Enam Dekade Anak Negeri Flobamora Menganyam Asa

Loading

Oleh : Yucundianus Lepa

Sebuah pesan WhatsApp masuk ke mobilephone saya. Seorang Sahabat dekat, seorang tokoh masyarakat Flobamora memberi respons yang sangat menarik. …”saya telah mengikuti tulisan berjudul Bae Sonde Bae Flobamora : Sebuah Refleksi. Namun, saya belum menemukan apa yang sesungguhnya menjadi bahan refleksi yang hendak dihadirkan tulisan tersebut untuk kita. Apakah evaluasi program kerja para gubernur dari W J Lalamentik hingga Viktor Bungtilu Laiskodat atau Fanatisme Anak Negeri Flobamora ?

Saya menyambut kritik ini sebagai cubitan yang menggoda. Tidak saja karena judul artikel yang dinilai olehnya menarik dan menggelitik. Tetapi saya berkesimpulan bahwa di ulang tahun ke-63 Provinsi NTT, kita sebagai anak negeri memiliki kepedulian yang sama. Masing-masing kita bertanya pada diri sendiri, apa yang dapat kita lakukan sehingga bumi Flobamora ini terus melangkah maju?, menatap masa depannya penuh gairah dengan menjadikan berbagai catatan perjalanan sejarah sebagai pelecut semangat juang.

Jika Presiden Soekarno sang Founding Fathers meyakinkan kita bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menyeberangkan bangsa kita menuju Indonesia yang sejahtera, maka pertanyaan yang senantiasa mengganggu adalah, dimanakah NTT saat ini setelah enam dekade perjalanan? Apakah NTT telah berada di atas jembatan emas itu? Sudah melewati jembatan atau bahkan masih jauh dari jembatan emas itu dalam konteks kesejahteraan.

Tepatlah kalau ulang tahun adalah sebuah momentum refleksi. Banyak dimensi yang dapat jadikan topik eleborasi. Dari mana kita mulai dan ke mana langkah ini diarahkan. Pemikiran demikian mengingatkan saya pada sebuah pepatah klasik Cina, “sampai keliling dunia pun engkau melangkah, semuanya harus dimulai dengan satu langkah awal”. Dan langkah awal yang hendak dihadirkan dalam ruang permenungan di ulang tahun ke-63 NTT adalah dimensi kepemimpinan.

Seberapa kuat aspek kepemimpinan berperan mengubah etos kerja, memupuk komitmen dan memoles wajah Flobamora menjadi tanah kelahiran yang menarik dan tetap menggairahkan. Refleksi kepemimpinan tersebut dihadirkan dengan melacak serba singkat sejarah perjalanan di bawah judul “Enam Dekade Anak Negeri Flobamora Menganyam Harapan”. Dari titik ini, kita ingin secara jujur untuk menilai, di mana posisi kita dalam mewujudkan mimpi-mimpi indah tentang Flobamora yang sejahtera.

Berkenaan dengan perjalanan waktu yang telah kita lewati, evaluasi dan refleksi hanya bisa diletakkan pada era terkini dengan tidak mengurangi rasa hormat pada prestasi kepemimpinan pada era sebelumnya. Dengan demikian, situasi aktual, tidak hanya hadir sebagai potret untuk dipandang secara subyektif, tetapi menjelma menjadi realitas dalam kebersamaan kita, yang diikat dalam komitmen menuju Flobamora yang lebe bae.

Dua Babak Berbeda Karakter

Enam dekade adalah sebuah rentang waktu yang tidak singkat. Namun, pergumulan untuk meraih kelayakan hidup yang selalu dibahasakan dengan kesejahteraan bukan hanya perkara waktu. Pembangunan adalah sebuah proses yang dinamis. Sebagai sebuah proses, mimpi-mimpi kesejahteraan memiliki korelasi kuat dengan modal sosial ekonomi, komitmen dan tanggung jawab, kreativitas dan daya juang yang kita miliki.

NTT bukanlah wilayah jajahan dengan peninggalan aset-aset bernilai ekonomis seperti perkebunan dengan aneka tanaman perdagangan. Tidak ada infrastruktur pertanian dalam bentuk bendungan dan lahan sawah yang luas dan produktif. NTT menampakkan wajahnya sebagai bentangan tanah gersang yang tak menjanjikan kesejahteraan.

Dapat dipahami, kita menapak langkah awal dengan modal sosial dan ekonomi yang terbatas. Itulah sebabnya babak awal kepemimpinan NTT adalah “perang” melawan kegersangan sehingga bumi Flobamora dapat dijinakkan menjadi sumber hidup. Wajar jika program yang diluncurkan lebih beraroma pertempuran hidup mati. Komando Operasi Gerakan Makmur, Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Sehat, berkonotasi perang dengan tekad untuk mengalahkan atau menjinakkan.

