Merenungkan Kematian

Loading

Oleh: Novilus Uropmabin, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Jayapura, Papua

Ziarah hidup manusia tidak lengkap jika tidak menyentuh topik yang sering dihindari oleh kebanyakan orang yaitu kematian. Hal ini sangat sensitif dan kontras dengan kehidupan manusia sehingga tidak ambil pusing untuk memikirkan atau merenungkannya, tetapi toh tidak mengubah keniscayaan kematian.

Merenungkan kematian atau kefanaan, para filsuf stoa merefleksikan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan dan mengerikan tetapi ia adalah bagian dari hukum alam (nature). Sehingga kita dianjurkan untuk hidup selaras dengan alam agar bisa hidup bahagia, karena kematian sebagai bagian dari alam bukanlah sesuatu yang menakutkan, bahkan seharusnya bisa membahagiakan.

Pada pemahaman di atas memberikan kita suatu pencerahan untuk tidak harus takut pada kematian tetapi menerimanya sebagai bagian dari hidup kita sekaligus hukum alam yang tidak bisa diintervensi oleh manusia.

Segala ketakutan kita akan kematian disebabkan bukan karena kematian itu sendiri tetapi anggapan atau gambaran dan konsep kita tentang kematian membuat takut. Jika pemahaman kita mengenai kematian adalah sesuatu yang menakutkan, maka reaksi kita pun menjadi negatif dan ingin menghindari untuk merenungkan kematian. Namun sebaliknya, jika pemikiran kita akan kematian bukanlah sesuatu yang menyeramkan, menakutkan dan ancaman akan kehidupan kita, maka kita pun akan lebih tenang dan positif untuk menghadapinya.

Jadi, para filsuf stoa memahami hal ini bahwa takut akan kematian dibentuk oleh interpretasi kita manusia, bukan kematian itu sendiri.

Merenungkan Kefanaan

Merenungkan kematian atau kefanaan tidak dapat membuat kehidupan ini tak bermakna melainkan sebaliknya bahwa merenungkan kematian membuat kita memiliki tujuan hidup.

Saat yang demikian kita bisa bercermin dari pengalaman seorang bangsawan Prancis Michael de Montaigne sebagai korban meninggal setelah terlempar dari kuda yang berlari kencang. Saat teman-temannya membawa pulang tubuh Montaigne yang lemas dan berdarah, Montaigne melihat bagaimana hidupnya menyelinap pergi dari tubuh fisiknya bagaikan tarian roh di ujung bibirnya hanya untuk kembali ke tubuhnya di detik-detik terakhir.

Demikian pun dalam kehidupan setiap kita memiliki pengalaman masing-masing atas kejadian yang di luar dari kendali kita membuat hidup ini tak memiliki tujuan, arti, makna dan tidak adil.

Persepsi membawa kita terlampau jauh untuk membenci terhadap apa yang kita alami, namun kita secara positif menanggapi peristiwa hidup yang sedang alami menyadarkan kita untuk kembali merenungkan kefanaan dan menjadikan sebuah momen untuk merefleksikan eksistensi diri serta sesuatu yang menggembirakan dan berdaya guna bagi kelangsungan hidup.

Pada kehidupan ini, mesti mengikatkan diri bahwa kita adalah makhluk yang fana. Kita berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengatakannya tetapi di lubuk hati terdalam kita bertindak dan bersikap seakan-akan tak terkalahkan atas kefanaan kita. Jika tidak mengakui kefanaan diri kita sendiri, maka kita akan  menghabiskan begitu banyak waktu dengan memikirkan hal-hal yang sepele.

Oleh karena itu, ingatlah bahwa jika sesuatu yang berada di bawah kendali kita, hal itu layak menerima setiap upaya dan energi kita. Tetapi sesuatu yang terjadi di luar dalam diri kita, maut atau kematian bukanlah salah satu yang tidak dapat mengendalikan berapa lama kita akan hidup atau apa yang akan datang dan mengambil kehidupan kita. Namun memikirkan dan menyadari kefanaan kita untuk menciptakan perspektif serta urgensi yang nyata karena hal ini juga justru menyadarkan kita sekaligus menghidupkan.

Kita bisa belajar menyesuaikan diri, merenungkan kematian kita setiap saat untuk berdamai dengan maut agar tetap kreatif, inovatif, produktif dalam kehidupan sehari-hari kita. Sebab kematian inilah fakta kehidupan yang final dan membuat kita rendah hati untuk merenungkan  serta merefleksikan perjalanan eksistensi kita sambil menabur benih-benih kebaikan kepada dunia dan segala isinya. Karena kematian menyadarkan setiap kita untuk berbuat sesuatu yang bermakna di dunia nyata ini.

Kematian kita sebagai bagian dari hukum alam

Maut atau kematian bagaikan manajer panggung yang menurunkan tirai dan di protes oleh sang aktor. Ya, ini akan menjadi 3 (tiga) babak dan panjangnya drama hidup ini ditetapkan oleh Sang Kuasa di balik penciptaanmu, dan yang sekarang sedang mengarahkan kepulanganmu. Baik kedatanganmu maupun kepulanganmu tidaklah ditetapkan oleh dirimu sendiri. Maka, pergilah kamu dari hidup ini dengan penuh keikhlasan (Marcus Aurelius).

Jika kita hidup dalam konsep pikir di atas maka keberadaan kita di dunia ini atas dasar kehendak dan keinginan kita sendiri. Kita bukan sebuah makhluk yang memutuskan untuk suka  mengembara ke mana saja, misalnya saya mau ke sebarang sana di sini saja bosan dan kemudian tiba-tiba menjadi bayi namun kita semua lahir di luar dari kemauan kita. Maka, para filsuf stoa menyebutnya sebagai alam yang mengundang kita masuk ke dalam hidup dan poinnya tidak berubah yaitu kehadiran kita di kehidupan ini terjadi di luar kendali kita.

Jadi, dalam hal ini Marcus Aurelius memberikan suatu penekanan bahwa kita bisa meninggalkan dunia ini dengan ikhlas apabila kita menjalani hidup yang selaras dengan alam. Kehidupan yang terbebas dari emosi negatif misalnya ketakutan akan kematian, kecemasan, kemarahan, dendam, iri hati, dengki, dendam, awa nafsu, keserakahan dan lain sebagainya. Kemudian hidup atas dasar keutamaan yakni keberanian, keadilan, kedamaian, kemampuan untuk menahan diri, dan kebijaksanaan dalam memilih pilihan hidup.

Hidup yang tidak berlebihan dan selalu siap menghadapi keadaan apa pun serta hidup yang penuh perikemanusiaan kepada sesama, tanpa mendiskriminasi orang lain atas dasar apa pun adalah hidup selaras dengan alam dan para filsuf stoa percaya bahwa kapan pun hidup kita harus berakhir dengan baik serta sesungguhnya kita sudah menjalani hidup yang baik, dan kita akan menghadapi kematian dengan penuh ikhlas.(*)

Sumber. Manampiring Henry. 2018. Filosofis Teras, Filsafat Yunani-Romawi kuno untuk mental tangguh masa kini. Jakarta. Kompas

Holiday Ryan: 2023. Rintangan adalah jalan, filosofi tak lekang zaman untuk mu mengubah usaha coba-coba menjadi kemenangan. Jakarta. Gramedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *