biboki Utara dengan ibukotanya Lurasik, Biboki ‘Feot-Leu’ (Saudari Keramat) dengan ibukotanya Manumean, dan Biboki ‘An-Leu’ (Putra Keramat dengan ibukotanya Ponu. Biboki Selatan pun dimekarkan menjadi tiga: Kecamatan Biboki Selatan dengan ibukotanya Manufui, Kecamatan ‘Moen-Leu’ (Saudara Keramat) dengan ibukotanya Mena-Kaubele, dan Biboki ‘Tanpah’ (Penerobos Bumi) dengan ibukotanya di Oenopu. Ada filosofi di balik nama-nama dari Kecamatan-Kecamatan yang dimekarkan ini. Biboki ‘Moen-Leu’, ‘Feot-Leu’, ‘An-Leu’, dan ‘Tanpah’. Penamaan Kecamatan-Kecamatan baru ini menampakkan filsafat masyarakat Biboki yang sangat menjunjung tinggi ‘kosmopolitan’ kekeluargaan dan kekerabatan. Istilah ‘Mone-Feto-Anah’, yang artinya ‘Saudara-Saudari-Anak’ menunjukkan adanya spiritualitas kekeluargaan dan kekerabatan dalam mengelola kehidupan bersama dan dalam pemerintahan. Filosofi “afinitas dan afilialitas”, yaitu budaya “persamaan, pertalian keturunan, bergabung dan bersatu” hidup dan kuat dalam masyarakat Biboki.

Budaya “afinitas dan afilialitas” masyarakat Biboki bersumber juga pada sistem-sistem kekeluargaan yang telah dihayati sejak ratusan tahun yang lalu oleh leluhur-leluhur orang Biboki dalam pola hubungan ‘feto-mone, olif-tataf, bae feto-bae mone’, yaitu pola hubungan ‘saudara-saudari, adik-kakak, ipar perempuan-ipar laki-laki’. Pola hubungan seperti ini tidak hanya berada dalam tatanan “darah dan perkawinan”, tetapi juga dalam tatanan ‘sosial-politik’. Suku-suku dan marga-marga membangun hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan persahabatan di antara mereka berdasarkan “perjanjian, kesepakatan, jasa dan persahabatan”.  Bentuk-bentuk pertalian dalam berbagai dimensi hidup yang dijiwai  oleh pola-pola hubungan tradisional ‘feto-mone, olif-tataf, bae feto-bae mone’ ini yang telah menjadi roh dan jiwa dari persatuan dan persaudaraan masyarakat Biboki hingga hari ini.

Ada istilah adat lain dari masyarakat tradisional Biboki yang biasa saya dengar dari mulut marga saya dari garis keturunan ibu, ‘Tmaneak’, adalah ‘Tmaneak Usif, Tmaneak Tob’, artinya ‘Mengasihi Raja, Mengasihi Orang Kebanyakan’. Dalam istilah adat ini terkandung filsafat “mengasihi manusia” dari segala strata dan semua golongan’. Inilah “keuniversalan manusia Biboki”, yang telah menjadi landasan persatuan dan persahabatan mereka dengan semua orang dari segala latarbelakangnya. Raja tetap raja, rakyat tetap rakyat, tetapi mereka semua adalah “manusia yang dikasihi”.

Filosofi ‘tmaneak usif, tmaneak tob’ bernilai dan  merupakan filosofi ‘kekristenan’ dari masyarakat tradlsional Biboki. Sebelum tiba agama Kristen melalui bangsa Portugis dan Belanda di Timor, leluhur-leluhur manusia Biboki sudah menemukan dan menghadirkan “nilai kesamaan dalam kemanusiaan” bagi semua orang. Satu penemuan dan terobosan yang luarbiasa dalam konteks manusia, budaya dan peradaban “purba”. Inilah salah satu landasan “keberanian dan kemuliaan’ manusia Biboki”: ‘Merah menyala dalam kobaran api cinta kasih’! Mungkin karena itu, walau masyarakat Biboki adalah “masyarakat adat”, namun darinya telah ‘lahir’ banyak imam. Adatnya keras, tetapi hatinya mulia!

Mengapa Biboki selalu “bersatu dan bersaudara”, yaitu ‘nekaf mese, ansaof mese’? Karena mereka selalu mewarisi sejarah “perjanjian dan kesepakatan” leluhur-leluhurnya untuk menjadi satu komunitas adat dalam naungan ‘Neno Biboki, Funan Biboki’. Kesetiaan kepada “janji dan kesepakatan” para leluhur masyarakat tradisional Biboki, telah menghantar manusia Biboki sampai pada ‘kekinian’ yang bersatu dan bersaudara. ‘Nekaf mese, ansaof mese. Tah toko hunaka mese, tiun toko oemata mese. Tmaneak usif ma tmaneak tob’ : “Sehati, Sejiwa. Makan dari Ladang yang sama, Minum dari Mata Air yang sama. Mengasihi Raja dan Serentak Mengasihi Rakyat”.

Proficiat Biboki!

Foto utama oleh roni banase