Diksi ini dipilih bukan karena gubernurnya seorang prajurit. Tetapi ia merupakan respons terhadap situasi ketertinggalan di mana tidak seluruh warga mengenal ekonomi uang.  Pada titik ini, pembangunan tidak bercerita tentang pendapatan asli daerah (PAD), pajak dan retribusi, karena tidak ada aktivitas ekonomi dalam skala menengah dan besar yang dapat mendorong sirkulasi peredaran uang.

Gubernur El Tari yang bertekad kuat membentuk desa gaya baru dari kerajaan tradisional harus berkeliling dengan menunggang kuda. Ada mobil tetapi tidak ada jalan. Begitu juga Gubernur Ben Mboi, mengunjungi masyarakat NTT di tiap kabupaten dengan menggunakan kapal perintis dan penuh perjuangan untuk menginjakkan kaki di darat. Ada kapal tetapi dermaga rusak berantakan.

Terkini, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat masih menghadapi hal; yang sama. VBL nyaris bermalam di tebing pantai selatan Lembata saat hendak mengunjungi Desa Nelayan Lamalera. Juga harus meloncat keluar dari mobil dinas saat berkunjung ke Kecamatan Amfoang Utara ketika sang sopir berjuang melewati titian kayu dan terjangan lumpur. Kesulitan yang sama tentu dialami juga gubernur pada masa mereka berkuasa.

Pembangunan NTT mulai memasuki situasi relatif normal pada era dr. Hendrikus Fernandez Kita mulai mendengar program yang hendak menjadikan manusia NTT sebagai subyek.  Ada Gerakan Meningkatkan Pendapatan (Gempar) dan Gerakan Membangun Desa (Gerbades). Gerakan, mengindikasikan bahwa kita memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang menjadi pelecut untuk maju. Dengan demikian membangun NTT dapat dibagi dalam dua tahap yakni tahap menjinakkan alam, dan tahap menata kesejahteraan.

Mengukur Capaian Pembangunan

Apakah kita telah mencapai kesejahteraan yang lebih baik setelah 63 tahun menjadi provinsi? Para ekonom memiliki teori dan perameter tersendiri untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi bagi orang awam, kesejahteraan sebagai buah kemajuan ekonomi dapat kita tunjukkan dari perubahan pola hidup, pola konsumsi, kemudahan akses terhadap  teknologi.

Kita mengaku miskin tetapi sejak penerbangan lokal dibuka, maskapai penerbangan menghadapi kesulitan dalam melayani animo masyarakat yang demikian tinggi untuk terbang ke berbagai daerah dengan beragam urusan.  Pesawat ke kabupaten dengan frekuensi penerbangan tujuh kali seminggu pun tidak mampu melayani ledakan penumpang yang demikian tinggi. Para penumpang tidak seluruhnya PNS atau pejabat pemerintah. Ada pelajar, mahasiswa bahkan petani. Pesawat bukan lagi barang mewah.

Kita mengaku tidak berdaya, tetapi handphone (mobile) yang lima belas tahun lalu hanya dimiliki para pejabat dan eksekutif perusahaan, sekarang menjadi mainan anak. Kita mengaku kelaparan tetapi tidak berselera untuk mengonsumsi pangan lokal. Semua ini paradoks.

Tiga indikator ini menunjukkan bahwa kita telah maju. Kita memiliki potensi, dan kita mampu beradaptasi dengan perubahan. Kemajuan ini juga ditunjukkan oleh PDRB yang terus mengalami kenaikan. Tahun 2019 PDRB sudah mencapai 106,89 triliun rupiah. Sektor yang memberi kontribusi terbesar dalam PDRB adalah pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 28 %. Setelah itu, subsektor peternakan berada pada urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 9,46 %, subsektor tanaman pangan sebesar 8,15 %.

PAD sebesar Rp.1,25 triliun. Dalam perjalanan sekitar 15 tahun ada lonjakan hampir 300 persen, walaupun dominasi dana perimbangan masih tetap tinggi sebesar Rp.4,06 triliun. Hitungan pendapatan per kapita juga mengalami peningkatan hingga  tahun 2019 sebesar 19,59 juta.

Nilai ekspor tahun 2020 sebesar 1,51 juta dolar AS. Ekspor berupa migas mencapai 74,56 ribu dolar AS, sedangkan nonmigas sebesar 1,43 juta dolar AS. Walaupun volume ekspor terbesar diarahkan ke negera  tetangga Timor Leste, namun  tetap diakui sebagai sebuah langkah maju.

