Raffi Ahmad Pejabat Negara Ketiga Berani Minta Maaf dan Sumbang 15 Miliar
- account_circle Rosadi Jamani
- calendar_month Sel, 9 Des 2025
- visibility 176
- comment 0 komentar

![]()
Di tengah gelombang duka yang menyapu Sumatra, di tanah yang retak oleh banjir dan longsor, muncul satu istilah yang kini menggema lebih keras dari sirene evakuasi, bencana tanda tangan. Bukan bencana alam. Bukan murni murka langit. Ini bencana yang lahir dari meja-meja rapat, dari berkas yang tak ditandatangani tepat waktu, dari prosedur yang tersendat seperti napas terakhir para korban. Dari puing-puing tragedi itu, hanya tiga pejabat negara yang berani memikul beban moral dan berkata, maaf.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menjadi yang pertama. Ia pernah mengatakan situasi “mencekam hanya di media sosial,” sebelum kenyataan menghantamnya dengan keras. Setelah melihat sendiri 940 jenazah yang ditemukan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, masing-masing 382, 330, dan 228 orang, ia tak lagi mampu menepis kenyataan. Dengan 276 orang masih hilang dan lebih dari 5.000 luka-luka, ia menunduk dan meminta maaf. Permintaan maaf yang lahir bukan dari protokol, tetapi dari hantaman rasa bersalah yang terlambat, namun tetap berarti.
Pejabat kedua, Menko PMK Pratikno, berdiri di hadapan publik pada 3 Desember 2025 dan mengakui bahwa negara belum maksimal dalam penanganan bencana ini. Ia menyebut duka Sumatra sebagai duka bersama bangsa. Pada tragedi yang merusak 655 fasilitas umum, 72 fasilitas kesehatan, 383 sekolah, 200 rumah ibadah, 29 gedung kantor, dan 64 jembatan, ia menjadi suara yang mengakui kekurangan negara, di saat banyak pejabat lain lebih memilih menghilang bersama bayangan mereka sendiri.
Kemudian muncul pejabat negara ketiga. Nama yang tidak pernah dibayangkan akan berdiri sejajar dalam momen pilu seperti ini, Raffi Ahmad, Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Pada sebuah negeri yang sering mengandalkan selebritas sebagai simbol harapan, justru Raffi yang muncul membawa nada paling manusiawi. Bersama Nagita Slavina, ia meminta maaf kepada korban banjir dan longsor Sumatera bukan karena ia bersalah, tetapi karena ia merasa seharusnya hadir lebih cepat menemani rakyat yang sedang luluh lantak.
Namun permintaan maaf itu tidak datang sendirian. Raffi mengirimkan Rp15 miliar sebagai bantuan pribadi, dibagi tiga, masing-masing Rp5 miliar untuk Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. Bantuan itu diterima langsung oleh pejabat daerah, Wakil Gubernur Sumbar Vasco Ruseimy, Gubernur Sumut Bobby Nasution, dan perwakilan Pemerintah Aceh melalui Bupati Aceh Tamiang Armia Fahmi. Melalui manajernya, Prio yang turun langsung sebagai penyampai amanah, Raffi menunjukkan pejabat non-struktural pun bisa hadir dengan cara yang konkret.
Dalam video call yang diunggah Wakil Gubernur Vasco, Raffi mengulangi permintaan maafnya. “Maaf kami belum ke sana,” ujarnya, berjanji akan hadir memberi dukungan psikososial, membantu penyintas bangkit dari trauma. Kata-katanya sederhana, namun di tengah bencana tanda tangan ini, ada ketulusan yang terasa lebih hangat daripada banyak pidato pejabat yang datar.
Namun betapa pun manisnya kata maaf itu, kenyataan tetap pahit. Ada 940 orang sudah tiada, 276 belum ditemukan, ribuan luka-luka, dan ratusan fasilitas runtuh. Dalam bencana tanda tangan yang menghancurkan ini, hanya tiga pejabat negara yang berani meminta maaf. Di situlah kekecewaan itu lahir. Bukan pada mereka yang meminta maaf, tetapi pada yang tidak. Sebuah negeri besar, namun keberanian moralnya terasa begitu kecil.(*)
- Penulis: Rosadi Jamani











Saat ini belum ada komentar