Indeks Pembangunan Manusia NTT mengalami peningkatan. Tahun 2014 IPM NTT sebesar 62,26 dan terus meningkat hingga pada tahun 2020 mencapai 65,19. Selama kurun waktu 7 tahun ada kenaikan secara signifikan Hal ini didukung dengan Usia Harapan Hidup (UHH) 67,01 tahun, Harapan Lama Sekolah (HLS) 13, 18 tahun dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) sebesar 7,63 tahun. Capaian ini tentu saja memberi harapan. Bahwa NTT saat ini bukan NTT yang stagnan, tetapi NTT on the moving.

Mengapa Masih Miskin

Jika semua daerah, dan seluruh masyarakat mengejar kesejahteraan sebagai obyek semesta, maka interval yang muncul sebagai jarak sosial dalam angka tetap menjadi cerita yang tidak berakhir. Pembangunan adalah mengubah fakta dalam merajut mimpi. Untuk semua itu, kita tidak berhenti bergerak. Memang diakui bahwa tingkat kemiskinan masih sangat tinggi. NTT menduduki urutan ketiga nasional. Tahun 2020 penduduk miskin NTT tercatat sebesar 1.153.76 ribu orang ( 20,90 %) setelah Papua 26,64 persen dan Papua Barat 21,37 persen.

Namun, nadi kehidupan yang mulai terasa dari geliatnya sektor pertanian dan subsektor peternakan, juga sentuhan tanpa henti pada sektor pariwisata menjadi harapan untuk terus menganyam impian. Kuncinya adalah sentuhan langsung pemerintah terhadap berbagai sektor unggulan agar ada akumulasi modal ekonomi dan modal sosial untuk terus melangkah. Setelah enam dekade, perlu jedah waktu untuk melakukan refleksi terutama pada pendekatan pembangunan.

Gebrakan yang tengah dilakukan gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) saat ini patut mendapat apresiasi. VBL melakukan promosi pariwisata dalam hadangan opini kontroversial. Ketegarannya terus menerjang isu-isu sepele yang digoreng secara tendensius. Dalam memastikan lahan investasi VBL harus berhadapan dengan umpatan dan cemoohan masyarakat yang tidak terinformasi dan terkesan provokatif. Namun demikian, sebagai seorang pemimpin, Ia harus terus melangkah.

Sudah waktunya untuk mencanangkan program tidak sekadar slogan tetapi bekerja bersama masyarakat untuk merealisasikannya. Sudah waktunya pemerintah berhenti mengklaim usaha masyarakat sebagai karya pemerintah sekedar mengisi angka statistik.

Dan itu semua dimulai dengan mengubah karakter kepemimpinan dari yang ABS (Asal Bapak Senang) menjadi pemimpinan yang deliberative. Mau meninggalkan kenyamanan, berkolaborasi dengan masyarakat, memfasilitasi dan menggerakkan ke arah yang hendak dituju.

Sebagai sebuah mimpi, kemajuan, kesejahteraan, yang ada dalam kepala kita berbeda cakupan dan ukurannya. Namun sebagai anak negeri Flobamora, mimpi itu harus dianyam sebagai sebuah mimpi bersama. Dengannya, tidak ada saudara kita yang terus bermimpi dan hanya ada segelintir yang bangun dan bekerja untuk mewujudkan mimpi.

Mestinya suasana ulang tahun dirayakan penuh sukacita. Namun sebelum jari-jemari ini berhenti meninggalkan deretan huruf, sebuah pesan WhatsApp datang lagi mengusung berita dukacita yang mendalam. Telah berpulang ke Pangkuan Yang Ilahi salah seorang putra terbaik NTT Bapak Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2008—2018  yang kisah suka dan dukanya turut mewarnai perjalanan panjang NTT.

Dalam duka yang tak bertepi, keluhnya lidah untuk mengucapkan kata, kami hanya bisa berjanji bahwa tekad kuat dalam ajakan “Sehati Sesuara Membangun  NTT”  senantiasa menjadi monument yang tetap kami kenang. Engkau telah memberikan yang terbaik bagi bumi Flobamora dalam sebuah episode kepemimpinan yang sejuk dan penuh persaudaraan. Selamat jalan Ama Frans, kiranya jiwamu mendapatkan kebahagiaan abadi.

Mari merayakan Ulang Tahun ke 63 NTT dengan penuh optimisme walau hati dibalut duka. Bahwa hanya di pundak kita anyaman mimpi untuk menjadikan  Provinsi NTT sebagai provinsi yang  bermartabat kita letakkan. Dirgahayu NTT, Sembah baktiku untukmu..  (*)

Foto utama (*/koleksi pribadi)